Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, berbagai organisasi perempuan dan gerakan sosial di berbagai negara dibelahan bumi mengadakan demonstrasi besar-besaran melawan kekerasan terhadap perempuan, termasuk femicide.
Di Indonesia sendiri, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis. Catatan Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut ada 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Tidak hanya sampai disitu, juga ada banyak regulasi/aturan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Berbagai upaya juga sudah dilakukan untuk mengangkat posisi perempuan, termasuk lewat Undang-Undang (UU). Bahkan makin banyak organisasi sosial dan organisasi perempuan yang berjuang untuk hak-hak perempuan di berbagai tempat. Namun, kenapa angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi?
Sejumlah Persoalan
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kenapa kekerasan terhadap perempuan tidak kunjung berkurang. Pertama, lemahnya penegakan hukum yang memberikan perlindungan terhadap perempuan. Negara kita sudah punya beberapa aturan untuk melindungi kaum perempuan, terlepas dari beberapa kekurangannya. Tetapi penerapan dan penegakannya selalu lemah, sehingga tak cukup kuat meredam angka kekerasan terhadap perempuan.
Kedua, budaya patriarki yang masih kuat mempengaruhi cara pandang atau nalar pikir masyarakat kita. Patriarki adalah konstruksi sosial dan ideologis yang mengukuhkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Superioritas itu mewujud dalam kontrol terhadap tubuh, tingkah laku (perangai), dan peran perempuan. Di bawah patriarki juga, tubuh perempuan hanya diposisikan sebagai alat reproduksi, pemuasan (seksual), dan pelayanan (melayani suami/laki-laki).
Situasi itulah yang membuat perempuan rentan terhadap kekerasan. Termasuk dari orang-orang terdekat, yakni keluarga dan pasangan (suami/pacar). Temuan Oxfam Indonesia menyebutkan, bahwa sebagian besar pelaku kekerasan terhadap perempuan orang-orang dekat korban, yakni keluarga dan pasangan.
Ketiga, kemiskinan dan ketidakmandirian secara ekonomi. Hal ini terutama berlaku dalam perempuan yang sudah ber-rumah tangga. Perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi akan menggantungkan nasibnya kepada suami. Ketika terjadi pertengkaran, istri akan berlaku pasrah ketika terjadi KDRT oleh suaminya. Menurut catatan Komnas Perempuan, dari 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan, sebanyak 68 persen adalah kekerasan domestik atau rumah tangga.
Kontribusi Neoliberalisme
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem neoliberal yang menjadi pendekatan kebijakan ekonomi Indonesia saat ini telah membawa perempuan sangat rentan menjadi objek kekerasan dan eksploitasi. Neoliberalisme menjadi pemicu kekesan fisik dan ekonomi.
Memang, neoliberalisme mengorbankan rakyat banyak. Tidak hanya kaum perempuan. Tetapi perlu disadari bahwa patriarki telah dipelihara di bawah sistim neoliberalisme ini. Inilah yang membut perempuan menjadi sektor paling rentan dieksploitasi di bawah neoliberalisme.
Bagaimana jalinan antara patriarki dan neoliberalisme itu?
Pertama, dalam masyarakat patriarkal, laki-laki ditempatkan sebagai “pencari nafkah utama”. Sedangkan perempuan bertugas sebagai petugas rumah tangga (domestik). Ketika sesuatu hal, taruhlah tekanan ekonomi, memaksa perempuan keluar rumah untuk bekerja, maka posisi mereka hanya sebagai “pencari nafkah tambahan”.
Hal ini membawa ketidakadilan dalam sistem pengupahan. Jadinya, upah buruh laki-laki lebih banyak dari upah buruh perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga (istri dan anak). Sementara buruh perempuan, sekalipun sudah menikah atau sudah berkeluarga, tetap dianggap buruh lajang.
Jadi, neoliberalisme diuntungkan oleh konstruksi sosial yang menganggap perempuan hanya “pencari nafkah tambahan” ini. Ini nampak pada fakta bahwa buruh perempuan paling rentan terhadap kebijakan upah murah dan penempatan pada pekerjaan tidak tetap.
