JAKARTA, PB - Pemerintah berencana untuk mengkaji ulang pungutan dana ketahanan energi (DKE). Kajian difokuskan pada mekanisme dan payung hukum pungutan yang kontroversial tersebut. Dengan demikian, belum bisa dipastikan apakah pungutan terhadap pembelian BBM jenis Premium dan Solar itu akan dilaksanakan pada 5 Januari ini.
Baca juga: Gila, Dana Ketahanan Energi untuk Bayar Utang dan YLKI: Batalkan Dana Ketahanan Energi
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan rencana pemerintah memungut DKE dari masyarakat itu tidak jelas dasarnya dan berpotensi disalahgunakan. Bahkan, telah terjadi penyimpangan regulasi karena yang disebut dalam undang-undang adalah depletion premium, bukan memungut dana dari masyarakat.
Oleh karena itu, Tulus menilai bila pemerintah tetap memaksakan pungutan tersebut, bisa dikatakan sebagai pungutan liar (pungli) kepada masyarakat karena tidak pernah diatur dalam UU. Tak hanya itu, menurutnya, DKE ini juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kebijakan nonenergi.
"Bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi karena lembaga yang mengelola dana tersebut tidak jelas," ujarnya.
Memang munculnya rencana dari pemerintah melalui Kementrian ESDM tersebut mendapatkan ragam penolakan. Bahkan ada yang menilai kebijakan tersebut tak layak karena yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mensubsidi rakyat. Bukan malah rakyat yang mensubsidi pemerintah.
Namun, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menerangkan dana tersebut akan dikembalikan kepada masyarakat. Namun, dalam bentuk cadangan BBM karena belum tentu harga BBM selalu stabil.
"Ini bukan masyarakat menyubsidi pemerintah. Pemerintah tidak pernah disubsidi, tetapi itu ada kelebihan, kemudian dicadangkan untuk masyarakat juga nanti," jelasnya.
Sementara Mentri ESDM Sudirman Said DKE untuk mendorong eksplorasi agar laju/tingkat deplesi (depletion rate) cadangan bisa ditekan sedemikian rupa. Tak hanya itu, dana itu nantinya juga akan digunakan untuk membangun prasarana cadangan strategis serta energi berkelanjutan, yakni energi baru dan terbarukan (EBT).
DKE ini nantinya akan disimpan oleh Kementerian Keuangan dengan otoritas penggunaan berada di kementerian teknis, yakni Kementerian ESDM. Adapun auditnya, secara internal dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian ESDM atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Selanjutnya, Badan Pemeriksa Keuangan pasti akan mengaudit juga.
Jika problem DKE terletak pada mekanisme pemungutan dan pengelolaan dan memang harus masuk dalam skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut Sudirman, solusinya tak terlalu sulit. Pemerintah akan mengusulkan ke DPR melalui mekanisme APBN Perubahan.
"Kita perlu mengatur secara khusus tata-cara pemungutan dan pemanfaatan DKE, termasuk prioritas pemanfaatannya. Pada bulan Januari 2016, kami akan mengonsultasikannya kepada Komisi VII DPR," jelasnya.
Menanggapi hal ini, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Andang D. Bachtiar menilai jika DKE yang dimaksud Menteri ESDM itu adalah dana untuk menjamin ketersediaan energi, termasuk energi terbarukan, pengambilannya dari energi fosil sebagai “premi deplesi” telah diatur pula dalam PP No. 79/2014.
"Khususnya pada Pasal 27, ayat-ayatnya sudah memuat ketentuan tentang depletion premium tersebut," jelas Andang yang juga ketua KEN ini. (IC)