JAKARTA, PB - Menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KP), Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) mengevaluasi izin-izin perusahaan perkebunan di dalam negeri. Tujuan dari evaluasi ini untuk mengetahui status perizinan perkebunan tersebut sudah clean dan clear atau belum. Pasalnya, banyak izin perkebunan dari pusat yang tidak sinkron dengan daerah misalnya dari sisi data lahan.
Dijelaskan oleh Dirjen Perkebunan Kementan, Gamal Nasir, proses evaluasi sudah dilakukan sejak 2015 dan akan dilanjutkan lagi tahun ini dengan menggandeng KPK.
"Kita sudah evaluasi sejak 2015, tidak hanya karena ada kebakaran pada perkebunan kelapa sawit saja, tapi ini dilakukan karena terkait pemanfaatan sumber daya alam (SDA). Kita sedang atur waktu dengan KPK," ujarnya sebagaimana dikutip dari laman KPK, Senin (11/1/2016).
Sebenarnya, lanjut Gamal, evaluasi izin dilakukan setiap tahun oleh Ditjen Perkebunan Kementan selaku otoritas di sektor tersebut. Namun pada tahun ini, Kementan akan tegas melakukan penertiban.
"Kalau ternyata ada sesuatu yang bermasalah, tentu bisa dilakukan pencabutan izin usaha perkebunan (IUP) misalnya karena tidak memenuhi persyaratan. Atau nanti izin analisis dampak lingkungan (amdal) nya yang dicabut," tegasnya.
Sementara itu, Anggota Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNSDA) KPK Hariadi Kartodihardjo menyampaikan, dalam pertemuan tim GNSDA dengan 24 gubernur di Jakarta pada Desember 2015 lalu telah disepakati agar adanya langkah konkret untuk evaluasi dan penertiban izin tersebut.
"Mana yang CnC (clean and clear), kita konfirmasi, karena soal izin ini antara instansi dengan daerah memang nggak nyambung, datanya berbeda, sehingga perlakuan atas izin itu pun berbeda. Setelah dua kali pertemuan, terakhir Desember 2015, kita sepakati program 2016 adalah menetapkan program riil," kata Hariadi.
Program riil tersebut mencakup solusi oleh gubernur dan setiap eselon satu di kementerian teknis yang bertanggung jawab atas pemanfaatan izin dan status izin. Hal itu terkait aspek operasional, mulai dari pemenuhan syarat administratif, pemanfaatan setelah mendapat izin, hingga status lahan. Misalnya, ada perusahaan mendapat izin di lahan hutan produksi yang bisa dikonversi, namun ternyata belum ada pelepasan dari menteri.
"Atau, ada lahan yang secara struktural tidak bisa digarap pihak lain, tapi ternyata idle, atau ada izin yang diterbitkan bagi perusahaan tambang di lahan konservasi, ini kan tidak bisa. Solusinya bagaimana, apakah akan disiapkan payung hukumatas solusi itu. Intinya, supaya tidak abu-abu lagi," pungkasnya. [IC]