Reformasi dan demokratisasi di Indonesia hampir menapaki usianya yang ke-18 tahun. Dalam masa tersebut, perubahan demi perubahan telah dilakukan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, hukum serta politik. Salah satu perubahan menonjol yang sekaligus menjadi konsekuensi logis dari negara demokrasi adalah jaminan terhadap hak-hak individu, termasuk hak dalam menyampaikan pendapat.
Sebenarnya ketika awal negara ini berdiri, para founding fathers kita telah memberikan jaminan hak menyampaikan pendapat di dalam konstitusi UUD 1945 melalui pasal 28 yang pada intinya menyatakan kemerdekaan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan dijamin oleh Undang-Undang. Namun saat rezim berganti dibawah pemerintahan orde baru, jaminan tersebut seakan menjadi hiasan yang memperindah pasal dalam konstitusi kita, karena faktanya sejumlah pengkritik pemerintah pada akhirnya diundang secara khusus menjadi tamu politik di dalam “Hotel Prodeo.” Namun kini, era telah berganti. Hak menyampaikan pendapat telah hidup kembali dan menjadi hak yang hakiki bagi setiap individu.
Hak ini tidak hanya terbatas pada hubungan garis horizontal, yakni antar warga negara, namun juga pada garis vertikal, antara masyarakat dengan para pemangku kebijakan. Dengan kata lain, masyarakat memiliki hak menyampaikan pandangan dan masukan terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu teori partisipasi publik yang dikemukakan Ann Seidman, Robert B Seidmen dan Nalin Abeyserkere, menjelaskan bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan pihak berwenang, memiliki hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Poin ini juga menjadi “ruh” dalam teori-teori partisipasi publik yang dikemukakan para ahli kebijakan publik lainnya.
Melalui keterlibatan publik dalam pembuatan kebijakan setidaknya diperoleh beberapa manfaat, pertama, mendukung terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kedua, memperkaya pandangan dan argumentasi atas kebijakan yang akan dilahirkan sehingga membuat kebijakan tersebut menjadi lebih berkualitas. Ketiga, membuat sebuah kebijakan lebih berpeluang diterima masyarakat. Keempat, biaya yang digunakan dalam pembuatannya menjadi lebih efisien. serta kelima, meminimalisir respon negatif masyarakat yang dapat berdampak pada stabilitas politik.
Salah satu torehan besar partisipasi publik di bidang politik pada dekade pertama reformasi adalah dimulainya era pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah secara langsung. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI untuk kali pertama dilaksanakan pada tahun 2004 dan berjalan sukses. Kesuksesan tersebut menjadi salah satu preseden didaulatnya Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Sedangkan pemilihan kepala daerah secara langsung yang merupakan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 2005. Melalui pemilihan langsung, masyarakat dapat mengaktualisasikan hak politiknya secara bebas dan rahasia untuk memilih para pemimpin yang dianggap dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini sekaligus menjadi penegas bahwa negara berupaya mengakomodir partisipasi dan hak-hak politik setiap warga negaranya.
Dalam bidang hukum, amandemen-3 UUD 1945 telah melahirkan sebuah lembaga baru yang dikenal dengan sebutan “The Guardian of Constitution” yakni Mahkamah Konstitusi. Melalui lembaga ini, masyarakat dapat berpartisipasi menggunakan hak hukumnya untuk mengajukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi maupun undang-undang lainnya. Tak hanya itu, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, negara memberikan jaminan kepada masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dalam pembuatan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Dalam Bab XI tentang Partisipasi Masyarakat, Pasal 96 ayat (1) menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Beberapa hal ini semakin melengkapi ruang keterlibatan masyarakat dalam perumusan suatu kebijakan publik.
Berbicara tentang partisipasi publik tentu tak dapat dilepaskan dari faktor keterbukaan penyelenggara negara terhadap kebijakan yang dibuat. Pada tahun 2008, Pemerintah dan DPR bersepakat melahirkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan undang-undang ini diantaranya, pertama, menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan pubik, serta alasan pengambilan suatu keputusan pubik. Kedua, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Ketiga, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik, serta keempat, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. UU KIP menjadi salah satu landasan yuridis bagi penerapan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas kebijakan negara. Meskipun selama 7 tahun ini ada berbagai kekurangan dalam pelaksanaannya, namun UU ini merupakan langkah maju pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik.
Dalam ranah gerakan sosial, tahun 2011 pemerintah memprakarsai lahirnya Open Government Indonesia (OGI). OGI merupakan gerakan yang bertujuan membangun pemerintahan yang lebih terbuka, partisipatif dan inovatif. Pemerintah mengajak masyarakat untuk aktif memperhatikan dan memberi masukan dalam pembuatan kebijakan publik. Hingga saat ini, sudah cukup banyak kegiatan yang dilakukan OGI untuk melibatkan masyarakat dalam pembuatan regulasi dan kebijakan, termasuk yang berkenaan dengan bidang pemberdayaan masyarakat. Melalui OGI masyarakat dapat berpartisipasi secara mandiri dalam penyusunan pembuatan kebijakan sehingga kebijakan yang dilahirkan diharapkan lebih bermanfaat, dinamis dan mengakar.
