[caption id="attachment_57551" align="aligncenter" width="650"] George Habash/Foto Istimewa[/caption]
Lima tahun lalu, Palestina kehilangan salah satu tokoh pembebasan nasionalnya. Dia adalah George Habash. Ia merupakan pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP).
Namun, bagi sebagian orang di barat, Habash tak lebih dari seorang teroris kejam. Obituri New York Time memberinya label ‘ahli taktik teroris’. Sementara majalah TIME menggelarinya “Godfather terorisme Kristen”. Benarkah?
Habash lahir 1 Agustus 1925 di kota Lydd, Palestina. Saat itu, Palestina masih di bawah jajahan Inggris. Masa kecil Habash sangat dipengaruhi situasi negerinya kala itu. Dalam kurun waktu 1936-1939, Palestina bergolak dalam revolusi pembebasan nasional melawan kolonialisme Inggris. Kejadian itu membekas dalam benak Habash.
Tahun 1944, Habash mendaftar di American University of Beirut (AUB) di Beirut, Lebanon. Di sana ia mengambil jurusan kedokteran. Selama belajar di Universitas, Habash sangat dipengaruhi oleh ide-ide gerakan nasionalis, terutama yang ditiupkan oleh kelompok diskusi “‘Urwah al-Wuthqa”.
Tahun 1948, saat Habash masih belajar di Beirut, sebanyak 700.000-an orang rakyat Palestina, termasuk keluarga Habash, diusir dari rumah mereka oleh Israel. Peristiwa itu dikenang sebagai Hari Nakba (Kehancuran). Bersamaan dengan itu, kaum zionis bekerjasama dengan Haganah, cikal bakal Militer Israel, mengosongkan kota Lydd dengan mengusir paksa penduduknya. Dalam kejadian itu, sebanyak 426 rakyat Palestina dibantai oleh pasukan zionis, termasuk 176 orang yang mencari perlindungan di Masjid Dahmas.
Sebagai respon atas kejahatan Israel itu, Habash bersama sejumlah mahasiswa Mesir berusaha menggalang aksi-aksi pembalasan. Mereka melancarkan pengeboman berskala kecil terhadap Israel di Lebanon dan Suriah. Saat itu, perlawanan Habash lebih banyak didorong oleh dendam.
Tahun 1951, setelah tamat dari Universitas Beirut, Habash bersama dengan Wadi’ Haddad—kelak juga menjadi pendiri FPLP—mendirikan klinik kesehatan bagi pengungsi Palestina di Yordania. Di sini Habash menyaksikan penderitaan rakyat Palestina di pengungsian.
Sejak itu, ia meyakini bahwa pendudukan Israel hanya bisa diakhiri dengan jalan kekerasan. Untuk itu, Habash bersama kawan-kawannya bekas mahasiswa AUB mendirikan Harakat Al-Qawmeyon Al-Arab atau Gerakan Nasionalis Arab (ANM). Gerakan ini berhasil memicu lahirnya organisasi serupa di berbagai negara Arab. Dalam perkembangannya, gerakan ini banyak dipengaruhi oleh gerakan Nasserisme.
Terpikat dengan gerakan Nasserisme, Habash dan kawan-kawannya pernah berusaha mempengaruhi dan menyatukan Partai Bath, partai yang mendengungkan Sosialisme Arab. Sayang, di mata Habash, partai ini menolak perjuangan bersenjata dan jalan kekerasan.
Tahun 1967, menyusul kekalahan negara-negara Arab dalam perang melawan Israel, Habash pun mendirikan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Organisasi ini segera berkembang pesat; menjadi organisasi terbesar kedua setelah Fatah (Yasser Arafat).
Secara ideologi, PFLP sangat dipengaruhi oleh nasionalisme Arab dan Marxisme-Leninisme. Sebagian besar generasi pembentuk PFLP dipengaruhi oleh pemikiran Franz Fanon, Lenin, Mao Zedong, Ho Chi Minh, dan Che Guevara. Bagi PFLP, pembebasan Palestina tidak mungkin berhasil tanpa pembebasan Arab secara keseluruhan dari sisa-sisa feodalisme dan penjajahan barat.
Dalam perkembangannya, PFLP makin dipengaruhi oleh model Revolusi Tiongkok dan perlawanan rakyat Vietnam. Di tahun 1969, Habash mengungkapkan, sejak 1967 kami menemukan kebenaran yang tak terbantahkan, bahwa pembebasan Palestina harus mengikuti contoh Tiongkok dan Vietnam.
