Bersandar Pada Senja
Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku
ke lautan matamu.
Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi
tangannya menggapai bagai orang lemas.
Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa
yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api.
Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh
pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu.
Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku
ke laut yang mengocak lautan matamu.
Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama
yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu.
Malam menunggang kuda bayangan
sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang.
KAU HARUS DENGARKAN AKU
Aku bernyanyi mengembara
diantara batang-batang anggur
Eropa
dan dalam angin,
angin Asia.
Yang terbaik dari sepanjang usia manusia
dan dari kehidupan,
dari kehalusan bumi,
dan damai sejati
kuhimpun dalma perantauan hidupku.
Yang terbaik dari bumi yang satu
dan dari bumi yang lain
kupakukan pada bibirku
dengan laguku:
kebebasan angin,
kedamaian ditaman anggur.
Kadang-kadang manusia seperti
bermusuh-musuhan
tetapi malam itu selubung
bagi semua
dan cahya raja
menggugah kita;
cahya dunia
Dan ketika sampai aku dirumah-rumah
duduk mereka sekitar meja
kembali mereka dari kerja
dengan tangis atau tawa.
Semua sama.
Sekalian mata mencari
jalan cahaya.
Sekalian mulut menyanyi
lagu musimsemi.
Semua.
Maka itu aku
diantara batang-batang anggur
dan dalam angin memilih
yang terbaik pada manusia.
Dan kau harus dengarkan aku.
SONETA II
Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.
Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya e
ngkau, hanya daku, kita berdua.
Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa
Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.*
TAWAMU
Ambil saja nafas ini dariku, jika kamu memohon,
ambil juga udara ini, ta
pi
jangann ambil dariku tawamu
jangan ambil mawar
Kembang tombak yang kau tusukkan lalu kau cerabut
hingga tiba-tiba air meluap-luap bahagia tanpa henti
gelombang tiban yang melahirkan perak dalam dirimu
perjuanganku sungguh kasar dan aku kembali
dengan mata lelah
Sejak mula melihat dunia yang tak berubah
tapi ketika tawamu lahir
tawa itu melontar ke angkasa dan segera mencariku
dan membuka seluruh pintu-pintu hidupku
Sayangku, dalam masa paling gelap
tawamu hadir, dan tiba-tiba
lihatlah darahku luntur mengotori batu-batu jalan
tertawa, karena tawamu digenggamanku
akan menjelma serupa pedang yang baru ditempa
di bahu laut musim gugur
Tawamu pasti menegakkan bebuih jeram
dan di musim semi, sayangku
Tawamu seperti bunga yang kutunggu-tunggu
bunga biru, mawar yang menggema di seantero penjuru
Tawa yang tersangkut di malam
pada hari, pada bulan,
tawa yang berpantul-pantul di jalan-jalan di pulau ini
tawa pada bocah ceroboh yang mencintaimu
tawa berkelebat saat aku memejam dan membuka mata
tawa ketika langkahku maju, ketika langkahku surut
mengingkari tarikan nafas, udara, sinar, semi, tapi
jangan pernah ambil tawamu
atau aku akan binasa*