Dita Verolyna*
Apa itu Dramaturgi? Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama memiliki arti yang sama dalam interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi awalnya lahir dari Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya yang berjudul “Presentasion of Self in Everyday Life". Dramaturgi merupakan sandiwara kehidupan yang dimainkan oleh pribadi manusia sendiri. Bisa dikatakan hanya berperan sebagai aktor, kejadian yang memanipulasi bukan secara realitas.
Dramaturgi merupakan pendalaman dari konsep interaksi sosial yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial masyarakat menuju era kontemporer. Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Posisi dramaturgi berada di anatar interaksi sosial dan fenomenologi.
Siapa yang melakukan aksi dramaturgi?
Baik, mari kita lihat Pesta demokrasi pemilu kepala daerah di Provinsi Bengkulu yang akan digelar pada Desember 2015 mendatang. Aktivitas politik pemahaman tentang dramaturgi dapat kita lihat dalam kehidupan panggung politik di sekitar kita. Aktor politik kerap memainkan sisi “dua muka” ketika mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat. Ada “back stage” dan ada “front stage”. Pada “front stage” semua janji politis akan terlihat manis dengan pencintraan disana-sini. Padahal pada “back stage” kondisi dan perilaku individu akan sangat berbeda dari apa yang ditampilkannya di depan orang lain khususnya khalayak. Front stage yang didefinisikan di depan (front) mencakup setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang bersifat “the self” yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada pada front.
Dua kandidat calon Gubernur yang berlaga akan memperebutkan kursi nomor satu di Bengkulu. Semua menjadikan dramaturgi sebagai skenario yang akan disajikan kepada masyarakat. Semua tentang yang baik-baik, terkesan muluk-muluk malah. Sedangkan Dosen Fisipol Universitas Bengkulu, Dr. Lely Arrianie dalam risetnya yang berjudul Sandiwara di Senayan : Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR-RI (2007) membagi tiga panggung politik menjadi tiga bagian yakni back stage, middle stage dan front stage. Back Stage diwarnai dengan persiapan pesan politik, Middle Stage menjadi ajang kompromistis antara back stage dengan front stage dan “memainkan peran politik” untuk tujuan-tujuan yang tidak berkaitan langsung dengan peran politik yang sebenarnya. Sedangkan Front stage merupakan perwujudan aksi di depan khalayak saat mengkomunikasikan pesan-pesan politik demi kepentingan partai induk dan fraksi.
Pada hasil riset beliau didapatkan bahwa semua politisi tampil memesona baik di front stage maupun back stage. Busana dan assesoris menjadi simbol front stage yang terbawa ke back stage dalam konteks komunikasi politik di DPR-RI, meskipun pemakaian aksesoris dan sebagainya, di luar aktivitas politik, para politisi yang sebenarnya tetap melakukan pengelolaan kesan, hanya saja dengan khalayak berbeda. Penampilan mereka di atas panggung politik tersebut memunculkan kesan bahwa panggung politik tersebut ternyata dimaknai secara beragam oleh politisi yang beragam pula.
Analogi pemilu dengan dramaturgi pada pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2015 mendatang merupakan sebuah drama kehidupan yang dimainkan oleh peserta pemilu sebagai aktor sosial dan masyaraakat politik sebagai audiens sosial. Menjadi tugas aktor untuk dapat menampilkan dirinya sebaik mungkin melalui proses interaksi di depan khalayaknya. Harapannya sandiwara akan sukses apabila kita sebagai masyarakat menerima dengan baik penyajian dalam masa-masa kampanye.
Lalu bagaimana sikap kita?
Kita harus menyadari bahwa dunia politik memang penuh dengan intrik yang ditunggangi oleh kepentingan individu maupun partai pengusung. Kita tidak bisa menutup mata dengan ‘adat’ dramaturgi. Perebutan kekuasaan yang sangat menjanjikan membuat arena politik memang harus dibanjiri dengan pencitraan yang menarik simpati.
Pemilu kada yang akan kita jelang 9 Desember 2015 mendatang memberikan kita kesempatan memberikan hak suara terhadap siapa yang kita anggap pantas untuk memimpin Bengkulu selama Lima Tahun kedepan. Kita tidak menghakimi salah satu atau keduanya adalah pelaku dramaturgi. Kita melihat, mendengar dan merasakan dengan nurani siapa yang dramaturgi nya lebih pro rakyat. Hasil dari dramaturgi tersebut akan dapat kita saksikan setelah pesta demokrasi ini usai. Mari kita gunakan hak pilih untuk memiih yang terbaik untuk Provinsi yang kita cintai ini.
*Mahasiswi Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu