MULYASEJATI, nama sebuah desa di Ciampel, Karawang, Jawa Barat, yang barangkali belum ramai dibincangkan orang. Sebentar lagi nama desa ini bakal mendadak populer, karena konflik tanahnya menyimpan “api dalam sekam”. Desa Mulyasejati adalah satu dari sekian ribu desa di Indonesia yang sedang bergejolak.
Kalau gejolak sosial itu nanti terjadi, datangnya bukan dari "hasutan" mahasiswa Universitas Siangaperbangsa Karawang (UNSIKA) yang pada tahun 2003 mengadakan program sosialisasi hukum di desa, atau dari Serikat Tani Nasional (STN) yang menyuluh perjuangan sekarang ini, bukan dari mereka melainkan dari tindak-tanduk penguasa yang merampas tanah petani.
Cukup lama petani Mulyasejati menyimpan rapat-rapat kasus ini: 37 tahun. Petani mulai angkat bicara ketika program magang mahasiswa UNSIKA tersebut dilakukan. Mahasiswa yang “turun ke bawah” itu dijadikan petani sebagai sarana belajar dan tempat mengadu, sehingga suara protesnya tidak lagi lamat-lamat terdengar: kebisuan yang berpuluh tahun pecah dalam rapat-rapat umum di desa.
Dengan rapat umum atau juga diskusi kampung, petani membangun tradisi berjuangnya. Beberapa malam yang lalu, tepatnya tanggal 8 Agustus, rakyat kembali menggelar rapat terbuka di ruang aula Kantor Desa Mulyasejati, ratusan orang dari kalangan tua dan muda hadir mewakili petani dan tokoh masyarakat.
Dalam rapat itu dikupas tiga hal: tentang sejarah tanah garapan petani semasa belum merdeka, tanah negara dan tentang langkah perjuanggan kedepan. Tradisi rapat umum di desa bukan lagi paduan suara yang hanya menyampaikan maksud penguasa, namun rapat sudah bagai trompet perlawanan dan pembulatan maksud perjuangan, yakni petani sudah mufakat akan berjuang terus merebut kembali tanah garapannya.
Tanah bekas Onderneming Belanda
Menurut riwayat desa, tanah garapan petani dulunya dikenal dengan wilayah Patunjang. Ditempat ini, yang sekarang menjadi bagian wilayah administrasi Desa Mulyasejati, merupakan bekas perkampungan warga yang sudah ada sejak tahun 1942.
Patunjang adalah perkampungan pertama, kemudian digusur paksa Pemerintah Orde Baru dengan alasan yang tak jelas –apalagi gejolak politik dimasa itu (1965-1967) mendirikan bulu roma: rakyat takut melakukan protes. Namun, bekas-bekas perkampungan seperti tanaman asam, lokasi pekuburan, dll, masih lah nampak.
Tanah garapan petani ini ternyata berasal dari tanah Partikelir Belanda dengan Hak Eigendom Verp. No 53, Meet Brief No 49, dibuat tahun 1845, atas nama NV. Maatschappij tot Exploitatie der Tegalworoelanden. Terungkapnya fakta ini ketika para petani berusaha menelisik dokumen milik Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Karawang pada tahun 2006.
Pendudukan tanah eks-partikelir oleh petani ini bertepatan dengan tahun kaburnya kolonial Belanda ketika Jepang masuk ke Indonesia: 1942. Penguasa Jepang sendiri tak sepunuhnya mampu memulihkan (dan menyita) tanah-tanah onderneming (perkebunan) yang ditinggal pergi mener-meneer Belanda, sehingga petani seperti di Patunjang dapat terus menduduki dan bercocok tanam, hingga revolusi nasional tahun 1945 meletus.
Pada tahun 1947, pemerintah Soekarno mengeluarkan “maklumat agraria”, agar tanah-tanah eks-partikelir yang telah diduduki petani sebelum tahun 1947 diberikan pengesahan, namun tanah-tanah yang akan diduduki sesudah tahun itu mesti didaftar dulu pada negara.
Tanah Eigendom Verp tersebut ditindaklanjuti dengan didaftar kedalam berkas Negara sesuai putusan Pemerintah Indonesia No.1/1949, dan pemegang haknya melepaskan kepada Pemerintah RI sesuai Akta Perjanjian Pelepasan Hak No.72 junto No.856, yang dibuat oleh notaris L.J. Van der Linden di Jakarta.
