Muhammad Sugianto lahir di hari yang istimewa, yaitu saat menjelang detik proklamasi kemerdekaan dibacakan, 17 agustus 1945. Di tahun 1986, keadaan sulit di desa memaksanya hijrah ke Jakarta. Beruntung, perusahaan PT Apindo memanggilnya untuk menggarap tanah di Kampung Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara.
Meski sudah usia 66 tahun, suara Pak Sugianto masih terdengar kuat dan jelas. “saya bekerja tidak sendirian.Sudah ada 3000 Kepala Keluarga (KK) saat itu dan rata-rata penggarap tanah. Jadi, kami bukan pematok,” katanya.
Barulah pada tahun 1990, kata Suyono, ketua RT3 RW8 Tanah Merah atas, ada keberatan dari pihak pertamina. Selain itu, katanya, warga juga diizinkan oleh Panguyuban Harja Tani Beloprojo–perkumpulan tani saat itu–untuk tinggal.
Menurut pengakuan warga sekitar, daerah ini dulunya adalah kawasan mewah tetapi ditinggal pemiliknya karena takut. “Sebagian besar penghuninya orang Tionghoa dan mereka takut terkena dampak peristiwa 1965,” kata seorang warga kepada wartawan Berdikari Online, Agus Pranata. Barulah pada tahun 1973 warga mulai menempati daerah ini.
Semula warga menamai tempat ini sebagai “Tanah Pengerukan”. Karena sebagian besar tanah yang dikeruk berwarna merah, maka populerlah nama kampung ini menjadi “Tanah Merah”. Dilihat dari penduduk yang menghuni tempat ini, bisa dikatakan bahwa inilah cerminan dari nusantara. “Seluruh suku bangsa dari Sabang sampai Merauke ada di sini,” kata Sugianto.
Jumlah penduduknya diperkirakan 27 ribu, dan sebagian besar mereka sudah lama menetap di sini. Bahkan, beberapa warga mengaku sudah menempati lokasi ini sejak 40 tahun yang lalu.
Kendati berada di Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, sebagian besar jalanan di tanah merah masih berlubang dan dipenuhi kerikil. Tidak heran, ketika berkendara masuk ke tempat ini, kita seperti diayun ke sana-kemari. “ini jalan bulog, kalau panas ngebul, kalau hujan ngeblok,” kata Sugianto dengan mengulur senyum.
Hampir semua pembangunan di sini diselenggarakan secara swadaya oleh warga. Sebut saja: mesjid, gereja, posyandu, sekolah, sanitasi dan drainase, yayasan, dan lain-lain. “Sepeserpu tidak ada bantuan pemerintah.”
Di bagian kiri jalan, tembok-tembok beton berjejer panjang memagari tanah luas yang nampak menganggur. Sedangkan di sisi kanan jalan, bangunan rumah penduduk saling berdempetan seperti tak ada ruang pemisah. “Saking padatnya, di sini sampai malam pun ramai,” kata seorang pemuda.
Menurut Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, sebanyak 5.100 kepala keluarga (KK) disini dianggap ‘pemukim liar’. Belum lagi tambahan korban gusuran Pemda DKI Jakarta yang banyak memilih Kampung Tanah Merah Pelumpang sebagai tempat pelarian. “Setelah penggusuran di Pondok Jaya, saya pindah kesini,” kata warga yang tidak disebut namanya.
Menurut Aris, 45 tahun, meskipun selalu terdata saat pemilu, tetapi sebagian besar warga di sini tidak diakui secara sah status kependudukannya. Bahkan, karena kepemilikan tanahnya diklaim oleh pertamina, maka perangkat pemerintahan seperti RT dan RW pun dianggap illegal. “Kami hanya diakui sebagai warga kalau mau pemilu,” kata Aris.
Rencananya, Pertamina akan menggunakan lahan ini sebagai areal untuk perluasan Depo-nya. “Lahan ini milik pertamina dan akan dipergunakan untuk perluasan depo pertamina,” ujar Margani Mustar, Deputi Gubernur DKI Jakarta bidag pengendalian penduduk dan pemukiman.
Atas klaim Pertamina tersebut, Pak Sugianto pun kembali terkenang masa-masa heroik ketika perjuangan rakyat Tanah Merah meletus di tahun 1991-1992.
