Produser: Affandi Abdul Rachman
Sutradara: Lukman Sardi
Pemeran: Chelsea Islan, Boy William, Donny Alamsyah, Ririn Ekawati
Bulan Mei 1998, seperti yang kita tahu, adalah sebuah penanda penting dalam sejarah negara Indonesia. Krisis ekonomi dan rupiah yang ambruk membuat harga-harga meroket. Masyarakat yang tak sanggup melawan biaya hidup yang tiba-tiba membubung tinggi menjadi resah, menjadi marah. Puncaknya, meletuslah gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto, presiden yang sudah berkuasa selama 32 tahun, yang dianggap korup dan biang kerok permasalahan ekonomi yang menimpa rakyat kecil. Namun, di balik wajah mulia semangat reformasi yang di bawa mahasiswa, kerusuhan terjadi di mana-mana. Banyak mahasiswa yang ditangkap dan dipukuli, beberapa malah ditembak mati. Lain dari itu, yang kembali menjadi korban (sepertinya sejak Malari tahun 1974) lagi-lagi adalah etnis Tionghoa. Di Balik 98, film perdana dari Lukman Sardi bercerita tentang bagaimana sederetan peristiwa yang terjadi pada 15 tahun lalu tersebut memengaruhi kehidupan beberapa individu yang kebetulan menjadi bagian di dalamnya secara personal.
Ada beberapa cerita yang dipakai Lukman dalam filmnya. Pertama adalah kisah keluarga Diana, Salma, dan Bagus. Diana (Chelsea Islan) adalah mahasiswi Trisakti yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Kakak Diana, Salma (Ririn Ekawati), bekerja di Istana Negara, sedangkan suaminya, Bagus (Donny Alamsyah) adalah seorang tentara. Mereka tinggal serumah. Kedua adalah Daniel (Boy William), pacar Diana yang beretnis Tionghoa dan sama-sama ikut dalam kegiatan kemahasiswaan. Ketiga, sebuah keluarga pemulung yang terdiri dari ayah (Teuku Rifnu Wikana) dan anak (Bima Azriel). Dan terakhir, cerita yang terjadi di Istana Negara, dalam hal ini adalah Soeharto (Amoroso Katamsi), BJ Habibie (Agus Kuncoro), dan pejabat negara lainnya.
Ketika peristiwa Mei 1998 hampir mencapai puncak, keikutsertaan Diana dalam gerakan mahasiswa semakin intensif. Hal ini membawa ktegangan dalam keluarga, karena Salma dan Bagus tidak suka bila ia berdemonstrasi. Diana yang tak terima lantas minggat. Pada 12 Mei 1998, terjadilah tragedi penembakan mahasiswa di Trisakti, dan keadaan makin kacau setelahnya. Salma yang hamil tua kehilangan Diana. Bagus kehilangan Salma yang hilang saat nekat mencari Diana. Di sisi lain, Daniel kehilangan ayah dan adik perempuannya setelah warga yang marah memburu kaum etnis Tionghoa. Si pemulung kecil kehilangan ayahnya saat ia mengikuti segerombolan orang yang menjarah toko.
Tentang Keluarga
Yang menjadi kelindan utama bagi cerita-cerita dalam “Di Balik 98” adalah potret keluarga yang tak utuh dalam bingkai-bingkai kecil masing-masing tokoh. Diana dan Bagus bisa berdebat keras masalah ideologi dan kebebasan, namun pada akhirnya yang membawa mereka satu adalah usaha mencari Salma agar keluarga mereka kembali utuh. Daniel pun meninggalkan cintanya, Diana, demi mencari keluarganya dan lantas pergi bersama mereka ke luar negeri. Karena tertarik dengan kaos bola di sebuah toko yang dijarah, si pemulung kecil kemudian terpisah dengan sang bapak. Di Istana Negara, ketidakutuhan ini direpresentasikan oleh terpisahnya hubungan antara Soeharto dan beberapa menteri kabinetnya, juga pecahnya hubungan pemerintah (termasuk aparat) dengan rakyatnya sebagai sebuah kesatuan. Kolektivitas dan keutuhan ini adalah suatu ideal yang hendak dicari. Perbedaan ideologi, cinta, keinginan yang materialistik (dalam wujud kaos bola), dan kekuasaan tidak ada gunanya apabila anggota dalam masing-masing unit kolektivitas ini terserak dan tercerai-berai.
Karena plot utama film ini adalah tentang keluarga, maka aksi mahasiswa Jakarta dan kerusuhan waktu itu cuma tampil seperti sebuah reportase, jika tak mau dibilang seperti sebuah sketsa. Peristiwa 1998 yang tidak tampil menjadi “teks utama” ini mengingatkan saya pada film lama Kutunggu di Sudut Semanggi (2004) yang mempunyai pendekatan serupa. Aktivisme Diana dan Daniel dengan demikian bukanlah aktivisme a la “Gie” (2005) yang membentuk identitas tokohnya secara utuh. Kematian empat mahasiswa Trisakti pun akhirnya cuma disebutkan sebagai berita.