Catatan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2012 menyebutkan bahwa kesenjangan upah antar gender di Indonesia masih berkisar 19%. Kesenjangan upah antar gender adalah kesenjangan gaji/pendapatan yang diterima oleh buruh perempuan dengan buruh laki-laki.
Dengan posisi sebagai ‘pencari nafkah tambahan’, perempuan paling banyak mengisi pekerjaan tidak tetap. Sebuah data mengungkapkan, hampir 80 persen buruh kontrak, harian lepas, dan borongan adalah buruh perempuan. (Suara Merdeka, 2007)
Selain itu, karena selalu diposisikan sebagai petugas rumah tangga (domestifikasi), maka sebagian besar tenaga kerja perempuan tergolong berketerampilan rendah. Sebagian besar perempuan yang dipaksa bekerja di luar rumah memilih pekerja yang berkaitan dengan pekerjaan domestik mereka, yakni sebagai pembantu rumah tangga, pelayan toko, pelayan warung makan, pengurus bayi, dan pengurus lansia. Dan, ironisnya, hingga hari ini pekerjaan-pekerjaan itu belum dipayungi aturan hukum yang menjamin hak-hak normatif mereka, seperti upah layak, hak cuti, jaminan keselamatan kerja, dan lain-lain.
Kedua, pengahapusan subsidi dan privatisasi layanan publik (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain). Perempuanlah yang menjadi sasaran langsung terhadap kebijakan ini dikarenakan perempuan dianggap paling bertanggung jawab dalam urusan domestik dan memegang kendali ekonomi keluarga. Sebagai contoh: ketika pemerintah mencabut subsidi BBM, yang secara berantai akan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya, maka perempuanlah yang paling memutar otak. Sebab, perempuan yang dianggap bertanggung jawab atas urusan dapur rumah tangga. Maka tidak heran jika sebagian besar kasus bunuh diri yang dipicu oleh beban ekonomi rumah tangga terjadi pada ibu rumah tangga/ perempuan.
Ketiga, neoliberalisme berkonstribusi memaksa perempuan menjadi buruh migran. Karena neoliberalisme menghancurkan basis ekonomi rakyat, baik pertanian maupun industri kecil, maka banyak keluarga yang kehilangan topangan ekonomi. Pada saat itulah perempuan tampil tenaga tambahan, bahkan tenaga inti, untuk menopang ekonomi keluarga. Banyak perempuan, terutama dari desa-desa, mencari pekerjaan di kota-kota dan di luar negeri.
Menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), terhitung Januari sampai dengan November 2015 terdapat 253.084 pekerja migran berasal dari Indonesia. Dan 60 persen diantaranya adalah perempuan. Mereka sebagian besar bekerja sebagai PRT tanpa perlindungan hukum ketenagakerjaan yang memadai. Akibatnya, mereka menjadi rentan menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, dan perkosaan.
Keempat, neoliberalisme mendorong komoditifikasi segala hal, termasuk kaum perempuan. Ini nampak dalam maraknya perdagangan perempuan dan komoditifikasi tubuh perempuan sebagai objek eksploitasi seksual (pornografi, pelacuran, promosi barang/sales promotion girl dan lain-lain).
Tekanan ekonomi di bawah neoliberalisme terhadap keluarga juga memicu kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Komnas Perempuan mencatat, hampir 60 persen kekerasan yang terjadi terhadap perempuan terjadi di dalam rumah tangga. Dan sebagaian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dipicu oleh persoalan ekonomi.
Neoliberalisme juga menyerang hak-hak pekerja perempuan, seperti hak cuti haid dan melahirkan. Juga ada banyak kasus pekerja perempuan di-PHK karena sedang hamil.
Dari pemaparan diatas jelas bahwa kebijakan neoliberalisme berkontribusi besar pada meningkatnya kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan. Karena itu, selain kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh gerakan perempuan saat ini, perlu bagi perempuan untuk menjadikan anti-neoliberalisme sebagai platform bersama pergerakannya. Tentunya, gerakan perempuan harus bergandengan sektor sosial yang lain untuk melawan dan menghentikan agenda neoliberalisme ini.
Ditulis oleh: Rini Hartono, Aktivis Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini