Rr. Imamul Muttakhidah*
Pasca pelantikan gubernur baru provinsi Bengkulu beberapa waktu lalu, cahaya-cahaya pengharapan mulai bermunculan agar permasalahan-permasalahan pelik yang tengah dihadapi kota tercinta ini dapat segera teratasi. Salah satu yang menjadi pengamatan penulis adalah keberadaan pengemis-pengemis baru yang kini semakin marak menghiasi jalanan ibukota provinsi. Entah, ini hanya suatu kebetulan atau memang rekayasa pihak tertentu untuk memperkuat hegemoni Bengkulu sebagai provinsi tertinggal di Indonesia menurut data Kemendesa 2010-2014.
Pengemis tidak terlepas dari konteks ‘dampak’ kemiskinan yang urgen untuk ditanggulangi bersama. Hemat penulis, dapat dilihat secara langsung tanpa melakukan survey resmi untuk mendapatkan data mengenai peningkatan jumlah pengemis di kota Bengkulu. Sejak kedatangan –penulis-pada akhir tahun 2014 lalu sampai 2016 sekarang dapat dilihat situasi objektif keberadaan pengemis di lampu merah jalanan kota Bengkulu. Pada tahun 2014 akhir (awal kedatangan penulis) mendapati keberadaan pengemis penyandang tunanetra pada lampu merah tertentu saja, terakhir bahkan hampir rata-rata lampu merah ibukota provinsi ini didiami oleh pengemis-pengemis bukan hanya penyandang disabilitas tetapi juga pengemis dengan fisik normal.
Penampakan pengemis disetiap titik traffic light kota tentu tidak bisa dijadikan indikator peningkatan angka kemiskinan di kota Bengkulu meskipun pengemis merupakan dampak dari kemiskinan secara umum. Sebab disamping itu keputusan mengemis diketahui merupakan hasil dari berpikir seseorang ‘yang miskin’ cara untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Secara etimologis mengemis adalah cara informal seseorang untuk mendapatkan segala sesuatu dengan memanfaatkan rasa belas kasihan orang lain. Jadi, pengemis selain dari korban kegagalan sistemik menyediakan lapangan pekerjaan, juga akibat kegagalan ‘mental’ seseorang dalam memikirkan usaha untuk memenuhi kehidupan jasmaninya pada jalur yang benar.
Dimensi individu mengatasi kemiskinan
Kegagalan suatu kelompok dalam mengatasi suatu masalah merupakan akumulasi dari kegagalan individu-individu. Menurut pengertian kementrian desa, pembangunan daerah dan transmigrasi, daerah tertinggal adalah daerah yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional (kemendesa.go.id). Berdasarkan lima kategori yang ditetapkan kemendesa mengenai daerah tertinggal memang sama sekali tidak menyebut mengenai angka kemiskinan, namun wilayah yang relatif ‘kurang berkembang’ dengan angka kemiskinan adalah dua hal yang berkaitan. Secara logika dikatakan daerah tertinggal, berarti akibat kekurangan pada sebagian besar lima kategori tersebut.
Menurut istilah forum sosial terkait kemiskinan, ada kelompok keluarga miskin yang memang membutuhkan kerja keras untuk meningkatkan kualitas hidupnya, misalnya korban bencana alam besar, yatim piatu, penyandang disabilitas atau keluarga pendidikan rendah, dan rawan miskin yakni kelompok masyarakat yang mempunyai peluang untuk maju misalnya mengalami kebangkrutan industri, bencana alam kecil, masih memiliki aset, atau keluarga mampu dan berpendidikan yang mendorong perekonomian. Sehingga dalam usaha pemberantasan kemiskinan, kedua kelompok ini seharusnya mendapat perlakuan yang berbeda.
Jika ada pembangunan ekonomi ada pula pengurangan kemiskinan. Demikian asumsi dasar yang digunakan pemerintah pusat sehingga membuka keran pasar bebas dan menjadi bagian dalam Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Tentu pembangunan ekonomi merupakan cara yang paling berkesan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Tetapi ia harus disertai dengan distribusi pendapatan yang adil dalam masyarakat. Selain berharap kebijakan stabilitas ekonomi dari good governance, masyarakat siap tidak siap pun harus menghadapi persaingan yang ketat dengan kedatangan pemodal asing menguasai ekonomi dalam negeri.
Upaya individu dalam menghadapi pasar bebas ekonomi ASEAN ini harus disertai senjata yang handal, seperti pendidikan tinggi, keterampilan dan modal. Modal yang dimaksud bukan hanya modal uang (fund) tetapi juga kepercayaan (trust) dan jaringan (networking). Maka sikap permisif individu menjadi unsur penting mengingat kita mempunyai ruang yang lebih luas dan persaingan dari multi sektor. Misalnya untuk membangun sektor pariwisata, tanpa adanya pandangan terbuka dan positive thinking terhadap budaya lain maka perkembangan ide-ide kreatif yang bermanfaat dan berpotensi menjadi usaha profit akan terhambat. Sebab dengan sikap tertutup, atau mengadakan sekat-sekat maka kita hanya akan menjadi penonton dinamika transformasi zaman. Apalagi sektor pariwisata yang menarik orang dari berbagai suku agama dan ras untuk datang berkunjung dan menikmati sajian daerah pasti membawa implikasi pada kontestasi daerah, kehidupan sosio-kultural dan aspek lainnya.
Kemiskinan memang tidak pernah berhenti dan tidak bosan menghancurkan cita-cita masyarakat, namun harus diupayakan serius oleh individu-individu agar berhasil mandiri. Kemiskinan sudah banyak membutakan segala aspek seperti pendidikan, dan sosial bangsa ini. Lantaran keterbatasan ekonomi, alasan meningkatnya pengemis di setiap lampu merah kota menjadi contoh pembuka dari potret buram kemiskinan tersebut. Belum mengenai tingkat kriminalitas, arus urbanisasi, dan sebagainya.
Dalam teori Marxisme, masyarakat yang mengamalkan ekonomi pasar bebas dengan kemiskinan adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam masyarakat pasar bebas, harta cenderung bertumpu kepada golongan terkaya, manakala orang yang miskin cenderung menjadi lebih miskin. Hal ini disebabkan dalam pasaran bebas, komoditi itu dijualkan kepada mereka yang mampu menawarkan harga yang lebih tinggi. Prinsip ini menyebabkan faktor pengeluaran seperti tanah, cenderung dimiliki oleh golongan terkaya, karena mereka mempunyai kuasa pembelian yang lebih tinggi. Pemilikan faktor pengeluaran ini akan menyebabkan orang berduit menjadi lebih kaya, dan mereka akan membeli lebih banyak faktor pengeluaran di pasaran bebas. Proses ini akan berkelanjutan, sehingga golongan terkaya ini memonopoli segala faktor pengeluaran, dan menyebabkan orang lain dalam masyarakat miskin tidak memiliki faktor pengeluaran. Karena masih mengalami kegagalan mengurangi kemiskinan kemudian para ahli ekonomi banyak membantah teori Karl Marx ini. Sehingga kini hampir semua ahli ekonomi dan ahli sejarah ekonomi sepakat mencanangkan ekonomi bebas untuk mengurangi kemiskinan. Namun tanpa kebijakan yang berimbang untuk meningkatkan bargaining position yakni pemberdayaan individu, masyarakat dan pemerintah yang adil, maka menjadi bagian dari MEA adalah sebuah mimpi buruk. Haruskah di era MEA ini, pengemis di jalanan bertransformasi menjadi peminta-minta jabatan?
*Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Bengkulu