Diperusahaan-perusahaan
Tuhan, disiang yang panas ratusan pasang mata mengerjap
mungkin kebingungan atas keanehan demi keanehan
buruh-buruh yang berteriak dengan bebat merah dikepala
suara gada bercampur dahaga
bendera-bendera dibawa
beberapa toa berbunyi
dan matahari seolah jadi sepi, merasa sendiri
Tuhan, disiangmu yang cahyanya berpendar meleleh dalam letih
ribuan sorakan kecewa dilantangkan
langit ikut bergumam, mengucap amin atau bukan
tulisan-tulisan diacungkan
buruh kami Tuhan, apa kabar mereka ?
sekering apa kulit mereka ?
sedalam apa kantung mata ?
setebal apa dompet mereka ?
semua diaduk dalam kuali yang luber tanda tanya
pada siapa kami bisa temukan jawaban tanpa kecewa ?
Siang makin gugur garangnya
Pagar besi tinggi tetap tak juga terbuka
buruh kami bisa apa ?
(Malam asing di Bengkulu, setelah gempa. KamisMu, 15012015)
Sebelum Pagi
Disimpang tiga itu kita pernah bertemu
kau yang berlari habis dipukuli bapakmu
dan gincu memenuhi bibirmu
diatas bangku itu aku menemani tangis yang gugu
Tak ada yang tahu kejadian itu
mata-mata jadi tak berguna
mulut bisu, demam menetap diseluruh pintu rumah
hanya kita yang berpegang dalam ketakutan
Kata ibuku ditubuhmu banyak luka
yang kutahu hanya lebam didekat mata
kata ibuku kau akan berkurang harga
yang kutahu kau tetap sama
Sejak itu aku benci bapakmu
aku benci ibumu, aku benci tetanggamu, aku benci ibuku
aku benci aku
sbab kami hanyalah sekumpulan yang penakut
bapakmu takut pada uang yang kurang, ibumu takut bapakmu ceraikan, tetanggamu takut melaporkan, ibuku takut dirugikan,
aku takut kau hilang
Berdoalah Ada yang Mendengar
Malam ini aku merayu
segelas kopi pahit, sebuah kitab, berlembar poto
dan cemas menjentik semoga
Tuhan mari berdiskusi
sebut saja begitu meski Kau tahu
diotakku tuntuhan-tuntunan penuh!
dimulutKu umpatan rusuh
Jadi begini:
beberapa minggu ini kesehatanku memburuk
diare, flu, demam tinggi datang satu-satu
dan pertemuan denganMu tak lagi menggembirakan
tanganku sibuk menghapus peluh
mereka bilang aku harus dirawat dirumah putih
sayangnya aku tak punya kartu
kawan-kawan bilang aku harus jaga kesehatan
sayangnya aku tak punya ukuran sehat itu
air bersih mahal
yang kuminum ialah air sungai yang seperti susu rasa coklat
ingin kumasak berkali-kali agar segala kuman mati
sayangnya LPG barang mewah
guru-guru menjenguk, menasehati banyak makan jeruk
aku tersenyum menunjuk kaleng beras dibawah meja
untuk memenuhi kaleng itu aku harus alpa sekolah
Tuhan diskusi ini jadi amat panjang
sbab aku mulai membanding-bandingkan
diskusi ini jadi ramai, lebih dari lima orang
mulutnya aku wakilkan bicara
Atau mari temani aku berdoa
semoga ada yang mendengarnya
(Malam sehabis Isya, 09032015)
Kamu hilang, seperti Kamu yang Datang
Musim semi tinggal separuh
Pepohon berbayang hampir rubuh
Pada batas senja, pucuk-pucuk perdu mengumam
Rindunya renta dimakan usia
Dan tetap
Tak ada bagian untuknya berbagi rindu
Sampai suatu malam terang
Seutas bayang maju kepada kenang paling depan
Kenang aku lagi katanya
Singgahi aku lagi
Terlalu lama sudut-sudut matamu mengering
Aku ingin kau pulang tanpa persiapan
Dan jantungmu mengedor-ngedor
Ucapkan padaku satu saja salam panjang
Setelah itu aku akan pergi
Pergi setelah kenang dapati hati
Yang sedia berbagi sepi
Yang sedia dimakan perih
Yang sedia memberinya satu rindu
Yang seperti kamu
(Sebelum Magrib di petang Kamis, 120315)
Aku Mati
Sejak peduli digusur pelabuhan
Aku mati
saat semua manusia kehabisan tenang
Aku mati
ketika api memberangus undang-undang
Aku mati
bila petapa mencumbui siang-malam
Aku mati
aku menyertakan engkau (ba’da magrib, 12 Maret 2015)
Sebelum pagi datang mengejutkan
Kita mesti lebih kuat ribuan kali lipat
Sebab siang terlalu baik jika tak terik
Kita mesti bertahan hidup ditengah carut marut
Sebab damai barang mahal
Kita mesti terbiasa dan melawan
Biar anak cucu kita benar merdeka
(malam larut, esok ialah Senin. 15032015)