Rr. Imamul Muttakhidah*
DILEMA moralitas yang melanda remaja akhir-akhir ini memerlukan kepekaan tersendiri. Berbagai ekspresi bermunculan hingga penyimpangan-penyimpangan di luar nalar. Akhir bulan lalu kota Bengkulu dibuat heboh dengan aksi 8 remaja tanggung yang melakukan sholat di Simpang Lima untuk sekedar foto selfie. Beberapa hari kemudian seorang pelajar selfie dengan membaca koran ditengah jalan. Didaerah lain seperti yang dilansir portal berita merdeka.com, razia satpol PP menemukan pelajar bolos sekolah tengah asik berjudi, nongkrong diwarung remang-remang hingga mesum di warnet (28/01/16). Sementara, tengah hangat diperbincangkan tentang penyimpangan orientasi seksual/homoseksual yang dikhawatirkan dapat membuat semakin menukik turun grafik moralitas generasi bangsa masa depan. Tentu hal tersebut bukan prestasi yang patut dibanggakan.
Menurut teori pembelajaran, seseorang menghadapi masalah berawal karena ia tidak mengenali informasi atau tidak memahami kondisi/pilihan yang sedang dihadapi. Pengaruh dari ketidakpahaman tersebut mengakibatkan keputusan yang kurang tepat terhadap penyelesaian permasalahan. Pada orang dewasa, sudah ada aktivitas mental mengenai sebab-akibat. Artinya orang dewasa–idealnya-sudah mencapai kesadaran mengenai konsekuensi yang lebih jauh terhadap setiap keputusan yang diambil. Maka aspek apa saja yang perlu dibenahi pada perilaku generasi muda saat ini tentu pertamakali harus dipikirkan oleh manusia yang sudah dewasa saat ini.
Jika dirunut ke belakang, ada banyak hal yang sebelumnya terjadi pada kaum intelektual dalam pemerintahan maupun masyarakat. Mau tidak mau menjadi bagian dari pembentukan perspektif remaja masa kini. Maka untuk menanggapi perilaku “alay” remaja tidak bisa dinilai benar-salah, dengan menyuruh mereka melakukan sholat taubat, misalnya. Namun harus memperhatikan sub-sistem yang menjadi bagian dari lingkungan sosial mereka, seperti sekolah, teman-teman dan keluarga. Bagian tersebut tidak bisa berjalan terpisah atau justru akan menimbulkan “kebingungan” lebih dalam terhadap nilai-nilai yang ditanamkan.
Fase “bingung”
Kita tidak bisa menggeneralisir bahwa kelompok anak muda atau remaja adalah sarang kerusuhan. Secara psikologis, terjadinya kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak sampai menginjak remaja dari para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi, pendidikan yang membuatnya merasa rendah diri. Kenakalan remaja dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang, masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku.
Menurut teori perkembangan Kohlberg (1958), tahapan penalaran moral menentukan proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan. Kita dapat pelajari, remaja kekinian adalah warga aktif global village. Sebagian besar mereka masih usia sekolah, dengan spesifikasi kelahiran tahun 1995-2010. Pada masa transisi atau pencarian jati diri tersebut, diperlukan filter untuk menyaring informasi dan pemahaman sesuai tahap perkembangannya. Setiap tindakan yang dilakukan menjadi bagian untuk menunjukkan eksistensi diri. Sehingga karakter remaja dipenuhi kecenderungan untuk melakukan suatu uji “coba-coba” dengan penalaran instan yang berdampak pada lingkungan sekitarnya.
Kegandrungan generasi muda pada budaya klik membawa bentuk baru media ber-sosialisasi dengan penggunaan internet. Teknologi informasi berbasiskan Internet membuat Generasi Z (sebutan untuk remaja Internet native) relatif mengabaikan nilai-nilai luhur kehidupan bermasyarakat. Meski ada juga kemajuan teknologi informasi yang membawa kemungkinan baru nan progresif dalam banyak bidang. Saat ini kita tidak bisa berbicara sekehendak hati di hadapan media. Di dalam hitungan detik, apa yang kita sampaikan akan tersebar melalui portal berita dan di-viral-kan melalui beragam media sosial. Disisi lain, pun dimanfaatkan untuk memperoleh popularitas dalam waktu yang instan. Media sosial menjadi wadah baru untuk mengutarakan permasalahan-permasalahan masyarakat dan penawaran eksistensi diri.
Generasi Muda yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya akan mempengaruhi tahapan kehidupan selanjutnya. Masa pendewasaan yang berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat tak pelak menjadi suatu permasalahan sosial. Namun kekhawatiran akan kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada fase ini. Maka pendidikan formal maupun non-formal turut bertanggungjawab mengkonstruk kepribadian remaja, setidaknya, harus mengetahui bahwa segala sesuatu membutuhkan perjuangan. Proses yang akan membentuk makna dan kematangan kepribadian seseorang. Perbedaan-perbedaan antargenerasi seperti itu, harus dipahami masyarakat. Kaum intelektual, tokoh masyarakat, maupun stakeholder lain menjadi sumber daya manusia untuk menanggulangi dengan langkah yang tepat dan mengakomodasi kebutuhan itu.
Pada akhirnya diperlukan sarana untuk melaksanakan pengendalian sosial seperti teguran, hukuman, pendidikan formal informal, penanaman nilai agama yang kuat. Jangan harap Generasi Z bisa duduk anteng seperti orang-orang tua di sudut ruang yang kariernya segera mandek. Generasi muda sangat peduli pada kenaikan jenjang, kemajuan zaman dan percepatan. Yang bisa dilakukan ditengah ‘kebingungan’ yang menyelimuti kita saat ini adalah memelihara akal sehat kita masing-masing sembari menghilangkan sikap abai terhadap sesama. It’s ours dilemma!
*Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Bengkulu.