Imamul Muttakhidah*
Wacana aktual mengenai program-program penyetaraan dalam pendidikan menyiratkan betapa pentingnya strata atau gelar yang disandang untuk terjun dalam dunia pendidikan. Fakta diantara 280 ribu dosen di Indonesia, sebanyak 51 ribu dosen yang bergelar S1 kini rencananya akan diberikan pembinaan melalui Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) untuk mendorong penyetaraan S1 ke S2. Ini berdasarkan (UU) No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan dosen tidak boleh bergelar strata-1 (S1). Menurut Dirjen Dikti, Ali Ghufron Mukti, kalau dosen s1 tidak segera S2, dosen-dosen tersebut bisa diberhentikan dari (institusi tempat ia mengabdi) dan di-downgrade. Selanjutnya, syarat peserta program penyetaraan tersebut diutamakan bagi dosen berprestasi yang telah mengabdi selama minimal 10-15 tahun.
Tapi benarkah ini sebuah kebijakan yang sepenuhnya tepat untuk mendorong kemajuan pendidikan bangsa? Tentu perlu banyak hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan. Selain persoalan kuantitas magister yang masih sedikit dibanding negara-negara lain. Tidak kalah penting adalah mengenai kualitas lulusan yang seringkali dipertanyakan.
Menyelaraskan Kehendak Bersama
Menurut PP 37 tahun 2009, Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan yang mempunyai tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tanggungjawab yang tidak mudah untuk dilaksanakan ditengah situasi pelik seperti sekarang ini, terutama godaan jabatan dan faktor ekonomi.
Gelar atau strata otomatis menjadi sebuah tuntutan penting untuk terjun dalam dunia pendidikan, karena telah ada ketetapan dari undang-undang sebagai hukum yang harus dipatuhi. Dorongan yang cenderung Strata-isme termaktub dalam UU no 14 tahun 2005 ini boleh jadi sekadar cukup menunjukkan bukti adanya legal standing, ijazah atau sertifikat misalnya. Maka kita membutuhkan arsenal evaluasi yang bukan hanya formalitas belaka, sebagai penyokong perbaikan mutu yang kontinu. Pun tidak mustahil jika kemampuan ilmiah seseorang, profesor ataupun doktor, mengalami penurunan karya atau kinerja apabila tidak disertai dengan iklim akademik yang mendukung. Sebab kemampuan tidak hanya tentang keberhasilan proses internalisasi nilai-nilai pengetahuan oleh individu (science for science), tetapi juga faktor lingkungan yang turut membantu individu dalam kegiatan ilmiah (science for human being). Kecuali bagi praktisi pendidikan yang mempunyai idealisme tinggi untuk mempertahankan kualitas akademiknya.
Kita perlu mengaji makna dibalik upaya-upaya peningkatan kuantitas magister yang mungkin justru akan menambah masalah baru karena tidak disertai dengan kebijakan yang berimbang, dan pengawasan tanpa lelah. Misalnya mengenai maraknya ijazah transaksional, institusi pendidikan sebagai ajang profit oriented, pelacuran pendidikan, dsb. Apalagi bukan rahasia lagi, bila program pascasarjana atau doktoral adalah bagian dari project program bagi dosen dan perguruan tinggi yang telah mempunyai gelar doktor dan diatasnya pada jumlah yang memadai. Implikasinya terhadap persaingan jabatan atau tujuan-tujuan pragmatis sesama dosen yang –dikhawatirkan-memperburuk citra pendidikan bangsa.
Banyak yang tidak menyadari bahwa perilaku akademisi kita ini disimak dunia. Kita tidak mungkin memperoleh kepercayaan masyarakat internasional kalau kemampuan kita tidak andal atau skill kita tidak sesuai dengan tuntutan pergaulan masyarakat global. Bahkan ada anggapan kita mempraktikkan sistem pendidikan karet, yang mudah diulur dengan loby uang dan jabatan. Tanpa benteng yang kuat, seperti usaha menaikkan kualitas, terbukanya MEA juga sebagai pintu arus masuk tenaga kependidikan asing ke dalam negeri menjadi semakin deras.
Mantan menteri pendidikan, Moh.Nuh pernah mengemukakan prinsip fundamental pendidikan dan kebudayaan pada acara Rembuknas 2014 lalu. Prinsipnya adalah sekolah sedini mungkin (start earlier), setinggi mungkin (stay longer), dan menjangkau seluas mungkin (reach wider). Pada dasarnya sebagai cerminan kehendak untuk kebijakan, kegiatan ilmiah dan hasilnya mencerminkan wajah budaya/kultur dan tingkat peradaban yang tinggi dari masyarakat pelaksana kegiatan ilmiah tersebut. Kualitas kebijakan dan kualitas kegiatan ilmiah suatu bangsa akan menggambarkan kualitas kultur dan peradaban serta martabat bangsa itu. Acuannya adalah norma-norma pergaulan masyarakat internasional yang berbudaya intelektual.
Di samping itu, perlu niat yang lurus dan proses yang merdeka dari penjejalan teori tanpa daya kritisi yang cukup kuat. Agar perkembangan ilmu tidak stagnan, dan pada akhirnya mampu untuk menjawab permasalahan kontemporer dalam masyarakat. Hakikat ilmu dan pendidikan pada proses belajar tidak boleh direduksi sedemikian rupa sehingga menjadi ajang peraihan gelar formal tanpa kecerdasan yang lengkap.
Begitu halnya dengan pemahaman mengenai moral dan nilai-nilai luhur yang makin mengalami degradasi dewasa ini. Peringatan bahwa manusia betapapun tinggi gelarnya tidak boleh menjadi agen yang mendestruksi alam. Suatu fenomena alam yang kalau intelek manusia tidak mampu mengontrolnya dengan baik akan dapat menimbulkan kejadian yang lantas oleh manusia disebut bencana alam. Keputusan untuk lanjut studi atau tidak, tentu menyangkut pilihan hidup seperti diungkapkan dengan bijak oleh St. Agustinus di abad ke satu Masehi, yang kemudian dikumandangkan lagi oleh Satre yakni ”La vie est une series des choix”. Yang artinya Hidup adalah untaian pilihan-pilihan–kata mereka.
*Mahasiswi pascasarjana pendidikan matematika UNIB