Tanah yang dilepaskan itu seluas 55.173 Ha, terdiri dari: Tanah usaha sekitar 16.000 Ha, Tanah Kongsi 37.000 Ha, dan Tanah Kongsi Terkait 1.350 Ha. Kemudian Pemerintah mengeluarkan SK Menteri Pertanian No.92/1954, yang menyatakan sebagian dari Tanah Kongsi berupa hutan seluas 18.000 Ha, dijadikan hutan tetap, sedangkan blok Patunjang berada diluar dari kawasan hutan tersebut. Keputusan ini menguatkan hak kepemilikan tanah garapan petani.
Dokumen lainnya menyatakan kalau seluruh tanah eks-partikelir Tegalwaroelanden -kecuali kawasan kehutanan- telah dikeluarkan berdasarkan UU No.1/1958, dan ditetapkan dengan PP No.37/1963. Sehingga, secara bertahap tanah usaha dan perkampungan masyarakat berdasarkan UU Pokok Agraria No.5/1960, dan melalui PP No.10/1961, maka tanah garapan petani didaftar sebagai Hak Milik.
Petani di Patunjang adalah bagian dari 25.000 Kepala Keluarga petani diseluruh Jawa yang saat itu mendapatkan hak pembebasan tanah eks-partikelir yang telah didudukinya. Sebanyak 900 Kepala Keluarga (KK) petani Patunjang sudah barangtentu saat itu berbahagia dengan hadiah tanah yang didistribusikan oleh Pemerintahan Soekarno.
“Selama Pemerintah Soekarno (berkuasa), petani Patunjang dapat menggarap tanahnya dengan bebas (dan merdeka),” kata warga Patunjang.
“Itu benar mas. Hukum dimasa Soekarno lebih dihormati, contohnya pengalihan kepemilikan tanah perkebunan Belanda ke Indonesia masih dilakukan dengan benar (sah). Tetapi, berbeda dengan Orde Baru, tanah yang sah menurut hukum pun dirampas. Orde Baru tidak menghormati hokum,” menurut Aji, tokoh masyarakat yang ikut rapat.
Tanah Negara adalah tanah rampasan
Inilah yang menjadi pangkal persoalan. Pemerintah Soeharto yang baru naik tahta kekuasaan menggusur pemukiman Patunjang, wilayah Patunjang di hapus dari peta desa, dan kemudian dimasukkan kedalam peta blok Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) milik negara.
Menurut Agus Suntara, mantan Kades Mulyasejati, “Pemerintah Orde Baru mengklaim perkampungan dan tanah garapan petani di Patunjang yang seluas 1.500 Ha sebagai Kawasan Hutan Tegal Waru.”
Tata batas kawasan hutan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1967 itu memasukkan kampung Patunjang kedalam kawasan kehutanan. Padahal, secara letterlijk dan tergambar dalam peta thopografi kehutanan bahwa Kampung Patunjang tidaklah masuk kawasan hutan. Meskipun tata-batas ini bertolak belakang dengan keputusan pemerintah sebelumnya, Direktur Jenderal Kehutanan saat itu (1970) tetap mengesahkan.
Ece Atma, seorang ibu petani di Petunjang, merasakan Negara telah merampas tanahnya. “Apakah surat gerik dan bukti pembayaran pajak (IPD) milik kami ini tidak ada gunanya di depan “hukum pemerintah” itu,?” katanya.
Untuk memuluskan perampasan tanah oleh Negara, maka surat-surat bukti milik warga dari tahun 1960-1970 diminta dikumpulkan oleh aparat Desa Mulyasejati dan Perhutani Purwakarta dengan iming-iming akan diganti dengan surat yang baru, namun, sampai “tahun kuda” janji itu tak pernah terbukti. Sebaliknya, pada tahun 1972, gubung-gubung warga di bakar dan tanaman-tanaman petani dibabat habis oleh aparat Perhutani (KPH) Purwakarta.
Orde Reformasi sama saja, tidak pernah menyelesaikan utang konflik agrarian dimasa Orde Baru. Tanah petani Petunjang tidak pernah diakui. Berdasarkan tata-batas tahun 1998, Menteri Kehutanan, Mohamad Prakosa, menerbitkan SK Menhut No.195/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Di Provinsi Jawa Barat yang seluas + 800 ribu Hektar, termasuk didalamnya blok hutan Tegal Waru.
