Difitnah, Diancam, Lalu di Bui
Sejak anggota keluarganya ditahan di Lembaga Permasyarakat (Lapas) Kelas IIA Malabero pada bulan November 2014, kehidupan para keluarga terdakwa kasus dana bantuan sosial (bansos) APBD Kota Bengkulu 2013 mendadak berubah. Meski banyak gunjingan dan cobaan yang harus mereka alami, namun umumnya mereka tetap tegar menghadapi. Seperti apa duka yang mereka rasakan selama ini? Ikuti kisah berikut.
RUDI NURDIANSYAH, Kota Bengkulu
Kesedihan tak dapat ditutup dari raut wajahnya ketika dijumpai kediamannya di Padang Harapan, Sabtu (10/10/2015). Meski berada ditengah-tengah pemukiman padat penduduk, namun Biwan Ali selalu merasa kesepian. Ia masih tak bisa menerima bila Satria Budi, anak kandungnya, mantan Bendahara Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu, dipenjara di Lapas Kelas IIA Malabero.
Setiap akhir pekan, Biwan biasanya bermain dengan cucu-cucunya yang tak lain adalah anak-anak dari Satria Budi. Sekarang kebiasaan itu sudah jarang dilakukan sejak Satria Budi ditahan. Bila pun datang, keceriaan anak-anak itu seakan telah redup tanpa dampingan ayah mereka.
Kepada Pedoman Bengkulu Biwan Ali menceritakan, sejak kecil Satria Budi tidak pernah melakukan perbuatan yang menciderai nama baik keluarga. Ia meyakini apa yang dilakukan terhadap anaknya merupakan bentuk penzaliman. Keyakinan itu kian bulat ketika ia mengingat betapa sederhananya kehidupan yang dijalankan oleh Satria Budi selama menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Bengkulu.
"Sejak awal kasus bansos, berkali-kali saya tanya agar anak saya jujur, benarkah ada uang negara yang ia korupsi? Ia selalu menjawab dengan sumpah tidak ada. Saya percaya omongannya itu. Apalagi setelah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI Perwakilan Bengkulu mengeluarkan hasil audit yang menyatakan bahwa dana bansos 2013 bersih," katanya.
Kecemasan dan kesedihan yang sama juga dirasakan, Sri Hartati. Ia merupakan istri dari mantan Kepala DPPKA Kota Bengkulu, Syaferi Syarif. Sejak suaminya ditahan, Sri tak begitu banyak melakukan aktifitas di luar rumah. Ia lebih banyak melakukan ibadah di rumah bersama dua anak angkatnya.
Sejak awal Sri sudah merasa yakin bahwa suaminya tidak bersalah. Ia justru geram ketika mengetahui dari suaminya bahwa ada berbagaimacam intimidasi yang dialami oleh suaminya ketika menjalani pemeriksaan atas kasus ini.
"Rumah kami pernah diancam akan disita. Kalau itu jadi, saya akan melakukan gugatan hingga ke Presiden," kecamnya.
Yang paling nelangsa adalah Novriana, mantan Bendahara Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kota Bengkulu. Ana, sapaan akrabnya, merupakan seorang janda yang memiliki tiga anak. Mereka adalah Ilham Deny Malik (17), Rafly Aditya Wardhana (14), dan Mey R Ayu Ashyfa (12). Suaminya dibunuh oleh orang misterius dan belum ditemukan hingga kini siapa pembunuhnya.
Derita yang sama dialami Reni Nerlaili, istri dari mantan Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Kota Bengkulu, Suryawan Halusi. Berkali-kali Reni diancam ditetapkan sebagai tersangka bila suaminya tidak bersikap kooperatif dengan aparat Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu.
Padahal menurut Guru Besar Universitas Bengkulu Profesor Herlambang para terdakwa ini sebenarnya tidak layak untuk ditahan. Sebab, menurut dia, penahanan terhadap mereka tidak sesuai dengan prosedur yang berada dalam KUHAP.
"Kalau dikatakan ada alasan subjektif, misalnya takut kalau para tersangka melakukan perbuatan yang sama, ini harus diperiksa betul. Mereka disangkakan dalam kasus bansos, dan sudah sejak lama bansos dinyatakan tidak ada. Apakah mereka masih bisa dikatakan akan melakukan perbuatan yang sama?" tanya warga Kandang Limun Kota Bengkulu ini penuh keheranan.
Ia menegaskan bahwa seseorang tidak bisa dibenarkan untuk ditahan selama belum cukup bukti melakukan perbuatan pidana.
"Kalau tujuan penahanannya itu untuk mengancam, itu berarti sudah keluar dari koridor KUHAP, itu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia," demikian Profesor Herlambang. (**)