Menjelang tahun 1970-an, PFLP terkenal ke seantero dunia karena aksi pembajakan pesawat. Aksi pertama dilakukan pada bulan Agustus 1969 terhadap pesawat Boeing 707 milik maskapai Trans World Airlines saat terbang dari Roma menuju Athena. Salah satu pelaku aksi pembajakan ini adalah Laila Khalid, pejuang perempuan PFLP. Aksi kedua dilakukan September 1970 terhadap pesawat El Ai milik Israel.
Mengenai taktik ini, Habash menjelaskan, membajak pesawat lebih berdampak ketimbang membunuh ratusan tentara Israel di medan pertempuran. Dengan taktik pembajakan itu, PFLP berharap mendapat perhatian dunia terkait persoalan Palestina. Maklum, saat itu Perdana Menteri Israel Golda Meir menyangkal keberadaan bangsa Palestina.
Tahun 1972, Habash sangat terpukul atas kematian seorang kawannya, Ghassan Kanafani, yang dibunuh oleh agen Mossad. Sejak itu Habash mulai menderita stroke. Ia sendiri berulangkali menjadi sasaran pembunuhan oleh agen-agen Israel.
Dalam hal politik, Habash bukan tipe kiri yang kaku. Baginya, sepanjang punya tujuan yang sama bagi pembebasan Palestina, maka kerjasama dimungkinkan. Hal itulah yang menyebabkan PFLP sempat menjadi bagian dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Namun, di tahun 1974, Habash membekukan keanggotaan PFLP di PLO setelah mengetahui Arafat bekerja untuk ‘solusi dua negara’. Padahal, FPFLP memperjuangkan pembebasan nasional Palestina. Namun, di tahun yang sama, Habash mendorong pembentukan “Rejectionist Front”, yang menyerukan pengorbanan terhadap setiap jengkal tanah Palestina.
Pada tahun 1987, sehubungan dengan meletusnya gerakan “intifadah”, Habash menyerukan perlunya persatuan nasional bagi seluruh kekuatan politik di Palestina dalam kerangka pembebasan nasional. Ini kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres Nasional Palestina di Aljazair, 1988. Ia juga menuntut agar kontradiksi di kalangan kekuatan atau faksi-faksi politik di Palestina diselesaikan secara demokratis.
Tahun 1993, Yasser Arafat mewakili PLO menandatangani Perjanjian Oslo. Perjanjian ini menempatkan Palestina sebagai pemerintahan terbatas, yang disebut Otorita Palestina, yang hanya membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Bagi Habash, perjanjian Oslo telah menghianati tujuan awal perjuangan pembebasan Palestina, yakni mengusir Israel dan mendirikan negara Palestina yang merdeka dan demokratis. Habash pun menuding Arafat telah menjual gerakan pembebasan Palestina.
Sebagai konsekuensinya, FPFLP bersama dengan 10 faksi lainnya, termasuk Hamas, membentuk ‘Blok 10’ untuk menolak perjanjian Oslo. Sejak terbentuknya Otorita Palestina, Habash bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di wilayah yang dibawahi oleh Otorita Palestina dan menolak mengakuinya.
Memang, seperti dicatat oleh As’ad AbuKhalil, seorang professor politik di California State University, George Habash adalah antitesa dari Yasser Arafat. “Habash dikenal sangat jujur, sementara Arafat kurang jujur; Habash dikenal konsisten, sementara Arafat kurang konsisten; Habash sangat teguh pada prinsip, sementara Arafat agak licik; Habash sangat sederhana, sedangkan Arafat sangat arogan; Habash toleran dengan perbedaan pendapat, sedangkan Arafat sangat otokratis,” katanya.
Meskipun belum sukses mengusir Israel dari tanah Palestina, Habash tak pernah patah semangat. Bagi As’ad AbuKhalil, Habash mewakili sosok pejuang Palestina yang patut dicontoh. Ia mendedikasikan hidupnya, bahkan setiap detiknya, bagi pembebasan Palestina dan menegakkan martabat kemanusiaan.
Tanggal 26 Januari 2008 lalu, George Habash menghembuskan nafas terakhirnya. Habash—yang juga dikenal dengan nama Al Hakim—meninggal di usia 81 tahun. Jutaan rakyat Palestina menangis begitu mendengar kepergiannya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan masa berkabung nasional selama tiga hari. Pemimpin Hamas, Ismail Haneya, menyebut Habash telah menyerahkan hidupnya dengan berjuang untuk rakyat Palestina. Sementara kelompok Jihad Islam menyebut Habash sebagai tipe pemimpin sejati. (Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com)