Petani juga sudah melayangkan surat protes kepada Presiden SBY, bahwa sumber “Tanah Negara” adalah tanah rakyat yang dirampas, sehingga perlu rekonstruksi ulang. Namun, Menhut MS Kaban, mengeluarkan surat jawaban No.674/2007, yang isinya membunuh harapan rakyat: rekonstruksi ulang mengacu pada tata-batas tahun 1967.
“Ini sama saja dengan bohong, karena tata-batas yang bermasalah tersebut dijadikan dasar” kata Agus Suryana. “Kalau Menhut meminta semua bukti-bukti ini juga omong kosong, karena bukti surat tanah petani sudah dirampas sendiri oleh Negara. Kecuali satu dua surat bukti yang masih tersisah,” ungkapnya dengan nada lantang.
Raut kecewa para petani memang tidak dapat disembunyikan setiapkali menyebut nama lembaga kehutanan, sebab dimata petani, kejadian ini seperti perampokan disiang hari.
Iskohar, Sekjend Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) yang turut membantu diskusi mengatakan kalau cara-cara Negara dalam membuktikan kepemilikan tanah rakyat (sertivikasi), sama saja dengan cara kolonial Belanda. “Tanah-tanah dijaman Belanda yang tak dapat dibuktikan kepemilikannya secara sah, menjadi tanah domain varkelirng Negara Belanda.”
Lanjut kata Iskohar, jika selama ini perjuangan petani dibangun dialog, diskusi, surat protes dengan pemerintah, maka perjuangan di tingkat atas ini harus dikuatkan dengan perjuangan di tingkat bawah. Petani sebaiknya menekan pemerintah secara langsung melalui aksi, reclaiming, atau juga aksi pendudukan di kantor-kantor pemerintah.
Rencana rapat umum, aksi massa dan reclaiming
Aksi massa, reclaiming atau apapun namanya yang dilakukan petani selalu berniat hendak merombak keadaan agraria yang timpang –tentu saja dimulai dengan negosiasi politik- baik dengan cara yang sah atau dengan cara paksa, sama saja bagi petani Mulyasejati, ketimbang mengikuti jalur hukum yang disarankan pemerintah, sebab, pengadilan sudah bagai “komedi putar” pemerintah di mata petani itu.
Rupanya rakyat di Desa Mulyasejati punya pertimbangan yang sama dengan masyarakat umum tentang timbangan jomplang pengadilan yang hanya bakalan menguntungkan pemerintah. Sebab, setiapkali negosiasi dengan pemerintah buntu, petani selalu diarahkan kepada jalur pengadilan. Pengadilan akan menjadi jalan kematian buat perjuangan petani, sebab UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang dipakai untuk menguji gugatan rakyat adalah UU yang lebih menguntungkan penguasa dan pemodal.
Bagi petani, perjuangan negosiasi bukan tanpa alasan, pertama-tama, karena negosiasi yang dilakukan sejak tahun 2006 dengan DPRD Karawang sudah cukup berhasil membuka arsip tanah yang selalu diumpat-umpat Perhutani Karawang. Berbagai data riwayat tanah, peta ichtisar dan peta thopografi, dll, menjadi bukti penguat perjuangan petani.
Untuk alasan lainnya, karena negosiasi belum dilakukan maksmial. Selama ini petani sebatas mengerjakan saran-saran dari pihak BPN Prov. Jawa Barat: mendatangi DPRD Karawang. Padahal, petani membutuhkan surat sakti (rekomendasi) peninjauan ulang tata-batas dari Pemerintah Daerah setempat.
Rakyat Mulyasejati memang belum pernah mendatangi Kantor Bupati Karawang, apalagi menurut warga, Desa Mulyasejati merupakan basis pemenangan Bupati Karawang Ade Swara di Pilkada lalu. Karena itu, dialog dengan Pemerintah perlu dilakukan terlebih dahulu.
Namun, dialog yang efektif menurut warga adalah melalui rapat-rapat umum (vergadering). Pengalaman rapat umum dengan Pemerintah Desa, BPN, dll, sedikit banyak dapat menekan pelayanan pemerintah. Wargapun berencana mendesak Pemerintah Desa untuk mengadakan rapat umum di Desa Mulyasejati dengan menghadirkan Pemda Karawang.
