Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru, periode 2015-2019 sudah terpilih. Pimpinan periode ini dengan ketua terpilih Agus Rahardjo benar-benar baru karena sama sekali tidak ada pimpinan dari periode-periode sebelumnya.
Kita tidak ingin larut dalam keraguaan dan pesimisme yang diperdebatkan bahwa kualitas dari pimpinan periode ini lebih buruk dari pimpinan periode sebelumnya. Biarlah kerja yang membuktikan. Dengan kebaruan pimpinan periode ini sama sekali seakan juga memberikan kesan bahwa akan ada gaya kerja yang berbeda dan perspektif yang berbeda dari periode pimpinan sebelumnya.
Tentu saja kita tidak ingin: KPK hanya menjadi lembaga riset, studi atau pun pusat informasi. Kita ingin KPK yang cepat bertindak memberantas korupsi yang telah semakin membuat runyam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dengan sistem yang canggih dan jelimet, imperialisme atau nekolim sebagaimana Presiden Sukarno menyebut kondisi penjajahan baru pasca kemerdekaan mengkorupsi kekayaan alam Indonesia. Korupsi nekolim ini menyebabkan rakyat sengsara dan lapar sehingga menimbulkan berbagai penyakit sosial dan budaya yang tampak kasat mata seperti pelacuran, gelandangan, mengemis, mencuri, mencopet dan penyuapan yang tidak malu-malu lagi dilakukan di jalanan dan terbuka: dari birokasi yang rendah sampai tinggi. Sehingga tampak korupsi menjadi budaya atau arus besar kehidupan rakyat Indonesia yang perlu ditangani secara luar biasa. Pada titik inilah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK. Harapannya jelas: KPK bisa memberantas tuntas korupsi di Indonesia.
Tetapi tanpa mengerti persoalan mendasar yang dihadapi Republik, harapan terhadap KPK itu bisa menjadi sia-sia. Kegaduhan politik justru yang ditimbulkan. Sebab, KPK pun dapat menjadi lembaga yang melakukan tindakan kongkalikong politik seperti yang ditunjukkan dengan fenomena tebang pilih dalam menjerat koruptor.
Pemberantasan korupsi seharusnya memiliki konsep yang luas; tak hanya berkutat pada dirinya sendiri, tetapi menjadi arus besar dalam membangun kedaulatan nasional, ekonomi dan kebudayaan sejalan dengan semangat Trisakti dan Nawacita. Dengan demikian, KPK tidak menjadi Lembaga yang tidak mengerti persoalan nasional dalam relasinya dengan berbagai kepentingan internasional yang berkehendak melemahkan kepentingan nasional.
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak dipilih oleh Komisi III DPR, Johan Budi, mengatakan, penindakan dan pencegahan yang dilakukan KPK ke depan seharusnya semakin berfokus pada kepentingan nasional. Dalam perspektif, visi dan misi inilah seharusnya KPK diperkuat sebagaimana janji Presiden Jokowi dalam Nawacita. Dengan demikian dugaan korupsi-korupsi besar yang berkaitan dengan pencurian sumber daya alam nasional yang telah membuat bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana juga sering disinggung Abraham Samad pada periode sebelumnya seharusnya menjadi fokus kerja KPK.
Tanpa menghubungkan pemberantasan korupsi dengan menjaga dan memajukan kepentingan nasional, KPK hanya akan menjadi picu kegaduhan nasional yang justru melemahkan Republik. Pimpinan baru KPK ada baiknya mengambil visi yang telah disampaikan Johan Budi. [BO]