[caption id="attachment_8635" align="alignleft" width="300"] Keluarga Hendricus Johan Andries Sanders saat bekerja di perusahaan tambang emas milik Belanda, di Lebong Donok, 1932.[/caption]
SELAIN terikat geografi, apakah kesamaan Bengkulu dan Papua? Bengkulu adalah wilayah terbelakang di kawasan barat Indonesia, sedangkan Papua terbelakang di kawasan timur Indonesia. Keduanya sama-sama memiliki tambang emas. Pendeknya, sama-sama miskin di ladang emas.
Tempo dulu, nama Bengkulu cukup berkibar sebagai daerah produsen emas. Desa Lebong Tandai tempat ladang emas berada masih sama susahnya dengan tempo dulu. Desa ini sekarang menjadi tujuan destinasi karena memiliki sisa gudang ampas emas dan lubang penambangan emas yang tinggal kenangan lagi.
Saban tahun Pemerintah Belanda makin kaya setelah mengeruk ratusan ton emas dan perak selama empat puluh lima tahun (1896–1941) di Bengkulu. Bengkulu dijadikan tempat pengasingan untuk mengisolasi pejuang. Sama saja dengan Boven Digul di Papua, tempat pembuangan para pejuang.
Dua perusahaan Belanda, Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan Mijnbouw Maatschappij Simau menguasai penuh lokasi pertambangan di Rejang Lebong tahun 1897, di Lebong Sulit tahun 1900, Lebong Tandai 1901, di Tambang Sawah dan Lebong Simpang tahun 1907, dan lain-lain.
Laporan penguasaan ini tercatat dalam arsip Belanda: de jaarverslagen van de Goud-Exploratiemaatschappij "Redjang-Lebong" (Batavia, vanaf 1898: Mijnbouwmaatschappij "Redjang-Lebong"). Dengan cara penambangan konvensional saja dalam setahun kedua perusahaan itu menghasilkan 1.770 kilogram emas dan 12.695 kilogram perak.
Belanda memang negara yang paling dikenal pelit, tapi warisan sistem ‘politik pintu terbuka’ (open door policy) lah yang bikin bangsa melarat. Cara Belanda mengundang investasi ke dalam negeri waktu itu masih berlaku sampai sekarang, namanya liberalisasi investasi.
Kedua sistem ini sama-sama memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada modal asing untuk mengeksploitasi kekakyaan alam. Di Bengkulu sekira 50-an perusahaan pertambangan telah menikmati ratusan trilyun rupiah per tahun keuntungan dari batu bara, emas, dan pasir besi.
Sudah pasti dalam hal ini Bengkulu dan Papua setali sepilin. Bengkulu dikenal sebagai tambang emas pertama dan Papua di kenal sebagai wilayah tambang emas terbesar di dunia yang cadangannya mencapai 46 juta ton emas. Selain di Tembagapura, di Timika juga ditemukan cadangan emas baru.
Setiap tahun Freeport di Papua memperoleh keuntungan + 360 trilyun rupiah dengan rata-rata produksinya mencapai 58.474.392 gram emas dan 174.458.971 gram perak. Dari keuntungan tersebut hanya 1 persen saja royalti yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Papua.
Perusahaan Amerika Serikat (AS) menjadi pemegang saham mayoritas, Freeport 67.3%, Rio Tinto Group (13%), PT Indocopper Investama Corporation (9%), dan Pemerintah Indonesia (9.3%). Dari bagi hasil Kontrak Karya (KK) pemerintah memperoleh keuntungan amat kecil dari sektor pajak yang hanya sebesar 5-3,5 persen.
Bengkulu mungkin lebih teragis dari Papua, tidak bisa menikmati kekayaan emasnya yang habis dijarah, sementara rakyat Papua jadi penonton. Bila rakyat Papua marah karena tak ada pembangunan setelah lebih seabad kita merdeka, maka rakyat Bengkulu juga sama di anak tirikan dalam pembangunan meski telah menyumbangkan 28 kilogram emas di Tugu Monas.
Buat rakyat Papua, memang Pemerintah Indonesia tak pernah belajar, karena setali tiga uang dengan Asing. Pemerintah lebih mendahulukan investasi asing daripada menyelamatkan kehidupan rakyatnya sendiri. Sekarang ini Pemerintahan Jokowi sedang diuji, apakah bernyali hadapi Freeport ataukah seperti pemimpin yang lalu, tunduk pada Amerika Serikat.
Singkatnya, nasib rakyat Bengkulu dan Papua sama saja, rakyat Papau harus berdarah-darah berjuang mempertahankan tanah adat, sementara di Bengkulu konflik agraria akibat pertambangan tak kalah mengenaskan. Pace, torang sama tertindas—Bapak, kita (rakyat) sama-sama tertindas modal asing.