Jika rapat umum tidak membuahkan rekomendasi, maka aksi massa akan dilakukan oleh warga ke kantor bupati setempat. Aksi ini akan diikuti dengan reclaiming tanah dan pembangunan gubuk petani. Aksi reclaiming akan disertai aksi penanaman dan penjagaan lahan. Bagi petani, reclaiming adalah jalan untuk mendapatkan kembali pengakuan dan hak atas tanahnya.
Untuk membangkitkan kesadaran rakyat umum di desa, para petani juga membagi-bagikan materi-materi perjuangan atas tanah yang didapatnya dari materi pertemuan dan berita konflik tanah yang di clipping dengan baik oleh warga dan di diskusikannya ditingkat massa.
Salahsatu bahan clipping Koran milik petani adalah pidato Presiden SBY dengan tema “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat” (2007). Pidato ini seperti “talam dua muka,” kata warga, disatu sisi memberi janji-janji yang megah buat rakyat, tetapi ujung-ujungnya mengabaikan tuntutan rakyat atas tanah.
Distribusi tanah yang dijanjikan pemerintah dari lahan konversi dan tanah lainnya, ternyata tak kunjung tiba. Surat tuntutan pengembalian tanah yang dilayangkan Petani Mulyasejati melalui program Reforma Agrarian kepada Presiden SBY seperti pungguk merindukan bulan: mimpi.
Seringkali pihak Perhutani Purwakarat beralasan kalau kebutuhan lahan Kawasan Hutan di Jawa Barat baru sekitar 22 persen dari target 30 persen, karenanya tak ada lahan buat rakyat. Alasan ekologi juga acapkali digunakan, Perhutani mengatakan kalau lahan yang berkonflik itu adalah areal hutan peyangga Bendungan Jatiluhur, dan masih berpuluh-puluh alasan lainnya.
Belakangan, rakyat Mulyasejati ditipu Perhutani Purwakarta, yang secara diam-diam menyewakan tanah itu kepada pihak asing untuk tanaman akasia. Tanamannya sudah berumur dua tahun, namun, tentang penyewaan tanah tersebut tidak pernah ada sosialisasi ke rakyat.
Padahal, menurut Karwi, tokoh masyarakat Mulyasejati, mengutip UUPA No.5/1960, Ia menjelaskan kalau pejabat pemerintah sebagai wakil Negara yang ditunjuk mengatur fungsi tanah, mestinya menggunakan hak itu untuk memberi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Mayoritas rakyat Mulyasejati merupakan buruh tani, yang juga bergantung pada tanah itu. Sedangkan para petani pemilik lahan di desa ini adalah petani-petani gurem. “Di desa kebanyakan petani hanya memiliki lahan 0,5 Ha per Kepala Keluarga (KK), sesuai data sensus baru-baru ini,” kata warga desa, Suryana.
Tak ada jalan lain bagi petani untuk tetap hidup ditengah kesulitan ekonomi dan ketiadaan lahan produksi. Petani Mulyasejati memilih jalan reclaiming ketimbang berpangku tangan atau menunggu nasibnya roboh oleh tekanan hidup. Reclaiming memberi kesempatan kepada petani untuk mengolah lahannya secara berdaulat dan menafkahi keluarga mereka dari lahan itu. Lahan yang dituntut memang tak seberapa luas untuk kebutuhan lebih dari 900 KK Petani, tetapi lahan ini cukup untuk menyembung hidup.
Malam itu, para petani yang mengikuti rapat dapat mengambil sikap bulat: kalau cara-cara baik dari rakyat tak diterima, maka perjuangan dengan negosiasi akan berubah menjadi “arogansi massa” -istilah kekerasan menurut warga: rawe-rawe rantas malang-malang putung.
Ditengah perjalanan balik dari Desa Mulyasejati menuju Jakarta, masih nampak berdiri perkasa Jembatan Walahar buatan Belanda tempo dulu. Jembatan yang jaraknya tak jauh dari desa itu seakan melemparkan bayangan orang-orang ke desa lagi, bahwa di Desa Mulyasejati seakan pemerintah tak membangun apa-apa, Desa Mulyasejati masih tergolong desa tertinggal, dan sebagian jalan ke desa masih bertanah liat. (Agus Pranata)