Sudah setahun rasa rundung menghinggapi para jemaah shalat berhadiah. Hadiah yang diharap belum juga terkabul. Meski beberapa dari jemaah yang rajin shalat dzuhur telah disebut masuk kategori pemenang, tapi masih dengan tangan hampa, kecuali Marwan (40 tahun) warga yang bermukim di Jalan Taman Remaja RT 23 RW 8 Dusun Besar itu menerima sebuah hadiah mobil innova.
Sebagian dari jemaah berharap mereka mendapatkan hadiah ke tanah suci, Mekkah. Tanah yang dirindukan bagi sebagian besar kaum muslimin. Sebagian jemaah ini tidak berharap pada hadiah materi seperti mobil, motor, televisi, kulkas, dan sebagainya, mereka ingin ke tanah suci untuk melengakapi rukun Islamnya: menunaikan haji (juga umroh) bagi yang mampu.
Selama setahun program ini bergulir berbagai polemik menyeruak. Sebagian pihak yang mulanya menyebut para jemaah shalat melakukan ibadah bid'ah atau sesat tak lagi terdengar setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap mendukung, demikian juga dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI memberikan apresiasinya.
Ada yang menarik ketika Bimbingan Masyarakat (Binmas) Islam Kementerian Kementerian Agama RI, Dirjen Binmas Islam Prof M. Amin, menerima langsung kedatangan Pemerintah Kota Bengkulu dan DPRD Kota Bengkulu pada bulan Maret 2015 lalu, ia berkata:
“Kemarin kami (Kemang RI) buat program jalan santai dan hadiahnya adalah Umroh gratis, tujuannya hanya untuk meramaikan program. Nah, kalau kriterianya rajin ibadah dapat hadiah ini kan lebih baik lagi.”
Sayangnya polemik shalat berhadiah ini seperti berkelindan tanpa arah. Setelah masalah bid'ah usai, sekarang anggarannya yang diganjal. Selain tak berpayung hukum menurut pihak Pemerintah Provinsi, dana Umroh Gratis yang sudah tersedia sebesar Rp 2,3 miliar dilarang dianggarkan.
Pihak Gubernur berdalih bila program Umroh Gratis ini berani diteruskan maka bisa berujung di bui korupsi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bengkulu Erna Sari Dewi pun ketir dan langsung menyerah. Lantas benarkah demikian, sebab ada pihak lain yang mengendus pengganjalan program kota sarat muatan politik?
Semangat Gubernur melarang anggaran tersebut untuk melindungi pemerintah dari sisi hukum wajib disambut baik, karena program umroh gratis ini disebut bukan wewenang daerah. Namun bila ada muatan politik tentu tak dapat diterima semua pihak karena banyak daerah yang memberangkatkan warganya ke tanah suci dengan menggunakan APBD.
Jika benar penganggaran daerah untuk kegiatan umroh tak berpayung hukum, lantas mengapa Pemprov berani-beraninya mengalokasikan dana umroh Rp 1 miliar untuk 40 warga belum lama ini, bukankah ini tegolong korupsi? Haruskan Gubernur sekarang diseret ke bui karena pernyataannya?
Program religi seperti umroh gratis bukan saja dirasakan kaum muslim, beberapa daerah lain membuat program wisata rohani ke Yerusalem, Vatikan, India, dan ke kota suci lainnya bagi pemeluk agama lain. Jika pemerintah dan dewan dapat melancong ke berbagai kota menggunakan ratusan miliar uang rakyat, semestinya program religi yang positif bagi rakyat diperjuangkan.
Setidaknya ada dua celah yang dapat diterobos untuk melanjutkan program ini, pertama-tama mengatasi masalah hukum dengan membuat penganggaran yang benar. Kebijakan penganggaran yang sah merupakan produk legislasi yang tercantum dalam RPJMD/RKPD dan pembahasan anggaran sehingga bukan produk ilegal atau anggaran siluman. Jika anggaran Rp 2,3 miliar itu produk legislasi maka tak perlu dicemaskan.
Selanjutnya, komunikasi yang selama ini berjarak mesti diperbaiki, baik pihak pusat, provinsi dan kota mesti duduk semeja sehingga hambatan komunikasi teratasi. Pemerintah Daerah harus kompak terlebih dahulu, jangan saling lempar masalah, sebaliknya mesti duduk bicara atas nama kemaslahatan rakyat!