Rr. Imamul Muttakhidah*
Kebiasaan untuk selalu secara sentralistik menilai kejadian dan perbuatan orang lain dengan ukuran–ukuran subyektif kita akan menyebabkan banyak hal yang sebenarnya bukanlah masalah menjadi masalah. Maka menjadi penting untuk mengerti, atau setidaknya memahami konteks objektifitas yang menjadi landasan penilaian terhadap segala sesuatu. Meskipun teramat sulit berpikir, dan bertindak tanpa embel-embel kepentingan pribadi sebelum memutuskan sesuatu. Tapi bukanlah tidak mungkin untuk mencapai ukuran subjek yang benar-benar mendekati objektif.
Sebagai makhluk social, manusia tidak mungkin hidup sendirian tanpa interaksi dengan alam maupun manusia lain. Interaksi inilah yang memicu gejolak dan peningkatan individualisme. Pada dasarnya tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan makhluk individualis, maka segala bentuk keputusan yang menjadi landasan awal adalah ‘kepentingan’ dirinya sendiri. Ketika kehilangan sesuatu, mungkin kita menangis, bukan karena begitu berharganya sesuatu itu tapi lebih kepada pikiran bahwa ‘aku’ sudah tidak mempunyai sesuatu itu lagi. Dan akan begitu banyak bukti contoh sikap-sikap egois lainnya apabila kita mau merenungkan.
Objektifitas Subjek
Objektivitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (empiris) sebuah objek yang sedang diteliti atau dipelajari dengan suatu cara di mana tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya. Keobjektifan pada dasarnya salah satu syarat dari kebenaran universal yang tidak berpihak, di mana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi (kira-kira), prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.
Sedangkan kenyataan obyektif adalah sesuatu yang memiliki obyektif di mana nilai sesuatu diwakilkan oleh hal nyata lainnya. Descartes menggunakan kenyataan obyektif untuk pemikiran-pemikiran dan tidak menyatakan apakah barang-barang seperti, lukisan, memiliki kenyataan obyektif. Jumlah kenyataan obyektif dari sebuah pemikiran ditentukan oleh apakah dalam kenyataan formalnya pemikiran tersebut memiliki hal yang mewakilinya.
Objektifitas murni adalah sesuatu yang mustahil. Sebab manusia tidak hanya memiliki pemikiran objektif, tetapi juga aspek psikologis lain seperti kemauan, emosional, perasaan, gairah dsb. Aspek-aspek psikologis itulah yang lebih banyak mendasari kepentingan manusia untuk mengambil sikap jauh dari prinsip objektifitasnya.
Jika memandang objektifitas dari proses berpikir manusia apalagi seorang akademisi yang dituntut menggunakan kemampuan ilmiahnya untuk menentukan keputusan akademis. Namun, lagi-lagi harus disadari sepenuhnya manusia bukan hanya menggunakan kemampuan akademis tetapi juga menyadari akan kepentingan akademis seperti jabatan structural, kenaikan pangkat, popularitas individu, kemashuran lembaga, dan sejenisnya.
Bagaimana seharusnya kemampuan ilmiah bekerja, yaitu memenuhi prosedur absah metodologi atau konsep keilmuan sebagai pijakan empiris untuk dapat dibuktikan dengan pendekatan-pendekatan logis, sistematis dan terstruktur. Artinya sesuatu yang ilmiah memang sudah dirancang untuk dapat diterima sebagai sebuah kebenaran umum dan sekurang-kurangnya minim gap antara teori dengan kondisi real. Sehingga informasi yang dihasilkan bebas dari masalah benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak membiarkan faktor salah saji materi (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain. Dengan mempertahankan integritas ilmuwan yang bertindak jujur, dan tegas, dengan mempertahankan objektivitasnya, diharapkan suatu hasil penilaian yang adil, tidak memihak dalam melaksanakan pekerjaannya tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadi. Objektifitas ini berkaitan dengan masalah ontology yang menjadi bagian awal dari filsafat ilmu sebagai pandangan terhadap hakikat keilmuan.
Segala sesuatu tidak terlepas dari siapa pengendalinya, selain sebagai makhluk yang berpikir, manusia juga makhluk politis. Disamping menggunakan data-data saintifik, tidak jarang manusia juga menggunakan cara-cara politis untuk menyelesaikan masalah. Meski politik bukan alat evaluasi yang akurat untuk melakukan penilaian, tetapi unsur politis terdapat apabila manusia sebagai instrument utama dalam penilaian. Oleh karena itu alat evaluasi dalam pendidikan mengedepankan objektifitas sebagai syarat wajib sebagai dasar argumentasi ilmiah.
Objektif erat kaitannya dengan yang benar-benar ada yakni materi. Bagi penganut materialisme yang mempercayai materi bersumber dari ide-ide. Maka materi, data, dan informasi sejenisnya tidak cukup adekuat untuk dipercayai sepenuhnya meskipun sudah memenuhi standar ilmiah yang ketat. Berpijak pada ide yang mendasari data itu berasal, mensyaratkan sumber ide agar memenuhi kaidah kebenaran supaya data-data tersebut tidak dijadikan alat untuk melakukan kebohongan bagi manusia yang berkepentingan. Seiring dengan pendapat tokoh materialism Feuerbach yang menganggap bahwa bangunan dasar dari keseluruhan suatu kemajuan, adalah idealisme. Realisme (termasuk materiil) tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan-penyelewengan, sementara idealis tetap mengikuti kecenderungan ideal tersebut.
Idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan-tujuan ideal atau cita-cita yang impoten karena menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi kenyataan. Tetapi kita juga tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang membikin manusia bertindak adalah melalui otak mereka - bahkan makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar atau rasa haus hanya disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga disampaikan melalui otak. Pengaruh dunia luar terhadap manusia menyatakan dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran, rangsang, kemauan –singkat kata, sebagai kecenderungan-kecenderungan ideal kemudian dibentuk menjadi kekuatan-kekuatan ideal.
Terakhir, pergeseran paradigma tentang kebenaran data, informasi, atau materi sejenisnya dipengaruhi kondisi kekinian yang harus selaras dengan keyakinan bahwa kemanusiaan, setidaknya pada saat sekarang ini, dalam keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan antagonisme antara objek materialisme dan idealisme. Bahwa dengan metode keilmuan yang benar kita bisa menangkap nilai objektifitas yang bersifat maya, misalnya dalam era Big data saat ini. Padahal kita tidak tahu persis, guyuran informasi massif yang tersebar sudah berdasarkan kenyataan atau bukan. Selama ini orang seringkali terjebak dalam pandangan bahwa dirinya sudah ‘apa adanya’. Bahkan hakikat ilmu dan pendidikan direduksi sedemikian rupa menjadi ajang peraihan gelar formal tanpa dibarengi evaluasi yang kontinu terhadap standar objektif seorang akademisi. Dan dengan keegoisan subjek, apakah kita masih juga ‘memaksa’ objektif?
*Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Bengkulu