[caption id="attachment_109" align="alignleft" width="300"] Ilustrasi[/caption]
JAKARTA. Untuk kelima kalinya secara berturut-turut, neraca perdagangan tahun ini mencatatkan surplus. Mei lalu, surplus mencapai USD 950 juta, sehingga surplus neraca perdagangan secara kumulatif Januari-Mei 2015 menembus USD 3,75 miliar. Surplus Mei ini lebih baik dibanding surplus bulan sebelumnya yang hanya sebesar USD 477,4 juta.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menerangkan, surplus tersebut merupakan dampak dari turunnya volume impor. "Permintaan impor minyak yang dapat ditekan selama Mei tersebut membuat surplus neraca perdagangan semakin membaik," ujarnya di Jakarta , Selasa (16/6).
Lebih lanjut, ia menyampaikan, total impor selama Mei 2015 mencapai USD 11,6 miliar atau turun sebanyak 21,4% dibandingkan tahun lalu. Penurunan tersebut dipicu permintaan impor minyak mentah yang turun 54,1% dan minyak olahan yang turun 40,6%. Neraca perdagangan selama Januari hingga Mei 2015 mengalami surplus USD 3,8 miliar. Ini ditopang oleh peningkatan surplus neraca perdagangan nonmigas dan defisit neraca perdagangan migas yang semakin kecil.
"Penurunan surplus neraca perdagangan selama 2015 ini disumbang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang mencapai USD 5,7 miliar. Sedangkan neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar USD 2 miliar," kata dia.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara memandang tren surplus neraca perdagangan sangat positif untuk mendukung kinerja transaksi berjalan kuartal II-2015. BI memperkirakan struktur neraca perdagangan Indonesia ke depan akan lebih sehat. "Diharapkan semakin mendukung proses pemulihan keseimbangan eksternal Indonesia," katanya.
Di sisi lain, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus malah mengkhawatirkan surplus perdagangan tersebut. Sebab, surplus terjadi di tengah anjloknya impor bahan baku dan barang modal. Kondisi itu dapat menyebabkan pelemahan kondisi industri nasional dan menurunnya konsumsi domestik hingga beberapa waktu ke depan.
Karena itu, ia menilai, surplus neraca perdagangan Mei 2015 bukan prestasi bagi industri nasional. "Penurunan impor menunjukkan permintaan industri terhadap bahan baku dan barang modal lemah, dan ini sekaligus menunjukan kondisi industri nasional juga sedang lemah," kata dia.
Ia mengkritisi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) tidak bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak ekspor. Dengan kondisi industri nasional yang belum memiliki daya saing tinggi, lanjutnya, Indonesia tidak akan bisa seperti di negara-negara lain yang sengaja melemahkan nilai tukar mereka guna menstimulasi ekspor.
"Fenemona ekspor yang terjadi di Indonesia saat ini menunjukkan kasus-kasus di negara lain yang sengaja mendevaluasi mata uang mereka untuk memancing kinerja ekspor, tidak bisa diterapkan di Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, kegiatan ekspor di Indonesia melempem karena kondisi industri nasional diimpit beban berat, seperti, input (bahan baku dan barang modal) yang mahal, biaya energi (listrik, gas, bahan bakar minyak) yang juga mahal, serta upah minimum yang tinggi. "Ditambah lagi, industri di Indonesia harus menghadapi masalah pendanaan perbankan yang mahal. Beban-beban itulah yang membuat industri sulit ekspansi," pungkasnya.(Subakat)