SETELAH Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan surat edaran terkait penanganan ujaran kebencian pada 8 Oktober 2015 yang lalu, masyarakat menimbang-nimbang, apakah ini bukan tergolong aturan-aturuan karet (hatzai artikelen) yang hampir sama dipakai Pemerintah Hindia Belanda tempo dulu.
Sejauh ini tidak ada situasi darurat yang melandasi munculnya Surat Edaran Badrodin tersebut. Polri beralasan kalau ujaran kebencian atau hate speec Nomor SE/06/X/2015 diterbitkan karena munculnya konflik horisontal di Tolikara (Papua) dan Singkil (Aceh).
Dari kedua peristiwa itu banyak pernyataan yang mengungkapkan bahwa sebenarnya aparat kepolisian lah yang tidak cakap bekerja. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan kepolisian salah menangani kasus yang terjadi di Singkil. Pun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara mendesak kepolisian meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan terhadap kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
Kepolisian dituntut objektif dalam pengungkapan kedua kasus tersebut, sebab apa yang terjadi di Singkil dan Tolikara bukan masalah SARA. Yang terjadi di Singkil adalah masalah legalitas IMB, sementara di Tolikara berakar dari kasus penembakan warga yang diduga dilakukan aparat kemanan.
Kesimpulan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI cukup mencengangkan, peristiwa di dua daerah tersebut telah terjadi pelanggaran HAM dan negara harus bertangung jawab.
Semoga saja surat edaran itu bukan upaya cuci tangan dari kesalahan aparat penegak hukum. Tetapi sejauh ini surat tersebut tidak lah efektif karena masalah yang serupa Singkil menjalar ke Sulawesi Utara belum lama ini.
Ini artinya, identifikasi masalah konflik horisontal yang disebutkan akibat Ujaran Kebencian itu, keliru. Keliru besar, karena ini merupakan masalah hukum yang terjadi diruang lokal, sehingga penyelesaian kedua masalahnya mestinya ditangani secara khusus ditingkat lokal.
Kecemasan Badrodin akan bahaya horisontal yang muncul dari ujaran yang dapat mengoyak-ngoyak kerukunan hidup, tidak lah benar. Ratusan juta masyarakat kita masih berujar dengan etis. Dan bila alasannya adalah untuk menjaga kebudayaan maka pendekatan hukum adalah salah. Dalam nilai-nilai kebudayaan maka hukuman merupakan solusi terkahir.
Bila terjadi Ujaran Kebencian, penegak hukum sudah bisa bekerja dengan payung hukum di KUHP atau Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Yang pasti Ujaran Kebencian sudah masuk hukum positif. Florence Sihombing adalah contoh yang dijerat UU ITE karena dianggap menghina masyarakat Yogjakarta.
Niat Badrodin mungkin saja baik, untuk mengingatkan masyarakat agar santun menggunakan media sosial. Tetapi, luasnya ruang lingkup surat edaran tersebut menimbulkan masalah tafsiran baru yang mengancam ruang demokrasi. Ujaran kebencian yang dimaksud merembes ke dunia nyata, orasi kegiatan, spanduk, banner, ceramah, pidato keagamaan, ujaran di media cetak maupun elektronik serta pamflet termasuk didalamnya.
Bukan tidak mungkin surat itu menjadi senjata pembungkaman suara kritis rakyat dan pers. Bila ini terjadi maka Surat Edaran Badrodin sudah bertentangan dengan esensi demokrasi yang menjunjung kebebasan berpendapat di muka umum yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mencegah berkembangnya ujaran kebencian maka sebaiknya pemerintah menunjukkan cara yang santun pula dalam penanganannya. Setidaknya pemerintah perlu belajar pada China yang sanggup menjaga keamanan untuk miliaran penduduknya, negara tirai bambu itu membuat versi media sosial sendiri, bukan kah itu membanggakan. Selain itu, kita sudah punya Kementerian Kominfo, lembaga kehumasan, keagamaan, adat, dan seterusnya, untuk membantu jika warga negara mendapat informasi yang keliru, maka tugas negara adalah meluruskan agar tidak merebak menjadi konflik horisontal.
Oleh karena itu, ada kaidah hukum masyarakat adat tempo dulu yang berbunyi begini; “Tali Undang Tambang Teliti”, yang artinya Undang-undang yang datang mestilah diteliti kembali. Setelah ditimbang-timbang, maka Surat Edaran Badrodin tentang Ujaran Kebencian tidak perlu ada karena hanya membuka peta jalan bagi penggunaan pasal-pasal karet ala kolonial.