SEJARAH mencatat, kondisi Bengkulu sangatlah tentram dan masyarakatnya sejahtera dibawah pemimpin yang adil nan bijaksana sebelum kedatangan kolonial. Daerah ini dihuni beragam suku bangsa yang hidup saling melengkapi. Sebagai tanggapan atas lingkungan dan tantangan hidup saat itu, beraneka ragam mata pencarian pun muncul.
Tedi Cho, Kota Bengkulu
Beragam cerita tertulis tentang asal kata ini. Ada yang menyebut kata ‘Bengkulu’ berasal dari legenda pertarungan kerajaan wilayah ini dengan kerajaan Aceh. Ketika itu, salah satu prajurit dari Aceh berteriak ‘Bangkahalu’ atau buang ke hulu.
Namun, ada juga versi yang menerangkan kata Bangkahulu muncul ketika perang melawan Inggris. Artinya membangun benteng pertahanan (tanggul) di hulu. Terakhir, kata Bengkulu disebut dari pemberian Inggris ketika melihat kondisi daerah ini yang rusak akibat gempa: mereka menyebutnya ‘been cut land’ (tanah patah), lama kelamaan menjadi Bencooland, hingga Bengkulu (sekarang).
Terlepas dari itu, suku bangsa terbesar di Bengkulu pada masa pra-kolonialisasi adalah suku Rejang dengan wilayah domisilinya daerah Rejang Lebong dan sebagian besar Kabupaten Bengkulu Utara. Dilanjutkan dengan suku Serawai, Lembak, Pasemah, Melayu Bengkulu, Mukomuko, Enggano, dan lainnya.
Dengan banyaknya jumlah suku ini, bahasa daerah di Bengkulu juga beragam dan sangat kentara jauh berbeda satu suku dengan suku lainnya. Jangankan antar suku, sesama suku saja sudah banyak perbedaan. Misalnya suku rejang pesisir mempunyai bahasa yang berbeda dengan suku rejang yang ada di wilayah pegunungan.
Sejurus dengan itu, kebudayaan lokal yang lahir juga banyak bentuknya. Dengan penduduk yang terbilang sudah berkebudayaan tinggi, mereka juga memiliki tata cara dan upacara sendiri, bahkan memiliki aksara sendiri yang disebut dengan Kaganga.
Kendati bhineka, kesemua suku bangsa ini sudah memiliki tatanannya sendiri dan hidup secara teratur. Mereka bahkan memiliki suatu sistem pemerintahannya sendiri. Sistem pemerintahan tersebut berbentuk kerajaan. Diantara yang terkenal ketika itu adalah kerajaan Sungai Serut, Selebar, Sungai Lemau, Rejang Empat Petulai, Manjuto, dan lain sebagainya.
Tapi jangan dibayangkan kerajaan-kerajaan itu besar sebagaimana kerajaan yang ada di wilayah Jawa dan nusantara lainnya. Sekali lagi, Bengkulu memiliki corak pemerintahannya sendiri. Ada yang menulisnya kesultanan karena wilayah kerajaan begitu sempit di banding kerajaan lainnya. Tapi pemimpin di wilayah ini tak pernah disebut dengan kata sultan.
Bicara masalah kerajaan ini, yang tak kalah penting adalah kerajaan Bengkulu tak punya istana sebagaimana kerajaan semestinya. Rajanya juga tak punya mahkota. Raja hanyalah pelaksana amanat rakyat yang diputuskan melalui komunitas adat atau para tetua. Dia bukanlah seorang feodalis yang menguasai tanah dan bebas melakukan apapun sesuai kemauan. Raja hanya pelaksana keputusan yang ditetapkan pesirah (kepala marga/klan).
Penyebutan kerajaan Bengkulu berada di bawah Kesultanan Banten atau menjadi Vazal juga keliru. Penilaian semacam ini termasuk terburu-buru, karena faktanya Kesultanan Banten tak berkutik sama sekali ketika kerajaan yang ada di Bengkulu diserang oleh kerajaan Aceh. Singkat kata, lebih tepat menyebut kerajaan Bengkulu sebagai sebuah sistem kerajaan yang independen. Dia bukanlah sebuah tanah taklukan, juga tidak bersifat eksploitatif.
Lalu apa hubungan antara kerajaan Bengkulu dan kesultanan Banten, Indrapura atau dengan kerajaan lainnya? Hubungannya tak lebih hanya hubungan bisnis (perdaganganan). Hal ini ditegaskan pula oleh buku berjudul ‘Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imprialisme di Daerah Bengkulu’ yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1982.
Di abad ke XV ini, masyarakat Bengkulu juga sudah mengenal sistem pertanian, sistem penangkapan ikan, tenun, menempa logam. Ini sebagai bentuk jawaban atas tantangan alam. Ada dataran rendah, ada dataran tinggi. Ada daerah perkebunan, ada daerah maritim, dan ada pula daerah yang kaya akan emas.
Dengan ragam geografis itu, hasil bumi Bengkulu juga berbeda antar wilayah satu dan lainnya. Dalam dunia perdagangan, Bengkulu dikenal sebagai penghasil lada (merica). Karena itulah, banyak banyak suku bangsa lain di nusantara yang berdatangan ke wilayah ini. Misalnya dari Jawa, Banten, Aceh dan Minangkabau. Ada juga pedagang asing seperti Inggris dan Belanda. (Berdikarionline)