Perkembangan teknologi komunikasi dan dunia digital membuat sekat komunikasi antar individu semakin tereduksi. Perkembangan ini semakin membuka ruang bagi masyarakat dalam mengekspresikan diri. Pesatnya penggunaan aplikasi media sosial seperti twitter, facebook, maupun aplikasi media sosial lainnya turut berkontribusi dalam meningkatkan perhatian publik pada isu-isu dibidang sosial, politik, dan ekonomi. Perlahan tapi pasti, perhatian masyarakat terhadap perilaku dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah semakin besar. Bahkan istilah trending topic dan fenomena hashtag (#) di twitter yang belakangan ramai digunakan, berhasil menjadi lokomotif dalam membawa suatu hal menjadi isu publik. Hal ini dapat membentuk persepsi di benak masyarakat dan sedikit banyak turut memberikan pengaruh pada sikap pemerintah. Fenomena ini menjadi gambaran bahwa ruang partisipasi publik telah terbuka begitu lebarnya, tak hanya di dalam dunia nyata, namun juga di dunia maya.
Sekarang, bagaimana membuat partisipasi publik ini dapat dimanfaatkan secara optimal guna menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara?. Terlepas dari budaya politik masyarakat Indonesia yang turut berkontribusi pada kondisi negara, perlu disadari bahwa Indonesia belum memiliki mekanisme akomodasi partisipasi publik yang bekerja secara terstruktur dan sistematis. Tentu kita tak ingin masukan-masukan bermanfaat dari publik hanya menjadi serpihan puing-puing yang tak terhimpun menjadi sebuah bangunan yang tegak. Oleh karenanya, diperlukan pengelolaan yang baik terhadap masukan-masukan dari masyarakat.
Kita dapat melihat pola akomodasi partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, atau dalam bentuk lainnya yakni public consultation, dari sejumlah negara. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Amerika menggunakan teknologi internet dalam menjaring masukan publik yang dikenal dengan eRulemaking Programs. Program ini dikelola oleh lembaga yang diberi kewenangan negara dalam mempublikasikan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat maupun direview, serta menghimpun pendapat dan masukan masyarakat (public comments) atas peraturan tersebut. Masukan-masukan yang disampaikan masyarakat diolah dan teruskan kepada kementerian dan lembaga terkait untuk di kaji lebih lanjut sebagai masukan kebijakan. Program ini merupakan amanat dari Administrative Procedure Act (APA) tahun 1946, Electronic Government Act (E-Gov Act) tahun 2002 serta Executive Order 13563. Tiga elemen utama dalam eRulemaking Program, yaitu pertama, portal www.regulation.gov sebagai website resmi pemerintah yang digunakan untuk menampung pendapat masyarakat. Kedua, Federal Docket Management System (FDMS), merupakan sistem yang diciptakan untuk memudahkan kementerian/lembaga yang berwenang dalam mengkategori, mengelola, serta mengkaji pendapat-pendapat yang masuk. Dan ketiga, mekanisme koordinasi antar lembaga dalam mengelola pendapat masyarakat.
Hingga saat ini telah terdapat 200 ribu dockets dan lebih dari 7 juta dokumen yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masuk serta bahan-bahan pendukung yang dapat diakses publik. Selain website, pemerintah Amerika juga menghimpun pendapat-pendapat publik melalui wadah sosial media seperti twitter dan facebook. Melalui pengelolaan partisipasi publik berbasis internet ini, masyarakat Amerika Serikat diberikan kesempatan luas dalam menyampaikan masukannya terhadap regulasi yang dibuat, tak terbatas pada ruang dan waktu.
Pengelolaan pendapat masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan melalui internet ini juga dilakukan oleh Malaysia melalui website resmi www.ris.mpc.gov.my yang dikelola lembaga Malaysia Productivity Corporation (MPC), serta wadah media sosial yang merupakan akun resmi pemerintah. Sejumlah negara lainnya juga sudah menerapkan mekanisme akomodasi dan pengelolaan partisipasi publik yang baik, agar apa yang disampaikan dapat bermanfaat bagi kebijakan yang dihasilkan.
Kita berharap agar lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia dapat memanfaatkan pendapat masyarakat sebagai masukan dalam memperkaya kebijakan maupun keputusan yang akan dihasilkan. Untuk itu, diperlukan keseriusan pemerintah dan parlemen melalui kebijakan pengelolaan pendapat publik agar berjalan efektif, optimal dan tentunya bermanfaat dalam meningkatkan kualitas kebijakan. Beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggalakkan penggunaan sosial media bagi seluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah sebagai wadah komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Meskipun belum seluruh masyarakat Indonesia menggunakan internet, terlebih lagi media sosial, namun keputusan tersebut merupakan langkah maju pemerintah untuk menjemput aspirasi masyarakat. Kita berharap ke depan, ada berbagai langkah strategis lainnya dalam menciptakan mekanisme pengelolaan partisipasi publik yang efisien, konstruktif yang pada akhirnya bermanfaat dalam memajukan bangsa dan menyejahterakan masyarakat.
*Staf pada Biro Sumber Daya Manusia, Organisasi, dan Tata Laksana Sekretaris Kabinet RI