TITUS SIMANJUNTAK adalah nama seorang petani kelahiran Desa Sipange, Tukka, Sibolga, Sumatera Utara. Ia lahir tengah malam di tanggal 19 Mei 1986. Orang-orang sekampungnya menganggap waktu kelahiran semacam itu pertanda rejeki yang baik.
Namanya cukup unik; diamabil dari sebuah merek arloji terkenal masa itu: Titus. Ayahnya, Jafar Ninggotar Simanjuntak, menyematkan nama itu dengan harapan agar sang anak kelak hidup lebih baik dan berguna seperti jam—penunjuk waktu bagi semua orang.
Dalam keluarga petani, anak laki-laki ataupun perempuan adalah “berkah”, sebab mereka lahir sebagai keluarga pekerja. Karena itu, sejak masih kecil, Titus telah menghabiskan hidupnya di ladang-ladang sawah bersama keluarga.
Dalam keluarga petani
Kaum tani di Sibolga pada umumnya adalah petani kecil (gurem), dengan kepemilikan lahan-lahan sawah kurang dari satu hektar. Tidak terkecuali keluarga Titus; hanya punya sawah seluas 0,5 Hektar.
Dengan lahan sawah yang begitu kecil, kebutuhan keluarga terasa tak cukup meski dengan hasil panenan dua kali setahun. “Untuk mencukupi kebutuhan keluarga Bapak bergantung pada upah kerja disawah kerabat,” kata anaknya Beno Simanjuntak.
“Sang Bapak pekerja keras. Habis bekerja diladang sendiri, paruh waktu dihabiskan diladang milik orang lain. Seharian penuh tenaganya dihabiskan bekerja,” kata Beno.
Sebagai anak keluarga petani, Titus sejak kecil telah akrab dengan kehidupan di sawah. Pulang dari Sekolah (SD), Ia langsung bekerja di ladang sawah. “Makan siang di sawah, malam belajar, Jam 8 malam sudah harus tidur,” kata Titus menirukan aturan bapaknya.
Tidak seperti anak sebaya lainnya, Titus terpaksa menghabiskan waktu lebih banyak di ladang sawah setelah Bapaknya jatuh sakit ketika ia baru berusia 5 tahun. “Tugas saya mengusir burung pipit dan mayar yang sering menjadi hama padi,” kenangnya.
Dua tahun kemudian, Titus harus kehilangan Bapaknya. Keluarga ini kehilangan tulang-punggung. Titus pun merasakan lebih karena sejak kecil Ia hampir tak merasakan kasih yang cukup dari tangan bapak.
Sejak itulah roda nasib membawanya pergi mengikuti langkah Saudara tertuanya, Basic Simanjuntak, yang bekerja sebagai karyawan pertama dibukanya perkebunan coklat PT. Bangun Desa Utama (BDU) di tahun 1987 di Jambi.
Titus terpaksa harus meninggalkan bangku Kelas 2 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sibarung-barung (Sibolga) dan hijrah ke SD Mekanik, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari, Jambi.
Tidak lama kemudian, karena kesulitan hidup, Ia pun harus kembali ke Sibolga. Sejak kecil Ia telah mengarungi hidup yang begitu keras dan harus bekerja sendiri membiayai kebutuhan sekolahnya.
“Untuk mencari uang sekolah saya kerja di tempat doorsmeer (pencucian mobil). Biasanya semalam bisa dapat Rp 7000. Kalau hari minggu jadi karnet Angkutan Kota sehari biasanya dapat Rp. 5000. Kalau hari biasa sepulang sekolah pergi ke sawah bisa dapat upah Rp. 4000,” begitu Titus mengenang masa kecilnya.
Setelah menamatkan bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Putra Harapan, Sibolga, Titus harus merantau mencari nafkah yang tak dapat lagi dicukupi lagi dari sawah warisan keluarga. Ia pun pergi ke Jambi tahun 2004.
Tak terbayang dalam benak Titus untuk meninggalkan Ibunya Pestia Br. Pangabean untuk selamanya menetap di Jambi. Di tempat baru ini Ia memulai hidup. Mulanya bekerja sebagai kuli sawit, lalu nimas perkebunan orang lain selama bertahun-tahun.
Kebun sawit milik mertua, Paremi, menjadi satu-satunya mata air kehidupan yang dapat diharapkan dari warisan keluarga Istrinya. Di kebun milik mertua inilah Titus bekerja untuk menafkahi keluarga dan seorang anaknya.
Sibolga tanah impian yang dikelilingi bukit, pantai Kalangan dan Pandan, Air Terjun Sibuni-buni, tempat Ia bermain masa kecil dulu kini ditinggal pergi. Ia tak tahu kalau tujuan hidupnya untuk mencari nafkah penuh gejolak dan api.
Konflik Agraria
Jika ditanah kelahirannya ada pesta panen, maka sekarang Titus harus menghadapi “perang”. Tanah tempat “piring” makan keluarga satu-satunya retak setelah tanah Titus warisan mertua dijadikan lahan perkebunan perusahaan.
Perusahaan perkebunan mengubah kehidupan petani yang damai menjadi ladang konflik. Titus dan ratusan petani lainnya di Mentilingan, Desa Bungku, Bajubang, Batanghari, Jambi, hanya diberi dua jalan nasib: menjadi kuli atau melawan.
Menurut Ketua RT 16 Mentilingan, Rasto, sejak tahun 1990-an para petani membuka ladang kebun sawit. Lalu, pada tahun 2000-an, PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jummer Tulen (JT) [keduanya anak perusahaan PT. Asiatic Persada] merampas lahan perkebunan kaum tani. Sejak itulah konflik ini seperti tak mengenal ujung.
