Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Nasib Petani Karet dan Sawit

Laiman Akhiri*

Inilah ongkos yang perlu dibuang untuk mentjapai hasil yang berlipat ganda banjaknja, Mohammad Hatta


LaimanSekarang ini merupakan kondisi yang pahit dirasakan oleh kaum tani. Petani di pesisir Padang Guci, Kaur, diresahkan dengan jatuhnya harga sawit dan karet. Sebuah sumber penopang hidup yang tak lagi menguntungkan.

Kondisi terebut mungkin hanya satu contoh kecil dari persoalan yang di hadapi kaum tani di Indonesia. Ketika harga kelapa sawit jatuh ketitik nadir maka bayang-bayang kemiskinan semakin terasa. Dengan harga kelapa sawit yang turun hingga 50%, dari harga Rp 1.500 per Kg menjadi Rp 700 per Kg, sudah cukup bagi kaum tani untuk gulung tikar.

Dengan harga tersebut maka hasil produksi tidak lagi mencukupi. Bahkan masyarakat tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari dan keluarga. Petani karet juga mengalami nasib serupa. Para peani di pesisir Padang Guci berpikir bahwa pertanian tidak lagi menjanjikan. Sejak tahun 2011 lalu, kenaikan harga BBM sudah cukup menceking, bertambah beban dengan jatuhnya harga karet.

Informasi yang didapatkan oleh masyarakat bahwa harga kelapa sawit dan karet sekarang jatuh karena over produksi negara-negara tujuan ekspor. Situasi ini semakin parah karena harga pertanian di desa-desa praktis tidak terlindungi.Akibatnya, meskipun harga tergolong stabil, petani tidak bisa merasakan keuntungan yang maksimal.

Membutuhkan kebijakan berpihak

Melihat nasib petani yang berada diambang krisis tersebut, tentu perlu adanya kebijakan yang berpihak. Bung Hatta, pernah menjelaskan bahwa Pasal 38 ayat 3 memberi tugas yang nyata kepada pemerintah sebagai pembangun ekonomi nasional yang bertanggung jawab kepada kepentingan umum. Pemerintah bertangungjawab penuh atas situasi tersebut.

Dari data yang dibeberkan Institute of Global Justice, Dita Sari mengungkapkan dampak dari kemiskinan ini menyebabkan daya tawar tenaga kerja domestik juga ikut turun.

Ketika kaum buruh Indonesia sudah sedemikian miskin dan tingkat pengangguran sudah sedemikian tinggi, termasuk bagi buruh sektor perkebunan bakal tidak menikmati keuntungan, karena daya tawar yang rendah menyebabkan kaum buruh dapat bekerja apa saja dengan berapapun upahnya.

Dari kondisi ini, sudah semestinya hak konstitusional warga negera yang terkandung dalam Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2, bahwa pemerintah terus-menerus menyelenggarakan usaha untuk meninggikan kemakmuran rakyat dan berkewajiban senantiasa menjamin bagi setiap orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk diri dan keluarganya.

Dengan regulasi tersebut sudah semestinya pemerintah membuat kebijakan yang berpihak dan melindungi kaum tani sehingga tidak berdampak luas ke segala sektor pekerja. Kebijakan ini mesti dipandang untuk meningkatkan kesehateraan kaum tani dan pemerataan ekonomi di desa-desa.

Membangun produksi nasional

Kondisi harga karet dan sawit murah berdampak kepada penjualan harga komoditi pertanian lainnya seperti lada, kopi, cengkeh, dan kekayaan alam lainnya.

Penyebab utamanya karena dasar sistem Indonesia yang bergantung pada pasar luar (export-economie). Sejak lama Bung Hatta mengiritisi kebijakan tersebut. System seperti itu membuat kita ‘hanya bisa’ mengikuti alur dan tidak bias mandiri (selfhelp).

Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah mengubah dasar export-economie menjadi ‘ekonomi hasil jadi’, yakni meningkatkan industri olahan dan turunan sendiri. Karena seperti yang terjadi sekarang, produksi hal terkecil pun seperti kancing baju, tusuk gigi, dan pentil ban adalah produksi luar negeri. Dengan demikian kita tidak lagi mengandalkan ekonomi eksport.

Karenanya, tidak soal pemerintah mengeluarkan dana yang besar untuk membeli alat produksi dan tenaga ahli yang tinggi untuk perekonomian rakyat, sepanjang itu membantu pengembangan alat-alat produksi maka program pembangunan akan lebih terasa.

*Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi