KOTA BENGKULU, PB – Di acara launching dan diskusi “Coffe Politik” yang digelar di Kedai Nusantara, Sawah Lebar, berlangsung cukup panas. Pasalnya, hampir seluruh panelis dalam acara tersebut melayangkan kritik atas penegakan hukum kasus Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2012 dan 2013 di Kota Bengkulu.
Acara yang bertemakan Benang Merah Pasca Praperadilan Walikota dan Kondisi Kota Bengkulu menghadirkan berbagai narasumber, salah satunya pakar hukum Universitas Bengkulu Elektison Somi. Ia mengatakan bahwa perkara kasus Bansos ini sudah salah sejak awal.
Saat pihak kejaksaan (sebelumnya, red) menerima adanya pengaduan masyarakat tertanggal 15 Mei 2014, berselang dua hari kemudian telah ada proses pemanggilan saksi-saksi. Lalu, penetapan tersangka pada bulan November, sedangkan laporan kerugian negara yang digunakan JPU baru terbit setahun kemudian, 23 Februari 2015.
“Ini ada kesewenangan untuk memaksakan kesalahan pihak Walikota dan lainnya. Padahal, mekanisme belum selesai, pidananya sudah mulai masuk. Memangnya yang dilakukan pihak Kejari benar?” tanyanya, Rabu (7/10/2015).
Ia mengatakan bahwa penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum. Pihak Kejaksaan sebelumnya dalam kasus ini telah dinilai mengabaikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
"Dalam Pasal 385 UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa setiap pengaduan masyarakat tidak serta merta ditindaklanjuti oleh penegak hukum sebelum berkordinasi dengan pengawas internal pemerintah, yakni inspektorat untuk ditetapkan apakah ini merupakan kesalahan administrasi atau pidana," ungkapnya.
Sayangnya, menurut pakar hukum muda ini, banyak pihak masyarakat mau membela mereka yang telah dipidanakan. “Bukan sekedar Walikota yang ingin mereka bela, tetapi yang lain juga. Sayangnya, masyarakat tidak berani melakukan karena pengetahuan tentang hukum belum cukup padanya,” tutupnya. (Jack)