Produser: Christine Hakim, Didi Petet, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif
Sutradara: Garin Nugroho
Pemeran: Reza Rahadian, Putri Ayudya, Maia Estianty, Christine Hakim
Film pada umumnya memang tidak selalu harus berpijak pada kenyataan. Namun, pada jenis dokumenter dan biopik, akan selalu ada sejarah maupun fakta yang membayang-bayangi dalam pembacaannya. Ketidakakuratan bisa menjadi kontroversi besar, seperti pernah terjadi film Soekarno: Indonesia Merdeka. Lalu, bagaimana cara merekonsiliasi antara seni membuat film dengan kenyataan dari subjek atau peristiwa yang difilmkan?
Halangan yang paling awal menghadang adalah durasi film. Dalam sebuah biopik, misalnya, tidak mungkin menghadirkan seluruh aspek kehidupan sang tokoh secara utuh ke dalam bentuk film fitur. Sang pembuat film harus dengan cermat memilih bagian mana dari kehidupan yang tokoh untuk sebagai kendaraan untuk mengeksplorasi kedalaman motivasi dan karakternya. Sayangnya, di Indonesia, tendensi untuk menjejalkan begitu banyak narasi ke dalam film biopik masih sering dilakukan. Hal ini pula yang terjadi pada film Guru Bangsa: Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto (Reza Rahardian) adalah anak dari Tjokroamiseno, seorang pamong praja yang juga keturunan bangsawan. Kakek Tjokroaminoto adalah seorang pamong praja juga, namun kakek buyutnya adalah seorang kiai (Kyai Bagoes Kasan Besari). Demikian ia mengenalkan diri pada adegan awal di penjara Kalisosok saat Belanda menangkapnya. Adegan beralih kepada Tjokro kecil (Christopher Nelwan) yang melihat seorang budak disiksa karena menumpahkan karet.
Oleh seorang kiai, Tjokro menerima petuah mengenai hijrah (pindah dari tempat yang buruk ke tempat yang lebih baik) dan iqra (perintah untuk membaca). Adegan berlanjut adegan di sekolah saat ia dihukum gurunya akibat protes terhadap penjajahan Belanda. Tjokro lalu dinikahkan dengan Soeharsikin (Putri Ayudya). Setelah menjadi pegawai perkebunan, ia pindah ke Semarang untuk mencari rumusan tentang hijrah seperti apa yang akan diwujudkan bangsa ini. Ia lalu pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada surat kabar, sementara istrinya membuat batik sekaligus mengurusi rumahnya yang dijadikan kos-kosan. Kos-kosan ini, yang disebut Rumah Paneleh, dihuni oleh pemuda-pemuda yang kelak menjadi orang-orang besar Bangsa Indonesia, seperti Agus Salim (Ibnu Jamil), Semaoen (Tanta Ginting), dan Soekarno (Deva Mahenra). Di sinilah Tjokro mendirikan Sarekat Islam dan menjadikannya sebuah organisasi besar.
Dengan begitu lebarnya sejarah Tjokro yang hendak diceritakan oleh Garin, mau tidak mau ia menghadirkan ansambel tokoh yang luas. Selain tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pejabat-pejabat Belanda, dihadirkan pula Stella (Chelsea Islan), anak Belanda dan pribumi yang mengalami diskriminasi. Ada juga Abdullah (Alex Abbad), pegawai Belanda yang berasal dari Yaman, serta tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat kelas bawah seperti Mbok Tambeng (Christine Hakim), penjual kursi kayu, hingga Bagong.
Nampaknya, durasi 2,5 jam tidaklah cukup buat film ini. Konsekuensi yang nampak adalah penggunaan shot-shot yang pendek dengan adegan-adegan yang berlompatan. Dalam beberapa dialog yang menyangkut tahun dan peristiwa sejarah dilemparkan dengan cepat sehingga terkesan seperti ada orang yang sedang membacakan buku sejarah kepada penonton. Garin tidak memberikan waktu bagi adegannya untuk menjadi kokoh terlebih dahulu, sehingga ekses informasi, cerita, dan tokoh ini ini membuat penonton masih harus mencerna beberapa adegan sebelumnya di saat adegan yang baru sudah dimunculkan di layar.
