Oleh Zico Junius Fernando, SH., MH*
Teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar biasa, karena sedemikian pesatnya, pada gilirannya manusia, yang kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikannya, termasuk perkembangan internet. Perkembangan internet juga membuat dan melahirkan media baru yang kita sebut bersama sebagai media sosial. Media sosial bisa diartikan sebagai sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Berkembangnya media baru ini seakan berbanding lurus dengan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, salah satunya percemaran nama baik atau penghinaan yang melalui wadah media sosial seperti yang baru-baru ini terjadi di Provinsi Bengkulu yakni kasus dugaan penghinaan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap kepala daerah melalui media sosial (medsos) Facebook (FB).
Pencemaran nama atau penghinaan baik lewat sosial media telah menjadi fenomena yang marak terjadi di jejaring sosial dalam beberapa tahun belakangan ini. Pencemaran nama baik merupakan perbuatan melawan hukum yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Pencemaran nama baik melalui jaringan internet dalam perkembangannya sudah dapat di kategorikan sebagai kejahatan yang mengkawatirkan.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa itu hanyalah bentuk kebebasan berbicara yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM), tapi masyarakat yang lainnya justru melihat ini adalah sebuah bentuk provokasi atau pencemaran nama baik yang perlu dikenakan sanksi atau hukuman tertentu bagi pelakunya atau pelanggarnya. Terlepas dari pro dan kontra tersebut sebenarnya hukum lewat produk-produk hukumnya telah mengatur mengenai pencemaran nama baik lewat media sosial ini di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan juga diatur secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di dalam KUHP pencemaran nama baik atau penghinaan diatur didalam Pasal 310 dan 311 sedangkan didalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan peraturan khusus dari KUHP sebagaimana asas hukum “lex spesialis derogate legi lex generalis” diaturnya mengenai pencemaran nama baik di dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang ITE menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah menegaskan bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan yang juga di dukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Ini dapat diartikan perkara dapat diproses hukum jika ada aduan dari pihak yang dihina karena tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakikatnya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan (yang terkena penghinaan atau pencemaran nama baik), dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. Menurut pakar Cyber Law Josua Sitompul ada 3 hal yang harus diperhatikan sebuah konten di media sosial dikatakan sebuah penghinaan atau pencemaran nama baik. Pertama, harus ada kejelasan sebuah identitas seseorang yang dicemarkan nama baiknya merujuk kepada pribadi tertentu. Kedua, identitas itu bias berupa foto, user name, riwayat hidup atau informasi lainnya yang menyangkut seseorang. Ketiga, identitas itu walaupun bukan identitas asli tetapi diketahui oleh umum merujuk kepada identitas korban bukan orang lain. Namun bisa tidaknya sebuah kata atau kalimat dikatakan mencemarkan atau menghina nama baik seseorang atau badan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak pernah didefinisikan secara baik. Hal ini karena pemaknaan dan penafsiran mengenai pencemaran dan penghinaan memiliki arti yang relatif. Untuk membuktikan adanya pencemaran dan penghinaan secara lebih akurat kata atau kalimat dikatakan mencemarkan nama baik seseorang atau badan hukum, biasanya Aparat Penegak Hukum akan menggunakan ahli bahasa atau ahli ilmu sosial lainnya yang berhubungan dengan substansi kata atau kalimat tersebut.
Sedangkan untuk ketentuan pidana atas terlanggarnya Pasal 27 ayat (3) diatur di dalam BAB XI mengenai Ketentuan Pidana yang terlihat di Pasal 45 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kasus pertama dalam perkara ini dapat kita lihat di dalam kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui blog pembaca Kompas, selanjutnya kasus Prita Mulyasari yang sempat ditahan di penjara khusus wanita Tangerang selama 3 minggu karena emailnya yang mengeluhkan layanan buruk dari dokter dan Rumah Sakit swasta Omni International Tangerang.
Bercermin pada 2 kasus pencemaran nama baik atau penghinaan diatas, hendaknya sebagai seorang pengguna media sosial harus lebih waspada dalam mengunggah apa saja pada akun media sosial di internet agar tidak berbuah pelanggaran atau kejahatan. Dampak positifnya dengan adanya aturan ini masyarakat akan lebih berhati-hati dalam melakukan aktifitas di media sosial, karena meraka akan lebih selektif melakukan memposting di akun media sosial sedangkan untuk dampak negatifnya
Efektifitas mengenai aturan ini tentunya harus kita lihat di dalam dua sisi yakni pengaturan dan penegakannya (law enforcement), mungkin dari segi aturan, perumusan Pasal mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah cukup bagus dan baik, sedangkan penegakan hukumnya sangat bergantung pada tiap-tiap kasus yang dimana berbeda-beda dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan bagi masyarakat. Seharusnya manusia sebagai pengguna jaringan internet perlu memperhatikan etika dan moral dalam beraktivitas menggunakan jaringan internet, karena tidak menutup kemungkinan manusia dalam menggunakan jaringan internet tidak memerhatikan etika dan moral sehingga dapat merugikan orang lain.
*Akademisi dan Praktisi Hukum Provinsi Bengkulu