Terhadap intrik dan langkah-langkah politik yang terjadi waktu itu di parlemen maupun Istana, Lukman Sardi juga mengambil jarak. Alhasil, gambaran situasi politik di Istana waktu itu juga cenderung sketsais di film ini. Tak ada pendalaman karakter, karena semua politisi ini menjalankan perannya di film sesuai yang diketahui publik lewat sejarah. Kita ambil contoh misalnya Harmoko. Harmoko memang meminta presiden mundur, namun ia secara pribadi juga dekat dengan Soeharto. Atas ini pun tak ada konflik, tak ada pergulatan batin akibat rasa segan kepada Soeharto. Karakter Soeharto versi film pun juga terberi, seakan pasrah saja dan pasif mengetahui ia akan jatuh pada akhirnya. Implikasi lain dari sikap berjarak ini, Lukman Sardi juga terhindar dari kewajiban menjelaskan siapa yang bertanggung jawab atas kematian empat mahasiswa Trisakti tadi, karena menurut film ini, pada waktu itu Soeharto cenderung pasif, BJ Habibie menolak menjadi pimpinan sementara tentara saat Soeharto di luar negeri, dan Wiranto digambarkan telah menghimbau pimpinan-pimpinan TNI supaya “tidak ada warga yang terluka”.
Dengan demikian, peristiwa Mei 1998 yang sejatinya mempunyai konteks politik, rasial, sosial, dan ekonomi yang kompleks tidak digambarkan secara mendalam di film ini. Keresahan masyarakat kecil menghadapi naiknya harga-harga barang hanya “menempel” begitu saja. Kisah tentang keluarga pemulung ayah-anak yang mewakili kesukaran wong cilik ini tersisih oleh cerita Diana. Pun isu rasialisme yang dihadapi keluarga-keluarga Tionghoa hanya digambarkan sekelumit lewat adegan perkosaan yang tersirat, graffiti “Usir China Biadab”, dan pengrusakan properti milik etnis Tionghoa. Diaspora keluarga Daniel ke luar negeri juga muncul sekilas dan tak dibahas lagi hingga film berakhir.
Satu-satunya pertanyaan yang diajukan adalah yang ditanyakan oleh adik Daniel ketika akhirnya mereka berkumpul kembali, “Mengapa mereka membenci kita?” Penonton kemudian dibiarkan sendiri mengaitkan pertanyaan itu dengan adegan di mana keluarga Daniel (dan Daniel sendiri) diselamatkan oleh warga pribumi Muslim, serta Salma yang ditolong oleh seorang Tionghoa. Jika film ini memang diajukan sebagai sebuah narasi tentang kolektivitas atau kemanusiaan, sang pembuatnya melewatkan satu sisi lain di mana ia bisa menyampaikan pesannya. Ia enggan bersuara dengan lantang bahwa, “Ini lho, masih ada orang-orang baik yang tak peduli masalah ras atau agama.” Padahal lewat mulut Bagus ia secara eksplisit dan terang-terangan mengungkapkan bahwa sebenarnya masih ada tentara baik yang bersimpati dan mendukung keinginan para mahasiswa. Ini bisa dibandingkan dengan upaya mengangkat isu rasial pada kerusuhan 1998 yang pernah dilakukan oleh film May (2008) atau antologi film pendek “9808” (2008).
Dapat dipahami, jika Di Balik 98 memakai pemulung dan pejabat Istana Negara untuk memberi gambaran dampak reformasi bagi kelas bawah dan kelas penguasa sebagai kontras dari keluarga Diana yang kelas menengah. Namun, sekuens adegan aksi mahasiswa, keluarga Diana, pemulung, keluarga Daniel, dan Istana Negara diganti-ganti secara cepat tanpa membiarkan bangunan cerita dan karakternya menjadi kokoh, bak adonan yang tak tercampur rata. Dengan durasinya yang tidak terlalu lama (hanya dua jam), akan lebih baik, misalnya, jika Lukman Sardi menghilangkan subplot pemulung dan Istana Negara, dan berfokus untuk memberikan pendalaman bagi karakter Diana, Salma, Bagus, dan Daniel. Hanya karakter Diana yang bisa dibilang mengalami perkembangan, itu pun hanya minimal, yakni ketika di akhir film ia berubah dari yang dulunya menggebu-gebu menjadi seseorang yang lebih realistis dalam menyikapi kegagalan reformasi.
Di Balik 98 masih mengikuti gaya melodramatis a la sinetron yang sering dipakai di film drama Indonesia: master shot hampir sepanjang film dan musik pengiring yang banjir di sana-sini. Meskipun begitu, Lukman Sardi cukup berani dengan langsung mengambil sebuah peristiwa sejarah besar sebagai latar film perdananya, dan ini patut diapresiasi. Sebagai sutradara, ia juga berani mengambil sikap: bahwa reformasi gagal dan kita harus melanjutkan kehidupan dengan realistis. Realistis bukan berarti tidak peduli sama sekali dengan cita-cita reformasi. Melalui Diana, ia menyampaikan bahwa reformasi masih bisa dihidupi dengan melakukan hal-hal kecil yang membawa perbaikan, dengan mendidik generasi penerus, misalnya. Sebagai sutradara debutan, ia cukup terampil dalam menggarap filmnya, apalagi mengingat Chelsea Islan dan Boy William masih terhitung baru dalam dunia perfilman. Masih banyak waktu baginya untuk berkembang dan mengartikulasikan gagasannya dengan lebih mendalam untuk film-film selanjutnya. (Sumber: http://filmindonesia.or.id)