Dalam beberapa adegan lain dialognya seakan-akan dibuat profound namun sebenarnya minim penjelasan. Misalnya, nasehat yang diutarakan Ibu dari Soeharsikin (Maia Estianty) kepada putrinya, “Suamimu itu sedang mengikuti semesta”, atau dari Hasan Ali Surati (Alm. Alex Komang) kepada Tjokro bahwa “buruh adalah politik. Buruh adalah zaman.” Tidak ada pendalaman karakter maupun pendalaman adegan menyebabkan dialog-dialog seperti ini seakan hanya tampil seperti slogan atau malah out-of-character. Dengan kata lain, yang nampak dari film Tjokro hanyalah kelebaran bukan kedalaman, karena terlalu banyak yang dikatakan dan bukannya ditunjukkan.
Menghadirkan Tjokro ke Masa Sekarang
Melalui narasinya yang lebar, sang pembuat film dapat dengan leluasa menyatakan sikapnya terhadap beberapa hal. Sosok Tjokro historis lantas menjelma menjadi sosok Tjokro yang kontemporer dengan komentar-komentar yang relevan bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Dalam beberapa hal, ada kesamaan yang dilakukan Garin dalam film Tjokro dengan filmnya sebelum ini, Soegija.
Yang pertama adalah sikap mengenai isu rasialisme. Pada film Soegija, ada kisah Lingling, gadis Tionghoa yang dekat dengan Romo Soegijapranata. Di dalam Tjokro, yang hadir adalah konflik antara pedagang Tionghoa dan kaum pribumi karena hasutan Belanda. Mendamaikan mereka, Tjokro berseru “Kalau Jawa dan Tionghoa bersatu, maka subur tanah ini!” Hal yang sama hadir dalam Stella yang mengalami kebingungan identitas antara menjadi pribumi atau Belanda. Sayangnya, konflik antaretnis mendadak lenyap dan tak disinggung lagi, seakan semuanya selesai oleh kata-kata bijak Tjokro Bahkan peran etnis Tioghoa juga hilang di paruh kedua film. Bagi Stella pun tak ada jawaban, selain bahwa orang-orang seperti Stella ini akan dilindungi oleh pemerintahan yang baru, yang bukan di bawah Belanda.
Yang tampil lebih kuat justru pada sikap Tjokro mengenai perbedaan ideologi. Ketegangan antara Islam, nasionalisme, dan komunisme dalam anak-anak didiknya disikapi dengan pernyataan yang humanis, bahkan terkesan liberalis. Bagi Tjokro, pikiran-pikiran baru ini baik, dari manapun datangnya, yang lebih penting adalah bagaimana jangan sampai pikiran-pikiran ini tidak diterjemahkan dengan cara kekerasan. Berulang kali Tjokro menekankan tentang bahaya kekerasan terhadap persatuan dan persaudaraan dalam rumah (baca: bangsa) yang ia cita-citakan berhijrah ke keadaan yang lebih baik.
Ini memang bukan gambaran yang akurat tentang Tjokro historis, yang mencita-citakan pemerintahan baru oleh pribumi di bawah naungan Islam. Tjokro historis dengan lantang menyerukan perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme. Akan tetapi, ia tidak setuju dengan sosialisme a la Bolshevik. Lewat bukunya Islam dan Sosialisme, ia menyatakan bahwa sosialisme yang benar adalah sosialisme a la Islam yang diejawantahkan oleh Nabi Muhammad dulu.
Tjokro historis juga pernah menyetujui berdirinya Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TNKM) pada Februari 1918 sebagai respons atas tulisan yang menghina Islam dalam surat kabar Djawi Hiswara. Ini tentu disonans dengan sosok Tjokro dalam film. Tjokro dalam film membiarkan saja komunisme Bolshevik Semaoen, bahkan tanpa ada kontestasi ide, hanya karena “Semaoen itu orang pintar. Pasti yang diperbuatnya ada dasarnya.” Ketidakakurasian ini mungkin bisa dipahami sebagai sarana untuk mengomentari keadaan Bangsa Indonesia sekarang, di mana tuduhan bernada rasis kepada etnis Tionghoa, tuduhan komunis, dan kekerasan sering dipakai menjadi alat politik.
