Irna Riza Yuliastuty*
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Bengkulu bermaksud memberikan pandangan tentang kasus yang terjadi di Karang Tinggi Bengkulu tengah, dimana anak perempuan yang belum genap 12 tahun dipaksa menikah dengan seorang duda berinisial AM, 51 tahun, yang lebih pantas menjadi kakeknya bisa dikatakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan hak azasi anak berat.
Memang di lingkungan kita itu bukan hal yang tidak pernah terjadi. Banyak kasus pernikahan anak-anak yang terjadi disekitar kita. Penyebabnya antara lain ekonomi, pendidikan, pemahaman budaya dan nilai nilai agama.
Praktik nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa hukum perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang tak bergigi. Karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diizinkan jika pria berumur 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Bahkan dijelaskan dalam Vide pasal 7 ayat 2 pernikahan itupun bisa terjadi jika kedua mempelai dibawah 21 tahun harus mendapatkan izin dan memenuhi syarat-syarat yang berlaku.
Negara kita pada tahun 1990 telah meratifikasi konvensi internasional mengenai hak anak dimana setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ratifikasi itu tertuang dalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990.
Begitu banyak terjadi perkawinan di bawah umur dan tak pernah ataupun minim terdengar ada kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Padahal, pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dari bebeberapa instrumen hukum yang ada tersebut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Bengkulu mendesak sudah seharusnya negara hadir dalam kasus ini. Bagaimana Kades setempat sebagai struktur negara terkecil dimasyarakat, Camat, Bupati hingga Gubernur harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran ini. Jika tetap dibiarkan, dan penegak hukum dapat melakukan pengusutan dan penindakan bagi pihak-pihak yang membiarkan ini terjadi.
Dan kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk bagi para legislator baik di kabupaten/kota dan provinsi maupun pemerintah dareah untuk segera membuat aturan baik yang sifatnya Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota yang berkaitan dengan pembatasan usia pernikahan sehingga tidak terjadi lagi pernikahan anak. Karena jika dibiarkan maka sama saja kita membiarkan anak-anak kita berada pada posisi yang rawan kekerasan dan diskriminasi dan itu sangat membahayakan anak-anak dimana mental, psikis dan fisik mereka belum siap untuk memasuki fase pernikahan.
*Sekretaris Wilayah KPI Bengkulu