RESPON cepat dari Pemerintah Daerah menepis isu Beras Seginim berbahan logam patut diapresiasi. Sayangnya, meski pemerintah telah menghimbau masyarakat Jangan Takut Makan Beras Seginim, tapi isu logam atau cadmium sudah terlanjur mencemari petani lokal.
Varietas padi lokal Seginim kini terancam setelah hasil uji laboratorium pangan Surabaya menyebutkan adanya kandungan logam dalam beras tersebut yang mencapai 0,365 persen atau melewati ambang batas toleransi tubuh 0,050 persen.
Langkah pemerintah agar Kandungan Logam Beras Seginim Harus Diuji Ulang, tampaknya bukan solusi yang memadai untuk melindungi pertanian lokal. Sebab mencuatnya isu ini menandaskan buruknya pengelolaan pertanian lokal. Selama ini varietas bibit padi lokal tidak pernah dilindungi dan dikembangkan menjadi varietas unggul.
Sebaliknya, Pemerintah malah giat mempromosikan penggunaan bibit impor seperti varietas Mekongga yang merupakan hasil persilangan padi jenis Galur A2970 asal Arkansas Amerika Serikat dan jenis IR 64. Ini artinya, penggunaan bibit lokal pelan-pelan dimusnahkan?
Sejak tahun 2012, Pemerintah Daerah hanya memprioritaskan penyaluran 3 varietas padi dalam program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), yakni benih Ciherang, Cigeulis dan Mekongga. Pemerintah berasumsi kalau ketiga varietas tersebut bisa meningkatkan produksi pertanian dibandingkan varietas padi lokal.
Asumsi tersebut bertolak belakang dengan hasil Pusat Penelitian Pengembangan Tanaman Pangan Jawa Barat (2014) yang menggugurkan pernyataan bahwa semakin tinggi kelas benih maka semakin tinggi hasil gabah. Faktanya, hasil produksi gabah tidak berpengaruh pada kelas benih yang ditawarkan pemerintah tersebut.
Karena itu, penelitian tersebut mencium adanya kepentingan bisnis benih dan pangan dibalik kampanye benih unggul. Ketika petani terbebani biaya produksi, perusahaan benih asing seperti Monsanto (AS), East West (Belanda), Bayer Corp (Jerman), Syngenta (Jepang), Pioneer Dupont (AS), justru meraup untung besar dari ketergantungan atas benih pertanian.
Besarnya keinginan asing atau perusahaan benih swasta untuk memenopoli pasar benih di Bengkulu sangatlah menguntungkan sebab dengan luasan lahan persawahannya yang mencapai 190.000 hektar, dibutuhkan 1.900.000 ton benih padi per tahunnya.
Monopoli benih sulit dilakukan jika petani masih menggunakan varietas lokal yang dibudidayakan secara gratis. Sebagian besar petani Bengkulu masih mengandalkan varietas lokal. Bengkulu Selatan misalnya merupakan penghasil beras Seginim atau beras Kedurang yang menjadi produsen beras terbesar kedua di Bengkulu setelah produksi beras lokal Rejang Lebong.
Perlindungan terhadap varietas benih lokal ini merupakan langkah penting untuk melindungi pertanian rakyat. Pemangku kuasa di Bengkulu perlu bercermin pada Pemerintah Sulawesi Selatan mengembangkan varietas benih Ase Lapang untuk melindungi pertaniannya.
Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Padang Pariaman, Sumatra Barat yang tengah membudidayakan 15 varietas padi lokal. Varietas lokal merupakan varietas yang sudah beradaptasi dengan iklim dan kondisi lingkungannya ketimbang bibit padi yang berlabel.
Perlidungan dan pengembangan benih padi Seginim dan benih padi lokal lainnya merupakan tolak ukur untuk menguji keseriusan pemerintah. Sebab hasil produksi pertanian lokal merupakan bagian dari keunggulan kompetitif daerah untuk bersaing di pasar tunggal Asean.
Sudah saatnya Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk duduk bersama membahas perlindungan varietas, industri dan pasar pertanian daerah ditengah persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Jika solusinya tidak menyeluruh demikian maka janji-janji melindungi pertanian lokal habis dikepung pasar bebas!