Rudi Hartono*
Awal Januari lalu, ketika menyambut berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Presiden Joko Widodo meminta rakyat Indonesia untuk tidak manja.
Seperti dilansir Kompas.com (4/1), Pak Jokowi menegaskan, pemerintah tidak akan memanjakan masyarakat karena menurunkan daya saing. Yang dimaksud “memanjakan” oleh Presiden adalah proteksi dan subsidi kepada rakyat.
“Jangan berharap negara akan proteksi, subsidi besar-besaran yang akan melemahkan daya saing kita. Sudah tidak lagi. Deregulasi akan kita keluarkan, daya saing akan lebih baik,” ujar Pak Jokowi seperti dikutip Kompas.com.
Pernyataan Pak Jokowi itu inkonsisten. Pertama, saat debat capres-cawapres jelang Pilpres 2014 lalu, Jokowi bicara tentang perlunya membuat regulasi untuk mempersulit investor asing masuk ke Indonesia.
Sekarang, setelah jadi Presiden, Jokowi malah getol bicara deregulasi. Esensi deregulasi adalah penghilangan semua aturan hukum/birokrasi yang merintangi kebebasan modal.
Kedua, Pak Jokowi melarang rakyat manja, tetapi bapak malah memanjakan pengusaha. Hampir semua kebijakan Jokowi sejak jadi Presiden sangat memanjakan pengusaha, seperti kemudahan perizinan usaha, keringanan/pembebasan pajak, jaminan upah murah, kemudahan mengakses bahan baku, kemudahan pembebasan lahan, dan lain-lain. Termasuk proyek-proyek infrastruktur untuk mendukung ekspansi modal ke seantero negeri dan melancarkan distribusi barang dan jasa.
Ketiga, Jokowi inkonsisten dengan kata-kata yang kerap diucapkannya saat kampanye: negara harus hadir untuk melindungi segenap bangsa. Dalam hal ini, saya kira, negara hadir juga harus dimaknai besarnya peranan pemerintah untuk memastikan kesejahteraan seluruh rakyat.
MEA juga harus dilihat secara kritis. Di belahan dunia manapun, hingga detik ini, perdagangan bebas tidak pernah meninggalkan cerita enak. Ambillah contoh North America Free Trade Agreeement/ perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Tiga negara yang tidak sebanding kekuatan ekonominya, yakni Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, dipaksa bersaing bebas.
20 tahun berjalan, NAFTA meninggalkan cerita miris. Meksiko yang paling babak belur. Sejak gabung NAFTA tahun 1994, ekonomi Meksiko tidak tumbuh. Pertumbuhan ekonomi rata-rata antara 1994-2013 hanya 0,9 persen—peringkat 18 dari 20 negara Amerika Latin. Angka kemiskinan sangat tinggi: 52,3 persen (2012). Dan jutaan petani Meksiko menjadi penganggur setelah pasar Meksiko dibanjiri oleh produk pertanian AS yang disokong oleh teknologi maju dan subsidi. NAFTA juga memaksa buruh-buruh Meksiko harus rela dibayar murah.
Cerita yang dirasakan oleh rakyat AS tidak lebih baik. Salah kandidat Presiden AS dari partai Demokrat, Bernie Sanders, mengungkapkan fakta berikut: 700.000 orang di AS kehilangan pekerjaan sejak NAFTA diberlakukan. Dan tidak hanya itu, ada 60.000 pabrik di AS tutup. Sebagian memilih pindah ke Meksiko yang upah buruhnya jauh lebih murah.
Kanada juga tidak lebih baik. Sejak NAFTA diteken tahun 1994, Kanada kehilangan 550.000 pekerjaan di sektor manufaktur . Kanada juga yang paling sering diseret oleh investor Investor-State Dispute Settlement (ISDS): 35 kali. Dan, patut diingat, negara yang kalah di ISDS wajib membayar kompesasi. Kanada sering mengeluarkan 200 juta USD hanya untuk membayar perusahaan AS yang menang di ISDS. Kanada juga menghabiskan 65 juta USD hanya untuk membela diri di pengadilan itu.
Begitulah, NAFTA membuat rakyat Meksiko dan AS, juga Kanada, menjadi pihak yang kalah. Sebaliknya, ketika perdagangan bebas dibuka lebar-lebar, upah buruh sangat murah, dan modal bebas masuk ataupun keluar, ada pihak yang sangat diuntungkan. Ya, siapa lagi kalau bukan pemilik korporasi besar. Sebagian besar di AS dan Kanada. Sebagian di Meksiko.
Ini bukan soal manja. Perlu dicamkan: Rakyat Indonesia tidak manja. Pak Jokowi tentu tahu, hampir 70 persen rakyat Indonesia hidup di ekonomi informal. Mereka nyaris tanpa campur tangan negara dalam permodalan, produksi, hingga pemasaran. Mereka berdiri di kaki sendiri.
Namun, kalau MEA dan sejenisnya diterapkan, maka merekalah yang paling pertama digilas. Ibarat tinju, perdagangan bebas itu seperti tinju bebas. UMKM dipaksa tarung bebas dengan korporasi. Dan patut dicatat, merujuk pada data 2015, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 57,8 juta atau 99,9 persen dari total usaha di Indonesia. Inilah penopang ekonomi Indonesia.
Karena itu, kita berharap, Presiden Jokowi membuang jauh-jauh ambisinya untuk menggiring Indonesia masuk dalam perdagangan bebas, baik itu MEA, Trans Pasific Partnership (TPP), dan sejenisnya.
Saya tidak anti integrasi regional. Tidak ada anti konektivitas. Yang saya tolak adalah keiginan untuk mendorong persaingan bebas untuk melayani tujuan kapital: bahan baku murah, tenaga kerja murah, pasar, dan kebebasan/kenyamanan swasta berinvestasi di mana saja.
Saya kira, integrasi regional harusnya bicara kemakmuran bersama. Sebagaimana mandat pembukaan UUD 1945: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan, saya kira, kemakmuran bersama hanya mungkin kalau kita bekerjasama, tolong-menolong, dan mengedepankan solidaritas.
*Wakil Sekretaris Jendral Partai Rakyat Demokratik (PRD)