*Revolusionanda
MAJU Bersama Harapan Rakyat. Demikian slogan yang diangkat oleh mantan Calon Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti, pada masa-masa kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2015 yang lalu. Bersama slogan itu, ia selalu menyampaikan bahwa Provinsi Bengkulu merupakan provinsi termiskin, terbelakang dan paling tertinggal di Indonesia bagian barat.
Baca juga : Harapan Besar Rakyat kepada Ridwan Mukti
Sebagaimana rilis Bank Indonesia (BI) Perwakilan Bengkulu akhir tahun 2015 silam, sedikitnya ada sembilan sebab yang menyebabkan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan Provinsi Bengkulu tersungkur. Diantaranya tingginya money outflow (aliran uang keluar), rendahnya konsumsi produk lokal, daya saing produk lokal rendah suku bunga rata-rata relatif mahal, ekspor masih mengandalkan produk mentah, industri lokal belum tumbuh, produktivitasnya pangan rendah, infrastruktur terbatas dan kualitas sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan.
Baca juga : Pengusaha Retail Besar Gempur Bengkulu
BI Perwakilan Bengkulu mencontohkan, pendapatan yang dihasilkan oleh para pelaku bisnis di Bengkulu yang berasal dari luar daerah hanya berkisar 17,72 persen, keluar uang 72,39 persen dan kembali hanya 17,39 persen. Untuk konsumsi barang-barang, mayoritas masih didatangkan dari luar. Misalnya beras, sebanyak 67 persen masih memasok dari Lampung. Komoditas andalan yang dikirim dari Bengkulu ke luar hanya bahan-bahan mentah seperti sawit, karet dan batubara.
Sebelum menjadi Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti telah menyadari itu semua, terutama dalam hal lemahnya industri yang ada di Bengkulu. Dalam sebuah pernyataan yang ia sampaikan kepada jurnalis pada tanggal 16 Desember 2014 di Hotel Horizon, mantan Bupati Musi Rawas ini telah memikirkan sejumlah regulasi dan pembiayaan dalam rangka menggalakkan industrialisasi di Provinsi Bengkulu.
Baca juga : RM Siapkan Terobosan
Menurutnya, industri yang dapat dikembangkan di Provinsi Bengkulu adalah industri pertanian. Ia menginginkan agar model pengelolaan tidak lagi hanya berpatok kepada pengembangan budidaya, namun juga dalam skala industri. Ia mencontohkan Provinsi Jawa Barat. Dimana banyak petani yang menanam singkong, namun disisi lain terdapat pabrik tapioka disana. Tidak seperti di Provinsi Bengkulu yang terdapat banyak sawit, namun tidak memiliki pabrik minyak goreng sama sekali.
Lebih jauh bahkan, Ridwan telah memikirkan langkah strategis untuk mengirimkan produk-produk Bengkulu ke luar dengan cara meningkatkan kapasitas pelabuhan di Provinsi Bengkulu. Ia menginginkan agar pelabuhan di Bengkulu dapat ditingkatkan menjadi pelabuhan internasional. Menurut dia, sejumlah syarat harus disiapkan. Misalnya diperkenankannya kapal-kapal asing untuk masuk, menyiapkan fasilitas karantina, memisahkan dermaga ikan dan batubara, serta sejumlah syarat lainnya.
Baca juga : Didebat Kandidat, RM Tekankan Pendidikan dan Pembangunan Maritim
Keinginan Ridwan itu patut diapresiasi, meski untuk melaksanakannya tentu saja dia membutuhkan dukungan politik, bukan hanya dari mitra pemerintahan di DPRD Provinsi Bengkulu, namun juga dari seluruh kompenen masyarakat serta sumber daya manusia yang dimiliki oleh Bumi Rafflesia sendiri. Saat ini, Ridwan mewarisi kepemimpinan dimana sarana infrastruktur masih minim, tenaga kerja terampil yang masih sedikit dan daya beli masyarakat yang teramat rendah.
Problem lainnya yang dihadapi Ridwan adalah ketiadaan industri dasar seperti pabrik semen, pabrik aluminium, pabrik kimia, pabrik besi dan pabrik lainnya untuk menopang program industrialisasi tersebut. Bahkan ketersediaan listrik saja Bengkulu masih payah. Meski telah lama diwacanakan, namun proyek elektrifikasi di Provinsi Bengkulu tak pernah berjalan maksimal. Saking seringnya, orang Bengkulu seringkali meluapkan kekesalannya dijejaring sosial ketika PT PLN menetapkan pemadaman bergilir dengan berbagai meme memilukan.
Masalah berikutnya adalah permodalan. Kalau Ridwan Mukti ingin membangun pabrik sendiri, milik Pemda Provinsi Bengkulu, tentunya masalah modal ini akan menjadi persoalan yang serius. Selama ini, Bengkulu masih sangat bergantung dengan pendanaan dari pemerintah pusat. Masalahnya akan lebih mudah bilamana Ridwan memulainya dengan cara menyicil atau menyiapkan industri yang mampu memenuhi kebutuhan hidup rakyat sehari-hari terlebih dahulu seperti makanan, minuman, industri penunjang perumahan, pendidikan dan kesehatan. Atau Ridwan bisa saja mengundang investor dari luar, selama investor tersebut bersedia bagi untung yang adil dengan pemerintah.
Namun untuk sarana dan prasarana yang menyangkut kepentingan publik secara luas, Ridwan harus tegas menolak hadirnya pihak swasta. Seperti yang diungkapkan oleh Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan mengenai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bengkulu. Meski banyak tawaran investasi yang menggiurkan dari pengusaha Tiongkok dan nasional untuk menanamkan modalnya, namun Helmi menolak. Sebab, Helmi khawatir, bila RSUD Kota Bengkulu dikuasai swasta, perusahaan itu akan menolak memberikan layanan kesehatan bila rakyat yang ingin berobat ke rumah sakit tersebut tak memiliki uang.
Baca juga : Helmi Hasan Tolak Investor dari Tiongkok
Hal itu juga pernah disampaikan oleh Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Ia bilang, kalau industrialiasi mau berarti jalan sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran untuk rakyat, mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau dari pihak pemerintah. Kalau kapital didatangkan dari luar (modal asing), makan jalan industrialiasi bisa melenceng dari cita-cita memakmurkan rakyat.
Agar berhasil, Bung Hatta juga menyarankan perlunya perencanaan yang matang. Menurut Hatta, proses industrialisasi jangan sampai lepas kendali agar upaya itu benar-benar dapat mensejahterakan rakyat. Ide Bung Hatta ini teralisasi di Venezuela, negeri yang baru bangkit dari keterbelakangan. Dengan dukungan Tiongkok dan Vietnam, negeri yang dahulunya miskin itu telah mampu menciptakan telepon seluler dan bola lampu hemat energi.
Baca juga : RM Satu Wakafkan Diri Bangun Bengkulu
Meski sebagai contoh Venezuela terlalu jauh dari Indonesia, tapi dengan kemauan politik dan keseriusan Ridwan Mukti untuk membangun ekonomi daerah yang ia sebut miskin, terbelakang dan paling tertinggal di Indonesia bagian barat ini, dia pasti bisa. Semoga. [**]
*Jurnalis, tinggal di Kota Bengkulu