BIDA alias Mak Hen (51) warga Desa Padang Mumpo Kecamatan Pino ini menghabiskan hampir separoh umurnya dengan jualan 'Lemang Tapai' keliling. Bagaimana tidak, di umurnya yang sudah kepala lima, Ibu dengan enam anak ini, sudah melakoni profesinya berjualan 'Lemang Tapai' Keliling selama 24 tahun.
Apdian Utama, Bengkulu Selatan
Bagi ibu yang sekaligus kepala rumah tangga itu berjualan Lemang Tapai keliling adalah jalan yang dipilihkan Tuhan untuk hidupnya, tidak bisa tidak, harus dilakukannya untuk menyambung hidup dan menafkahi anak-anaknya. Bebannya berat itu ditanggungnya sendiri setelah ditinggal suaminya pergi menghadap Sang Pencipta.
"Diperkirakan saya jualan ini sudah 24 tahun atau mungkin hampir tiga puluh tahun. Yang saya ingat, pertama kali saya jualan ini, anak saya yang paling tua baru masuk kelas III SD. Sekarang umurnya sudah 36 tahun, anaknya sudah ada satu orang," ceritanya.
Tiada hari libur bagi Bida, hampir setiap hari dirinya menjajakan jualannya itu. Setiap pagi dirinya memasak lemang tapai. Setelah masak, dirinya segera bergegas menuju Kota Manna untuk berkeliling menjajakan makanan khas Bengkulu ini.
Satu batang lemang yang ukuran kecil ditarifnya Rp 5 ribu, sedangkan yang besar Rp 10 ribu, dan satu porsi tapai beras ketan ditarifnya Rp 5 ribu. Setiap harinya dirinya harus mengeluarkan modal Rp 130 ribu untuk membeli bahan pembuatan lemang tapai. Ditambah ongkos ojek pulang pergi Rp 14 ribu.
"Kadang habis, kadang bersisa dek. Tapi biasanya alhamdulillah habis," ujar Bida.
Bagi ibu dari Hendri, Midi, Herman, Joherwan, Novita Sari dan Raffles ini, setiap hari dirinya menargetkan paling tidak mendapatkan satu cupak beras dan sayur. Termasuk juga modal jualannya Rp 130 ribu tadi yang harus dia siapkan. Jika jualannya habis, lanjut Ibu Bida, sisa dari membeli perlengkapan masak lemang tapai, beli satu cupak beras dan sayuran, serta ongkos ojek, dirinya bisa menyisihkan uang sebesar Rp 20 ribu untuk ditabung.
"Anak saya yang bungsu itu masih sekolah kelas 5 SD. Yang nomor tiga sudah menikah. Sedangkan yang lima lagi belum menikah. Saya ini tidak punya sawah, kebun juga tidak ada. Jadi beras dan sayuran harus beli semua.Belum lagi untuk anak sekolah. Untung anak-anak saya yang lainnya bisa bekerja, meskipun serabutan setidaknya bisa membantu meringankan beban saya," ujar Bida.
Meskipun di tengah desakan ekonomi yang sulit, namun Bida tetap bersemangat dalam hal pendidikan anaknya. Buktinya anak tertuanya sempat menduduki bangku kuliah di program Diploma II, sementara anaknya yang Novitasari tamatan SMA, Joherwan dan Herman tamatan SMP, hanya Midi yang hanya tamatan SD, sedangkan anaknya yang paling bontot masih kelas 5 Sekolah dasar.
"Karena suami saya meninggal, maka saya sendiri tidak mampu untuk sekolahkannya sampai sarjana. Memang malang nasib saya ini dek, saya ini sudah dua kali menikah, dan sudah kali pula ditinggal mati suami," lirih Bida.
Meski letih setiap waktu datang menghinggapi hidupnya, namun keletihan itu sirna dengan cintanya kepada buah hati. Beban yang berat bagi Bida dipikulnya setiap waktu dengan senyum meski kekurangan selalu menyelimuti keluarganya, tapi di hati Bida, melihat anak-anak yang tumbuh dewasa adalah anugerah tak terhingga.