“One day our grandchildren will go to museums to see what poverty was like” Muhammad Yunus, The Independent, May 5th 1996.
GRAMEEN BANK atau yang populer disebut ‘Bank Rakyat Miskin’ ini telah menginspirasi 130-an negara di dunia dalam soal pengentasan kemiskinan. Grameen Bank ini diperkenalkan oleh seorang pengajar di Universitas Chittagong: Muhammad Yunus.
Muhammad Yunus yang lahir di Bathua, Chittagong, Bengali Timur, Bangladesh, adalah seorang yang besar dalam tradisi muslim di Pakistan. Kepribadian Yunus banyak diwarnai oleh sosok Ibunya, Sofia Khatun, perempuan dermawan yang selalu membantu setiap orang miskin yang mengetuk pintu rumahnya.
Yunus tumbuh dalam lingkungan dan keluarga yang cukup mapan. Dari pekerjaan ayahnya, Dula Mia seorang pengrajin emas dan pedagang ornamen permata tersebut memungkinkan Yunus menikmati bangku pendidikan hingga ke luar negeri.
Setelah menamatkan sekolah dan kuliah di kampungnya, di Chittagong Collegiate School dan Chittagong College, Yunus lalu melanjutkan pendidikan doktornya di Universitas Vanderbilt (1969). Setelah menjadi Lektor di Middle Tennessee State University, Amerika Serikat, Ia pun kembali ke tanah airnya, Bangladesh (1974).
Saat kembali, Bangladesh sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan kerusakan infrastruktur hebat dan kelaparan massal melanda negeri ini. Bangladesh, negara yang baru tiga tahun merdeka (1971) dari Pakistan itu sedang terperangkap dalam kemiskinan.
Belajar dari rakyat miskin
Sekitar 80% lebih penduduk Bangladesh tergolong miskin. Mereka hidup dengan pendapatan yang sangat rendah, kurang dari 1 penny sehari atau sekitar US$ 0,2 per hari. Fakta ini jauh dari standar kemiskinan global yang ditetapkan oleh World Bank yang mencapai US$ 2 per hari.
Di Chittagong, wilayah tempat Muhammad Yunus mengajar, penghidupan masyarakatnya sangat memperihatinkan, rumah-rumah penduduk banyak yang berlantai tanah, tanpa lapangan kerja, dan mayoritas penduduk miskin tidak memiliki tabungan.
Kemiskinan begitu jelas terlihat namun solusinya tidaklah sederhana. Perbankkan di Bangladesh, seperti juga umumnya Bank di pelosok Bumi ini sangat pelit kepada rakyat miskin. Bank tidak bakal memberikan pinjaman tanpa jaminan dan sarat anggunan.
Selain itu, keadaannya diperparah dengan menjamurnya rentenir. Ketika Bank menutup ‘pintu’ pinjaman kepada rakyat miskin, maka ‘pintu’ rentenir lah yang terbuka. Penduduk Desa Jobra adalah contohnya, kesulitan mengakses modal usaha membuat mereka mengemis pinjaman kepada rentenir dengan bunga tinggi 10% per minggu.
Pengalaman pahit ini dikisahkan Muhammad Yunus ketika bertemu seorang perempuan pengrajian kursi bambu di Desa Jobra. Untuk membeli bahan baku bambu bagi usaha kerajinanya Ia terpaksa mengandalkan rentenir dengan sarat hasil kerajinan bambunya harus dijual kepada rentenir dengan keuntungan hanya 1 penny (US 0,4 Dollar).
Desa Jobra kemudian menjadi proyek percontohan. Selama dua tahun (1975-1976), Yunus mengajak mahasiswanya melakukan ‘magang’ di Desa Jobra untuk belajar langsung masalah kemiskinan dari penduduk desa setempat.
Sebagai percontohan, dipilih 42 keluarga miskin. Mereka memperoleh pinjaman/kredit tanpa anggunan sejumlah US$ 27 kepada 42 orang miskin, atau kurang dari US$ 1 per orang dan penghasilan mereka meningkat tigakali lipat menjadi US $ 1,25 per hari.
Dana pinjaman ini berasal dari kantongnya sendiri setelah perbankan setempat menolak memberikan kredit kepada rakyat miskin. Program kredit ini berjalan lancar tanpa perlu mengandalkan lagi pinjaman perbankan.
Keberhasilan mikro kredit ini telah mengubah cara pandangnya tentang kemiskinan, perbankan, dan ilmu ekonomi yang digelutinya. Mayoritas penduduk Desa Jobra yang dikenal miskin ternyata disebabkan oleh persoalan struktural. Rakyat menjadi miskin bukan karena tingkat pengetahuan dan budaya/malas, tetapi karena tidak memiliki kesempatan berusaha dan akses modal yang menyebabkan hilangnya kemampuan menabung dalam mengembangkan usaha dan bahkan masa depannya.
