BENGKULU, PB - Nikah atau perkawinan ialah salah satu anjuran Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Menyegerakan menikah apabila sudah sampai masanya dan ada kemampuan untuk itu mengandung faedah yang besar sekali bagi kehidupan manusia, khususnya untuk ketenangan hidup bersama.
Ketenangan hidup bisa dirasakan kalau rumahtangga yang dibangun dalam satu atap itu berjalan dengan baik dan bahagia. Hal tersebut disampaikan dalam khutbah ustad Amsar di Mesjid Al-Aziz, Padang Serai Kota Bengkulu, Jum'at (25/3/2016).
Sebuah rumahtangga bisa bahagia lanjutnya, tergantung dari pelakunya, yaitu suami isteri. Kalau keduanya bisa memegang peranan dan tanggungjawab masing-masing, niscaya rumahtangga itu akan bahagia. Sebaliknya,jika suami atau isteri didalam rumahtangganya sama-sama atau salah satunya tidak bertanggungjawab jawab dan mengingkari peranannya, pastilah rumah tangga itu akan berantakan.
Kehancuran sebuah rumahtangga tentu akan menyebabkan ketidak tenangan suami-isteri, ini berarti pernikahan yang dilakukan dengan memperoleh ketenangan hidup tidak berhasil. Untuk mendapatkan kebahagiaan, Suami isteri harus memiliki sifat mawaddah dan rahmah, diantara keduanya.
"Dan diantara tanda -tanda kekuasaan Nya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir," jelasnya mengutip firman Allah, dalam Al-Quran Surat Al-Ruum ayat 2.
Apabila mawaddah dan rahma ini selalu dimiliki oleh suami isteri maka jalan menuju rumahtangga bahagia pasti akan terwujud. Mawaddah berarti cinta, sedangkan rahma bermakna kasih sayang.
Lalu bagaimana cara menumbuhkan mawaddah dan rahmah? Sebagi seorang suami yang ingin memperolehnya dari isterinya, harus memahami dan menyadari akan tugasnya sebagai seorang suami juga berkewajiban mempergauli isterinya dengan baik. Allah berfirman dalam Al-Quran,surat An-Nisaa,ayat 19:
"Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah),karena mungkin kamu menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak,"terangnya.
Ia melanjutkan, dalam Hadis riwayat dari Ali bin Abu Thalib, maka Rasulullah SAW bersabda sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya, sedangkan aku adalah yang paling baik kepada isteriku. Tidak mau memulihkan para wanita (para isteri) kecuali orang yang mulia dan tidak mau menghina mereka kecuali orang yang hina pula," ungkapnya.
Suami juga punya kewajiban memberi nafkah lahir dan batin kepada isterinya dan kepada ahli keluarganya yang menjadi tanggungannya. Allah berfirman dalam surat Ath-Thalaq,ayat 7:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan,"jelasnya.
Ustad Amsar juga menjelaskan bahwa begitu pula seorang isteri yang juga mawaddah dan rahmah dari suaminya sudah barang tentu harus bisa menyadari peranan dan fungsinya sebagai seorang isteri. Sang isteri berfungsi sebagai pendamping suami dalam rumahtangga.
"Karena sebagai pendamping, maka isteri harus taat pada suaminya dengan menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya," kata ustad Amsar.
Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist, "Tidak ada faedah bagi orang mukmin sesudah taqwa kepada Allah, yang lebih baik daripada isteri yang saleh. Bila dia (suaminya) menyuruhnya, ia (isterinya) mentaatinya, bila dia melihatnya maka ia berbakti kepadanya, dan apabila dia (suami) bepergian maka ia pun menjaga dirinya baik-baik dan harta suaminya," tutupnya. [Siregar]