Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Menjadi Pemimpin Ideal

Oleh Muhtar Sadili Syihabuddin*

Ummu Al-Husain ra, mengabarkan, dalam khutbahnya pada saat menunaikan haji wada' Muhammad Rasulullah saw, bersabda,"Seandainya ada seorang hamba untuk menjadi pemimpin kalian, lalu dia memimpin kalian berdasarkan Kitabullah (kitab Allah, yakni Al Qur'an), maka dengarkan dan patuhilah dia."(HR Muslim)

Seorang calon pemimpin harus membawa misi yang sarat dengan nilai yang ada di dalam Alqur'an, agar masyarakat punya alasan kuat memilih dirinya. Mengingat nilai-nilai yang dikandung di dalam Alqur'an mempunyai relevansi aktual dan strategis.

Kepemimpinan di dalam Alqur'an dipadatkan dengan menjadi khalifah fi al-ard; pengganti Tuhan dalam mengurus semua makhluk yang ada di muka bumi. Pemimpin yang tidak punya komitmen menjaga semua makluk tidak layak untuk diberikan amanah. Sangat riskan untuk mempercayakan urusan sosial-masyarakat, pada seseorang yang belum mengerti hakikat kepemimpinan itu sendiri. Baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, sampai semua yang ada di muka bumi.

Drama penolakan malaikat atas keinginan Allah swt menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi harus jadi acuan. Malaikat keberatan Yang Kuasa memberikan tugas khalifah kepada manusia, mengingat dalam rekaman malaikat, manusia hanya akan menjadikan bumi ini porak poranda. Boleh jadi manusia tidak akan memperdulikan apa yang telah dititahkan oleh Yang Kuasa, karena watak dasar kemanusiaan yang cendrung merusak apa yang ada di hadapanannya.

Tapi rupanya, Tuhan tetap memberikan tugas khalifah itu kepada manusia. Tapi segala macam rambu harus dipatuhi, agar tidak terjurumus pada dugaan kuat malaikat itu. Bahkan di dalam dialog tersebut, manusia dibekali ilmu pengetahuan untuk menjalan misi kemanusiaannya. Tinggal manusia menjaga konsistensi pelaksanaan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan itu.

Tentu saja, dalam perjalanannya misi kepemimpinan manusia itu mengalami dinamika. Ditunjukkan oleh sejarah, kepemimpinan manusia di muka bumi tidak lepas dari sifat dasar kemanusiaan itu sendiri. Cendrung serakah dan ingin selalu menguasai antar dirinya. Peradaban dunia terbangun di atas peristiwa perang antar golongan. Baik mengatasnamakan agama maupun keinginan memperbutkan harta benda. Hampir setiap abad terjadi perang yang menjadikan pergantian kepemimpinan di muka bumi ini, menyisakan pesan. Bahwa setiap calon pemimpin harus mewaspai godaan dari dirinya, untuk menguasai; harta, tahta dan kehormatan.

Makanya kita pernah diingatkan Sang Nabi bahwa setiap diri kita itu adalah pemimpin. Minimal untuk memimpin dirinya dengan mengelola semua potensi diri; baik negatif dan positif. Nafsu negatif digredaksikan dengan nafsu lawwamah, yaitu keingian untuk terus menguasai segala-galanya. Dan energi positif diredaksikan dengan nafsu almuthmainnah, yaitu sebuah panggilan hati nurani untuk terus-menerus berbuat kebaikan.

Dalam batas paling sempurna, kepemimpinan itu terletak pada kemampuan untuk mengelola potensi diri itu. Jika seorang pemimpin itu mampu memimpin dirinya, maka akan mampu mengatur orang terdekat hingga wilayah negara-bangsa. Jangan berharap pada seorang pemimpin yang gagal mempimpin dirinya, untuk kemudian mengatur urusan negara bangsa yang rumit dan beragam. Pilihan pada pemimpin bermasalah akan menggadaikan inti kepemimpinan untuk memberikan kemaslahatan umat manusia.

Setelah seorang pemimpin menyelesaikan urusan kepemimpinan dirinya, maka berkewajiban memberikan mashlahat untuk rakyatnya. Dalam praktinya nanti, kepentingan umat harus didahulukan dari kepentingan diri dan golongannya. Seorang pemimpin harus bisa merelakan keinginan sesaat memuaskan diri yang sering terus menggoda kala kekuasaan dipegang. Untuk kemaslahan umat yang terlihat jelas akan merugikan kepentingan dirinya.

Kemaslahatan umat ini seringkali dibajak untuk kepentingan diri dan golongannya. Lord Action pernah mengatakan kekuasaan itu cendrung memanjakan seorang pemimpin hingga lebih mendahulukan kepentingan diri dan golongannya. Kecendrungan korupsi yang menemukan bentuk sempurna di negeri ini, merupakan bukti paling sahih, bagaimana kekuasaan memakan misi suci kepemimpinan itu sendiri. Tragisnya seperti dilindungi oleh minimnya rambu yang bisa membuat jera para penyalahgunaan kekuasaan.

Sedianya, negeri ini yang mayoritas muslim ini bisa memaknakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat. Meski tingkat ketaatan formal kita digembirakan di semua lapisan masyarakat, tapi praktik korupsi cendrung memperlihatkan grafik yang memprihatinkan. Rupanya ketaatan formal berbanding terbalik dengan subtansi kepemimpinan yang diamanahkan oleh pesan drama pengangkatan manusia sebagai khalifah itu.

Baiknya kita mengambil hikmah dari sejarah kepemimpinan manusia itu. Caranya dengan menyelami model kepemimpinan, sekaligus menyuburkan nilai-nilai keutamaan memimpin. Model kepemimpinan sederhana dengan merasa mengemban amanah, akhir-akhir ini menjadi pilihan paling tepat. Semisal banyak tergoda untuk melakukan kegiatan blusukan. Hobi belusukan itu, moga saja tidak terjerat pada hasrat pencitraan hingga terpilih sebagai pemimpin.

Ini karena, tidak mustahil jika dalam proses pencalonan rajin blusukan, tapi setelah menjabat melupakan misi suci kepemimpinan. Model ini telah menjadi alat pencitraan yang mengelabui masyarakat pemilih. Ramai-ramai calon pemimpin bersikap baik dan kooperatif, tapi setelah "demokrasi lima menit" dilewati, maka ramai-ramai melakukan korupsi. Dan kita dikejutkan dengan membludak para pengaku soleh dan berpengalaman, akhirnya berakhir di jeruji besi.

Moga saja, tahun politik ini menjadi momen emas untuk melihat sejauhmana calon pemimpin bisa dipilih dengan tepat dan bermartabat. Para pemilih pemimpin diharapkan jangan ragu menolak para calon pemimpin yang bermasalah secara moral, inetelektual sekaligus emosional. Negeri ini lambat tapi pasti bisa menghindari kekhawatiran para malaikat, akan kecendrungan merusak yang ada di dalam diri setiap manusia.

*Wartawan senior dan pengkaji studi Islam