Gelar Doktornya (Ph.D) tidak banyak berguna. Katanya, ilmu ekonomi klasik dan modern yang diajarkan di ruang universitas gagal menjawab persoalan kemiskinan. Lebih ekstrimnya, Yunus berkata “semakin banyak sarjana ekonomi yang dicetaknya justru kemiskinanlah yang meningkat”.
Memerangi kemiskinan global
Muhammad Yunus punya pemaknaan baru tentang kredit. Kredit adalah hak azasi manusia. Ini artinya setiap manusia tanpa pengecualian berhak untuk mendapatkan akses modal, usaha, tanpa eksploitasi. Pandangannya ini bertolak belakang dengan kredit yang selama ini dimaknai Bank konvensional sebagai alat untuk mencari untung semata.
Pada tahun 1976, sistem kredit mikro ala Muhammad Yunus ini diberlakukan secara massal di seluruh Bangladesh. Mikro kredit tanpa bunga/anggunan ini khusus diberikan kepada pengemis dan rakyat miskin yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Sistem kredit mikro ini bukan saja memutus lingkaran kemiskinan, tetapi juga memutus peran lintah darat (rentenir). Lapangan kerja tersedia dan tingkat kesejahteraan meningkat khususnya kepada penerima kredit yang 97% adalah kaum perempuan.
Masalah terbesar yang dihadapi adalah budaya patriarkhi. Kaum perempuan tidak dibolehkan bekerja di luar rumah (publik), akibatnya dilarang menerima bantuan kredit mikro tersebut. Namun, peningkatan ekonomi kaum perempuan telah membuka mata setiap keluarga, dan mengurangi tingkat kekerasan terhadap perempuan di Bangladesh.
Dimata Yunus, kaum perempuan lebih dapat dipercaya untuk menerima dana kredit, karena dinilai lebih bertanggung-jawab dalam keluarga dan sungguh-sungguh dalam memanfaatkan dana tersebut. Kelebihan ini tidak dimiliki kaum pria di Bangladesh.
Jumlah pengemis di Bangladesh menurun drastis. Dari 25 ribu orang pengemis yang menjadi penerima kredit mikro tersebut jumlah mereka berkurang tinggal 5 ribu orang.
Melihat keberhasilan ini, Bank Pertanian Bangladesh memberikan bantuan besar yang dimanfaatkan Muhammad Yunus dengan mendirikan ‘Bank Rakyat Miskin’ ditiap Desa di Jobra. Desa dalam bahasa lokal Banla adalah Grameen menjadi nama yang dipakai untuk memaknai sistem ini: Grameen Bank.
Grameen Bank memberikan pinjaman tanpa bunga, jaminan, syarat, dan tidak perlu legalitas. Bank ini didirikan berdasarkan prinsip kepercayaan dan solidaritas. Yunus menyebutnya “bisnis sosial”.
Pada tahun 1983, pemerintah membuat peraturan khusus untuk Bank Grameen ini. Setiap anggota Bank ini mendapatkan lencana bagi yang berhasil menumbuhkan lapangan usaha baru. Berikut adalah tujuh prinsip dari Grameen Bank:
|
|
|
|
|
|
|
Data http://www.grameeninfo.org menyebutkan bahwa pada bulan Mei 2009, Grameen Bank telah memiliki cabang sebanyak 2.556 di 84.388 senter, dengan total anggota lebih dari 7,86 juta orang.
Jumlah dana yang disalurkan dari tahun 1983 s/d 2005 totalnya mencapai US$ 5.17 Miliar, atau sekitar US$ 238 juta per tahun. Cadangan modal yang dimiliki Grameen Bank berkembang menjadi US$ 563,2 juta, yang sebanyak 92 % adalah milik anggota.
Saat ini, 94% pendapatan dunia hanya dinikmati oleh 40% penduduk dunia. Sedangkan 60% mesti hidup dengan 6% pendapatan dunia. Menurut Bank Dunia, 1/2 penduduk dunia hanya hidup dengan US$ 2 perhari dan lebih dari satu miliar penduduk dunia hidup dengan pendapatan dibawah US$ 1 perhari.
Muhammad Yunus pun mengkritik kebijakan pasar bebas dan lembaga internasional sebagai penyebab besar lahirnya ketimpangan dunia. “Kemiskinan bukan dibuat oleh orang-orang miskin. Ada yang dibuat oleh lembaga dan kebijakan global oleh para desainer dan pengelola lembaga. Tak ada sesuatu yang salah dengan orang-orang miskin”.
Grameen Bank telah terbangun di 52 negara dengan anggota mencapai 102 juta orang. Paling banyak di Asia dan Afrika. Sistem ini telah dipelajari dihampir 130 negara di dunia. Berkat usahanya dalam memerangi kemiskinan, Muhammad Yunus mendapatkan Nobel Perdamaian 2006. Sayangnya bank rakyat miskin belum ada di Indonesia.
Agus Pranata