Diatas meja pengadilan Mahkama Agung (MA), perusahaan yang menggungat petani harus menelan kekalahan. Sebab, ijin lokasi PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jummer Tulen (JT) yang terbit tahun 2002 telah berakhir tahun 2005.
Tetapi karena “kebal hukum”, perusahaan ini tetap beroperasi meski tak mengantongi ijin HGU. Kedua perusahaan ini tetap menikmati hasil diatas lahan seluas 7.150 Ha. Bahkan General Manager PT Asiatic Persada, Sharma Goval, tersangka perambahan kawasan hutan (HPT) Tahura Sunami tahun 2010, tetap berlengang bebas.
Belum juga usai konflik dengan perusahaan tersebut, kini pemerintah daerah membenturkan petani dengan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD). SAD yang tergusur dijanjikan lahan kemitraan 2000 Hektar diatas tanah garapan mereka.
“Pemerintah seperti menyabung ayam, melemparkan manusia kedalam satu tempat yang pasti akan berujung bentrok,” Kata pendamping Suku Anak Dalam, Nurlela.
Beruntung, para petani dan Suku Anak Dalam paham betul tabiat perusahaan yang selalu membuat “politik pecah belah”. Para petani Metilingan dan sebagian besar SAD telah bersatu. Karena itulah perusahaan berang dan bertindak represif.
Perlawanan petani Mentilingan dan SAD terus berkobar. Mereka menolak gula-gula kemitraaan yang diiming-imingi perusahaan dan Pemda Kab. Batanghari. Sebaliknya, para petani lebih memilih membangun tenda-tenda “pengungsian” dan terus berjuang untuk merebut kembali tanah garapan dan tanah adat perkampungannya (reclaiming) di Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak, Bukit Terawang, Mentilingan dan Sungai Pacatan.
Detik penculikan TNI
Dalam rumah gubuknya sederhana, Titus bersama keluarga tak menyangka jika Rabu (5/3) sore itu, pukul 15.12 WIB, terjadi tragedi yang besar di Kampungnya. Tragedi yang dimulai dari penculikan dirinya oleh aparat TNI.
“Seorang TNI bilang, mana Titus? Saya jawab: Saya Titus,” kata Titus menceritakan kronologis penculikan itu. Tak lama kemudian, Ia pun langsung diseret keluar rumahnya oleh enam orang anggota TNI, lalu dibawah dengan mobil patrol kepolisian meninggalkan rumahnya di Dusun Mentilingan, Desa Bungku, Batanghari.
“Di tengah jalan, di areal Padang Salak, Saya lalu ditendang keluar dari mobil. Enam orang aparat TNI memukul dan menginjak-menendang tubuh saya, lalu mata saya di pukul dengan popor senapan, dan tubuh saya lalu di kencingi,” ungkap Titus.
Dalam keadaan yang penuh luka, Titus pun baru tahu sebab penculikan dirinya setelah aparat TNI mengeluarkan tudingan: “Kau yang pasang plang (papan pengumuman) ya? Sudah jago betul kau jadi manusia.”
“Saya adalah salah satu saksi yang melihat aparat TNI merusak plang sengketa tanah perdata yang dipasang oleh pengacara warga Mentilingan,” ungkapnya.
Begitu tiba di lokasi pabrik PT. Asiatic Persada, di Sungai Kandang, Desa Bungku, dua orang anggota TNI kembali menghujamkan rotan ketubuh Titus. Ia yang sudah tak berdaya kemudian dipaksa menjilati muntah dan darahnya yang bercucuran di lantai Pos Security PT. Asiatic Persada.
Sejam kemudian, pukul 16.10 WIB, Ia melihat keluarga dan warga tiba, tetapi belum sempat berbicara, belasan aparat TNI langsung memberondongkan tembakan kearah warga. Aksi brutal itu disertai dengan penganiayaan beberapa warga oleh Security PT. Asiatic Persada.
Titus pun melihat rekannya, Puji, yang tak berdaya dibuang dari mobil Open-cup Estrada ketanah, lalu dilempar kedalam mobil ambulance perusahaan tak ubahnya ternak.
Dalam keadaan berlumuran darah, Titus lalu dibawa ke markas Polda Jambi dengan tangan terborogol menggunakan mobil aparat kepolisian. Dari sana, ia kemudian diboyong ke Rumah Sakit Bayangkara, di Jl. Raden Mataher (Jambi).
“Saya tiba di RS. Bayangkara pukul 23.00 WIB, saat itu Puji baru saja menghembuskan nafas terakhir,” kata Titus mengenang kawan seperjuangnya, Puji.
Seperti juga nasib Puji dengan tangan terborogol dan kaki terikat, Titus pun tetap dirawat dalam keadaan tangan diborgol. Sementara itu, pihak rumah sakit tak memberinya obat hingga pagi hari.
Rasa cemas penghantui Titus setelah membaca berita di berbagai media, bahwa kepolisian mengaburkan kasusnya menjadi aksi pencurian yang berujung anarkis dan balas dendam. Padahal, kejadian ini sistematis dari penculikan lalu aksi represif aparat untuk membackup perusahaan.
“Kita semua harus terus mengenang Puji bukan saja sebagai pahlawan yang menyelamatkan hidup kita kelak, tapi ini adalah tugu peringatan bagi kita semua, jika nanti keadilan tak pernah datang maka rakyatlah yang harus memegang palu hakim,” ujarnya Titus dengan wajah memerah. (Agus Pranata)