Pengamat Kritisi Metode Guru Mengajar
[caption id="attachment_8936" align="alignleft" width="300"] Guru Cimahi galang dana. (Sumber foto: galamedianews.com)[/caption]
BENGKULU, PB - Masih dalam rangkah peringatan Hari Guru Nasional (HGN), Pemerintah Kota Bengkulu dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar malam penggalangan dana pembangunan Gedung Guru Kota Bengkulu. Kegiatan ini akan diselenggarakan di Hotel Raffles City Pantai Panjang, Selasa (24/11/2015), pukul 19.00 WIB.
"Malam ini penggalangan dana akan dimulai. Sejumlah peserta seperti komite-komite sekolah telah kita undang untuk ikut serta dalam acara ini. Kami berharap kegiatan ini bergaung sehingga target pembangunan gedung tersebut dapat terlaksana secepatnya," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bengkulu, Marjon.
Aktifis Jaringan Anak Nusantara (Jaranan), Nanang Djamaluddin, menyampaikan apresiasi peringatan HGN. Menurutnya, profesi guru merupakan profesi yang mulai dan layak untuk senantiasa dihormati.
Hanya saja, menurut konsultan hypnoparenting dan perlindungan anak ini, naiknya taraf ekonomi guru diperkotaan yang cenderung meningkat membuat minat orang untuk menjadi guru semakin banyak. Ia mengutip riset Bank Dunia tentang program sertifikasi guru tahun 2009, 2011 dan 2012 yang mengkonfirmasi kenaikan taraf ekonomi guru tersebut.
Namun Nanang menyayangkan, berdasarkan riset itu, peningkatan taraf hidup para guru dan juga peningkatan minat orang untuk menjadi guru itu tak berbanding lurus dengan peningkatan kinerjanya dan proses pembelajaran di kelas di banyak sekolah, yang berimplikasi pada melejitnya prestasi para siswa secara massif.
"Nyaris tak ada perubahan praktek dan proses pembelajaran di banyak sekolah. Amat langka penggunaan metode pembelajaran mutakhir yang mampu melejitkan potensi kecerdasan siswa ala Howard Gardner, atau praxis pendidikan yang membebaskannya Paolo Freire, atau gaya kelas progresifnya John Dewey," ungkap Nanang.
Dia menguraikan, ia pernah meminta anak didiknya untuk menulis surat apresiasi untuk para guru, namun awalnya banyak menolak. Sebab, menurut Nanang, banyak guru yang masih bertindak tak menyenangkan pada siswa, seperti menghardik, menjewer, menarik cambang, mengeplak kepala, melempar kapur dan lainnya. Selain betapa membosankan dan tak enak cara mengajar para guru itu.
Nanang menjelaskan, guru yang demikian itu adalah guru yang menjadi pewaris metode padagogi sebelumnya yang dipandang mapan dan dianggap tak mengandung persoalan serius ketika diterapkan. Bagi Nanang, ketika metode itu terwariskan dan diserap ke dalam pikiran bawah sadar para guru generasi masa kini itu dan dipraktekkan di banyak ruang kelas sekolah, justru tanpa disadari penerapan metode pembelajaran itu berimplikasi bagi terbangunnya jarak psikologis antara guru dan siswa.
"Sikap yang diekspresikan oleh banyak anak binaan saya tentang gurunya merupakan efek dari metode pembelajaran yang keliru itu. Metode pembelajaran “gaya bank” sebagaimana diungkap oleh Paolo Freire. Atau dalam istilah saya metode “celengan bagong”. Dalam metode itu singkatnya, guru menyetor “simpanan” ilmu yang itu-itu saja dan tak ter-update, “teks book” dan tergantung seleranya dalam mengajar," bebernya.
Anehnya, jelas Nanang, sejauh ini tak ada kebijakan dalam skala nasional yang memotong keberlangsungan metode pembelajaran gaya bank atau celengan bagong tersebut. Menurut dia, kurikulum senantiasa bergonta-ganti tanpa di dalamnya ada keseriusan membenahi persoalan penting dalam sistim pendidikan dan persekolahan kita, yakni metode pembelajaran.
"Padahal dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas diartikan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara,” demikian Nanang.
Guna mengatasi hal ini, Nanang menambahkan, metode yang baik dan tepat yang dapat diterapkan dalam skala nasional di sektor pendidikan kita, adalah berbasis pada pendekatan multiple intelligence. Kata Nanang, metode ini adalah sebuah pendekatan yang memberikan apresiasi terhadap beragam potensi kecerdasan anak.
"Sementara metode pembelajaran yang diterapkan adalah bahwa cara mengajar guru harus menyesuaikan diri dengan cara belajar siswa yang beragam potensi kecerdasannya itu. Dan suasana yang dibangun haruslah menggembirakan dan sekreatif mungkin," ungkapnya.
Lewat metode itu, Nanang menekankan, sesungguhnya guru dan murid sama-sama sedang belajar. Keduanya sedang saling mengikat makna atas hal yang dipelajari sekaligus memperkaya khazanah atas hal itu lewat saling berbagi atas perspektif masing-masing.
"Pendekatan dan metode multiple intelligence amat menjanjikan mampu melejitkan potensi kecerdasan yang paling menonjol dari para siswa. Jika potensi kecerdasan paling menonjol dari setiap siswa itu terus dirangsang dan diasah penggunaannya oleh para guru dan orangtua, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi berkemampuan dan berkarakter hebat
sesuai dengan potensi kecerdasannya yang paling menonjol," ucapnya.
"Harus diingat bahwa orang sukses senantiasa ia adalah spesialis, bukan generalis. Dan dalam konteks pendekatan dan metode multipe intelligence itulah sistim pendidikan kita benar-benar sedang menyiapkan para siswa menjadi pribadi-pribadi sukses karena spesialisasi kemampuan berbasiskan pada potensi kecerdasan yang paling menonjol dan terus diasah dalam sistim pendidikan nasional kita," pungkasnya. [Revolusionanda]