Perjuangan mempertahankan tanah
ABRI, sebelum ada pemisahan TNI/POLRI, gencar melakukan “patroli” Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIBMAS). Mereka menyatroni rumah per rumah dan mengusir warga kampung. “Kalau ketemu dengan tenda penggarap, maka mereka langsung membakarnya,” kata Sugianto mengenang peristiwa pahit di awal 1990-an.
Pernah suatu ketika, tentara itu menendang periuk milik warga, sehingga penganan untuk berbuka puasa pun tertumpah di tanah. Saat terjadi penangkapan, Sugianto dan beberapa kawannya berhasil diselamatkan dan disembunyikan di kantor LBH (lembaga bantuan hukum).
Haji Subroto, Walikota Jakarta Utara saat itu, tidak luput dari kecaman warga. “Saya bilang ke dia, perikemanusiaan itu tidak ada lagi dan pancasila sudah mati. Anda tidak pancasilais,” kata Sugianto menirukan ucapannya kepada Haji Subroto saat itu.
Ketika baru terpilih, Haji Subroto langsung menerbitkan Surat Perintah Pembongkaran paksa bangunan milik warga tanah merah. “Kami diberi ultimatum pembongkaran selama 2 x 24 jam,” kata Sugianto. Suatu hari, 13 oktober 1991, walikota ini mengibuli warga soal pesangon pengganti bangunan.
Untuk menghentikan rencana pembongkaran, pada tahun 1991 itu, warga pun memberikan kuasa kepada Hj. M Dauld, SH. untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri Jakarta Utara. Hakim Sarwono, SH, yang memimpin persidangan perkara ini, mengabulkan eksepsi warga dan memenangkan tuntutan subsider.
Dengan putusan itu, pihak tergugat diwajibkan membayar kerugian materil sebesar Rp375 ribu per-meter dan denda moril sebesar Rp5 juta kepada penggugat. Pihak tergugat juga diperintahkan untuk mengembalikan kondisi bangunan seperti semula.
Selain itu, Hak Guna Bangunan klaim pertamina juga dianggap gugur demi hukum, dan dengan demikian, pertamina diwajibkan mengembalikan lahan warga seluas 163 hektar.
Kontra terhadap keputusan itu, Pertamina pun mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, pada tahun 1993. Tidak hanya sampai di situ, Pertamina juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), lima tahun setelahnya. Namun, meskipun begitu, keputusan PT dan MA sama-sama menguatkan posisi PN Jakarta Utara. “Sayang sekali, mereka yang selalu mengaku patuh pada hukum, tetapi tidak pernah melaksanakan putusan tersebut,” kata Sugianto sambil mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam.
Sugianto, yang pernah merasakan hidup di jaman Bung Karno, mengaku sangat heran dengan perilaku pejabat jaman orde baru. Ia mengaku sudah membaca tuntas UUPA tahun 1960, dan disitu dikatakan bahwa tanah harus punya fungsi sosial.
Malam semakin larut, tapi suara pak Sugianto masih nyaring. Di ruang tamunya yang tak begitu besar, ia mulai membeberkan keterlibatan keluarga Soeharto di balik kasus Pertamina ini. “Saya tahu, bagaimana mereka memanipulasi kesaksian 8 notaris untuk melindungi bisnis anak Soeharto.”
Menghadapi tekanan militer, warga pun mengubah strategi dan taktik perjuangan. Mulai saat itu, kata Sugianto, warga memberi kesempatan kepada pendatang untuk membangun tempat tinggal di situ. Selain itu, lahan-lahan kosong dimanfaatkan dan dibangun dengan fasilitas publik. Di Tanah Merah, ada 12 masjid, 15 mushollah, 11 gereja, dan 14 Posyandu. “Dengan makin banyak warga yang masuk, kekuatan kami pun bertambah,” katanya.
Tanah dan KTP
Pihak pemerintah menolak membuat KTP untuk warga tanah merah. Alasannya, pihak warga menempati lahan yang tidak sah. Namun, Suyono, ketua RT3 RW8, menimpali, “tidak boleh karena alasan tanah, seorang kemudian tidak diberi KTP.”
Akibat ketiadaan KTP itu, banyak warga yang tidak memiliki identitas. Pernah suatu hari, seorang warga tanah merah yang menjadi kuli panggul di pasar ikan, Basir namanya, dibunuh di kampung Bendung. Karena tidak ada identitas, maka jenazahnya pun tidak ada yang mengenali dan darimana asalnya. Kejadian serupa juga menimpa warga bernama Dona, yang tewas kecelakaan di depan kantor Walikota, tapi tidak ada yang mengenal jenazahnya.
Tidak hanya urusan itu, anak-anak sekolah dari tanah merah pun mendapatkan kesulitan soal administrasi kependudukan ini. Seorang anak SD bernama Ricardo diberhentikan dari sekolahnya karena pihak kelurahan menolak memberikan surat domisili.
Karena persoalan ini, warga pun berkali-kali melancarkan aksi ke instansi terkait, bahkan ke Komnas HAM. Tetapi, tak satupun dari instansi itu yang memberikan jawaban memuaskan kepada warga. Belakangan, ada info yang bergulir diantara warga, bahwa Ramperda RT/RW yang baru bakal menggusur kampung mereka.
Muhammad Huda, aktivis yang mengetuai Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB), menganggap sikap Walikota Jakarta Utara dan Pemda DKI telah mengabaikan hak-hak warga Tanah Merah sebagai warga negara Republik Indonesia.
Berkali-kali terjadi pembentukan RT/RW binaan, tetapi tidak pernah difungsikan sebagaimana mestinya. “kami sudah dua kali pemilihan pengurus RT/RW, tetapi tidak pernah diakui legalitasnya,” kata Suyono, yang juga terpilih sebagai pengurus RT/RW.
Ketika pemerintah mengucurkan program sosial, warga Tanah Merah pun selalu luput. Beruntung, pada tahun 2006, FKTMB melakukan kerjasama dengan Menkes Siti Fadilah Supari untuk program Jamkesmas. “Kami sebelumnya tidak mendapatkan Gakin,” kata Muhammad Huda.
Meski begitu, program itu belum berjalan secara maksimal. “Banyak warga yang kurang paham soal teknis program itu. Mereka juga takut melapor jika ada penyalah-gunaan program,” kata Purwanto, yang menjabat sebagai sekretaris FKTMB.
Untuk itu, FKTMB pun turun langsung untuk mengorganisir warga, melakukan sosialisasi, dan memberikan pendidikan-pendidikan. Bahkan, untuk memudahkan FKTMB merespon kebutuhan warga, maka dibentuklah posko pengaduan.
Posko sebagai alat mengorganisasikan perjuangan
Kurang dari dua bulan, FKTMB sudah berhasil membangun 42 posko di berbagai titik di Tanah Merah ini. Setiap posko menangani 55 KK, dan secara keseluruhan menjangkau sedikitnya 2000 warga. Setiap minggu, warga berkumpul di posko ini untuk mendiskusikan persoalan mereka, mendapatkan sosialisasi, dan mencari jalan keluar setiap persoalan.
Di setiap posko, ada beberapa orang yang bertindak sebagai petugas. “Ada sembilan orang yang ditunjuk sebagai relawan pendamping di setiap posko. mereka sudah mendapat pelatihan dari kami,” kata Muhammad Huda.
Untuk bergabung dengan posko, setiap warga cukup mengisi formulir, menyerahkan dua lembar photo, dan bersedia membayar lima ribu rupiah sebagai “dana perjuangan”. Dana itulah yang menghidupi keseluruhan aktivitas posko.
Di posko induk, suatu hari, tepatnya 10 April 2011 lalu, sejumlah ibu sedang berkumpul. Ibu Nike Maria, Ibu Endang, Ibu Djamila dan puluhan relawan. Rupanya, mereka baru saja selesai mengadvokasi warga untuk mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara.
Setiap harinya, kata Ibu Nike Maria, ada tiga sampai lima orang yang minta diadvokasi. Pada umumnya, penyakit mereka sangat beragam. Berbeda dengan tempat lain, warga di sini cukup menggunakan surat rekomendasi FKTMB dan Jamkesmas, mereka sudah bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis.
Dengan keberadaan posko perjuangan ini, pengurus RT/RW pun merasa sangat terbantu. Sementara Muhammad Huda berharap bahwa posko ini tidak sekedar untuk melakukan advokasi, tetapi sekaligus untuk pendidikan dan kaderisasi terhadap rakyat. “Semuanya dilakukan dengan gotong-royong,” katanya.
Berita mengenai kesuksesan perjuangan posko pun tersebar luas. Warga dari tempat lain pun meminta untuk dibangunkan posko di tempatnya, seperti di tanah merah atas, Tanah Merah Bawah, Rawa Sengon, Tugu Selatan, Kampung Sawah, dan Kampung Beting.
Maju terus perjuangan rakyat Tanah Merah! (Agus Pranata). (Sumber: Berdikarionline.com)