SAAT MEDIA memberitakan informasi politik maka saat itupula media menjadi media politik. Dalam kenyataannya tidak ada media pers yang tak terseret dalam arus politik karena tugas dan fungsinya memang demikian untuk memperjuangan keadilan dan kebenaran.
Suara-suara keadilan dan kebenaran itu selalu digemakan dalam ruang politik. Media dan politik bagai dua sisi mata uang. Ketika aktor-aktor politik mengeluarkan wacana dan gagasannya melalui media, maka dengan sendirinya media menjadi bagian dari “aktor politik” yang berkampanye melampaui tugas partai politik.
Sebaliknya, ketika media pers bersikap abstein dari ruang politik maka ia mengabaikan tanggungjawabnya untuk memberikan informasi dan edukasi politik. Kalau hanya menyediakan hiburan belaka maka media itu tak ada bedanya dengan sirkus.
Jadi, media berhubungan dengan politik sebenarnya sah. Maksudnya, tak ada larangan bahwa sebuah media menjadi media politik. Setiap media punya misi politik masing-masing sesuai tujuan dan arah persnya.
Hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara media dan praktek politik, kental sekali terasa saat menghadapi momentum politik seperti sekarang ini. Para politisi juga sudah paham betul, siapapun yang memegang media maka ia dapat memegang opini publik.
Setiap media dan juga jurnalis bisa saja terjebak untuk memoles citra politisi secara berlebihan. Tetapi dampaknya buruk karena publik tidak bisa lagi menyaring antara fakta dan “pencitraan”. Gampang bagi media melakukan hal ini, menukangi (merekonsturuksi) isi berita seperti mencat kembali rumah yang kusam agar tampak indah. Inilah yang kemudian disebut sebagai media endorsment.
Media endorsement bukan lagi pembawa pesan melainkan pembuat pesan. Mereka memanipulasi pemberitaan melalui pilihan kata, sudut pandang, simbol, hingga isi berita, untuk tujuan pencitraan politik. Berita pencitraan yang berisi kampanye hitam atau kampanye putih yang berisikan hal yang baik-baik saja, sangat sulit dibedakan oleh masyarakat awam.
Masyarakat Bengkulu tidak bisa dengan cepat melakukan verifikasi ketika Koran Bengkulu mewartakan kehidupan masyarakat di Musirawas, Sumatera Selatan misalnya. Tetapi secara terang-terangan media tersebut tidak memberikan porsi ruang pemberitaan dan perimbangan yang adil sehingga berat sebelah dimata pembaca.
Karena itu menurut kami, tidak soal media pers terjun ke dalam pertarungan politik sejauh media tersebut bersikap objektif, berimbang, dan proporsional dalam pemberitaan. Juga tidak soal pula menjadi media partisan yang mewakili kekuatan politik sepanjang media itu tidak menjadi komoditi politik dan pragmatisme.
Banyak media pers yang menyebut-nyebut dirinya independen, tetapi dalam soal pemberitaan bergantung pada pitis. Tidak ada pitis iklan maka berita tidak naik. Setiap media yang bersikap independen artinya mesti bebas dari tekanan politik dan kepentingan transaksional.
Tetapi masyarakat juga bertanya-tanya, jika kampanye hitam yang dilakukan Koran Bengkulu dilempar ke ruang pidana, lalu apakah kampanye putih yang memanipulasi pesan dengan pencitraan kebaikan yang berlebihan tidak masuk pidana? Untuk sementara rakyat lah yang menilai.
Namun, bagaimanapun media politik itu baik, sepanjang tujuannya punya moral untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan demokratis. Karena media dalam dunia politik menjadi pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang bertangungjawab juga kepada rakyat.