Di samping itu, dilontarkan juga komentar-komentar lain tentang pendidikan, agraria, pajak, serta pentingnya koperasi bagi kesejahteraan buruh dan petani. Hal-hal tersebut sebenarnya bisa saja dikembangkan untuk memperkuat relevansi pesan film ini bagi Bangsa Indonesia di masa sekarang. Namun, alih-alih dikuatkan sebagai kunci untuk menyelami pemikiran Tjokro dan anak-anak didiknya di kala itu, mereka hanya mampir sekilas sebagai pengisi dialog. Simak perdebatan antara kubu Agoes Salim dan kubu Semaoen mengenai mana yang harus didahulukan antara pendidikan dan agraria, contohnya. Yang nampak malah justru seperti debat kusir dengan pengulangan kata-kata namun miskin argumentasi dan elaborasi. Sungguh disayangkan, mengingat anak-anak didik Tjokro sebenarnya adalah orator-orator ulung dengan kemampuan berargumentasi yang tajam seperti yang ada dalam tulisan-tulisan mereka di koran.
Pada akhirnya, hijrah yang dikehendaki Tjokro tetap kabur hingga akhir film. Kesan yang tertinggal adalah bagaimana kita harus menaruh harapan kepada keadaan yang lebih baik – keadaan yang “sama rata, sama rasa” bagi yang kaya maupun yang miskin. Namun, dalam bentuk apakah ia mesti mewujud di masa sekarang ini? Bagaimana juga cara mencapai keadaan yang lebih baik? Apakah lewat nasionalisme yang arkaik di bawah negara? Ataukah lewat sosok pemimpin yang mesianistik, pada sosok Ratu Adil atau Satrio Piningit seperti Tjokro–seperti yang sering disematkan pada beberapa Presiden Indonesia? Rupanya kontemporerisasi sosok Tjokro juga tidak serta merta menjawab pertanyaan ini.
Secara filmis, film Tjokro tidak lebih baik dari biopik yang digarap Garin sebelumnya. Pejabat-pejabat Belanda tampil sebagai tokoh jahat yang karikatural. Bahkan kepada Belanda seperti Henk Sneevliet, yang ikut berjuang bagi Indonesia lewat parlemen Belanda dan tulisan-tulisannya dikarikaturisasi dengan dialog semacam, “Kita organisasi elit putih. Kita hanya tahu kopi dan kafe.” Beberapa adegan juga menggunakan kosa gambar yang melodramatis, seperti menangis di bawah hujan diiringi musik pengiring yang menyayat hati. Kekuatan pengadeganan dari Garin justru muncul dalam shot-shot hitam putih di Penjara Kalisosok. Dengan absennya warna dan senyapnya musik pengiring, emosi tampil menonjol lewat akting Reza Rahardian.
Sesungguhnya Garin bisa memaksimalisasi filmnya dengan menghilangkan tokoh-tokoh yang tidak terlalu sentral, seperti tokoh Bagong atau penyanyi teater. Alih-alih menceritakan panjang lebar dari kecil hingga tua, film ini bisa juga mencuplik sebagian kisah hidup Tjokro kemudian menjadikan konflik-konflik yang terjadi di masa itu sebagai basis untuk mendalami karakter dan kisahnya. Moda penceritaan dengan mencuplik seperti ini pernah dilakukan dalam biopik Tjoet Nja’ Dhien dan film-film biopik karya Oliver Stone seperti Nixon dan JFK.
Masa-masa perpecahan Sarekat Islam sebenarnya menawarkan banyak potensi cerita. Contohnya, ketika masa itu Tjokro pernah dituduh menggelapkan dana oleh Darsono. Ada juga kekecewaan banyak anggota SI karena Tjokro menjadi anggota Volksraad serta peristiwa Afdeling B, yang dua-duanya tidak terlalu didalami di film ini. Ada juga kengototan Agoes Salim-Abdoel Moeis dan debat-debat sengit tentang disiplin partai untuk menyingkirkan kelompok Komunis Semaoen dari Sarekat Islam.
Menuturkan secara lengkap kehidupan seorang tokoh pahlawan tentu sebuah usaha yang mulia, apalagi untuk mendidik generasi sekarang yang sering abai terhadap sejarah. Namun, Tjokro membuktikan bahwa durasi 2,5 jam saja tidak cukup. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: akan hijrah ke mana film-film biopik Indonesia setelah ini? (Sumber: http://filmindonesia.or.id)