BENGKULU, PB - Manager Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu, Sony Taurus, mengatakan, perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan di Bengkulu masih banyak yang mendapatkan raport merah. Salah satu persoalanya adalah evaluasi perizinan dan transparansi pemerintah yang belum terbuka.
Baca juga: Nasib Pertambangan Ditangan Pemprov
"WALHI sebagai organisasi bergerak bersama sama masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan baik dari ancaman kegiatan pertambangan maupun perkebunan yang ilegal," kata Sony kepada Pedoman Bengkulu, Sabtu (13/2/2016).
Di Bengkulu sendiri, lanjutnya, banyak titik konflik. Terbesar terjadi di sektor pertambangan. Menurtnya, smelter ini bukan suatu cara atau solusi mengatasi konflik ditengah masyarakat. Baginya, pembangunan smelter diterapkan dan dijalankan oleh pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan usaha pertambangan.
"Kita tidak mengurus smelter. Tetapi melakukan usaha penyelamatan lingkungan dari aktivitas tambang itu prioritasi kami. Bila terjadi konflik karena sumber daya alam, cagar alam habis, ruang kelola dan permukiman terganggu akibat pengerusakan lingkungan oleh perusahaan tambang ilegal maka kami datang untuk menjadi mendampingi masyarakat," terangnya.
Terkait pengawasan, dia mengatakan WALHI hanya mendampingi masyarakat. Masyarakat, sambungnya, akan didorong untuk mencari solusi dan menyelesaikan persolannya.
"Bagaimana masyarakat ini ruang kelolanya aman, semua aktivitas yang hidup dari sawah, dan kebun agar tidak terancam dari kegiatan tambang ilegal," ujarnya.
Untuk solusinya, Walhi menyarankan pemerintah untuk segera mengevaluasi perizinan perusahaan tambang dan perlu memperhatikan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), serta pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat umum.
"Ini tugas pemerintah yang baru sekarang, jadi wilayah KLHS jangan diberikan izin disitu. Kawasan hulu dan hilir Daerah Aliran sungai (DAS) harus bebas dari aktivitas tambang. Untuk pemerintah harus lebih transparansi terkait pemberian izin tambang," tutupnya. [Theo Jati Kesumo]