BENGKULU, PB - Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan mengimbau kepada warga kota untuk berperan serta dalam pembangunan dengan cara mengindarkan pembicaraan-pembicaraan yang tidak produktif, pembicaraan-pembicaraan yang membuat suasana menjadi tidak kondusif dan cenderung destruktif.
Helmi menjelaskan, selama memimpin bersama Wakil Wali Kota Patriana Sosialinda, ia terus berusaha untuk mewujudkan APBD untuk Rakyat, bukan hanya dalam pidato-pidato politik, bukan hanya dalam spanduk-spanduk dan baliho-baliho, namun telah dibukukan secara resmi dalam Peraturan Daerah (Perda).
"Bagaimana kita mengukur APBD untuk Rakyat? Harus jelas ukurannya. Dulu bagaimana, sekarang bagaimana. Tidak boleh hal yang subjektif dijadikan sebagai ukuran. Apalagi fitnah dan ghibah menjadi ukuran," kata Helmi, baru-baru ini.
Helmi menjelaskan, bila ukuran kinerja pemerintahan itu jelas, maka apa manfaat yang dirasakan oleh rakyat akan menjadi tidak bias. Ia mengilustrasikan tentang emas. Menurutnya, emas harus diukur melalui kadar karatnya, bukan dengan warnanya.
"Sama halnya ketika kita meletakan ukuran kinerja pemerintahan itu berhasil atau tidak berhasil. Bisa dilihat dari perencanaannya. Kalau apa yang dibuat pemerintah itu tidak sesuai dengan perencanaannya, maka bisa dikatakan pemerintah itu gagal," ujar Helmi.
"Maka merencanakan sesuatu itu harus komprehensif. Mau mendengar usulan dari semua pihak. Kalau pun semua pihak mau memberikan masukan, saran dan kritikan, itu pun harus ada rujukannya. Apa rujukannya? Adalah visi dan misi. Karena visi misi ini akan diukur pada masa akhir jabatan pemimpinan. Apakah itu Presiden misalnya, ataukah itu Gubernur misalnya, atau Wali Kota," lanjut Helmi.
Lebih jelas Helmi menyatakan, visi misi tersebut harus dilihat keberhasilannya dengan fakta-fakta yang ada, bukan direkayasa dan didasarkan kepada tendensi-tendensi pribadi. Ia kemudian melekatkan hal ini dengan fakta-fakta pembangunan yang ada.
"Jangan ukurannya itu jenggot. Jenggot tidak usah diukur-ukur. Saya bingung. Kita ini kadang masalah-masalah pribadi yang diukur. Kenapa sih Wali Kota kita ini berjenggot. Ini bukan ukuran. Yang diukur itu bukan Wali Kota kok sakitnya atau izinnya lama sekali. Ini tidak usah diukur," urainya.
"Yang diukur itu misalnya sebelum Wali Kota si A menjabat, ada tidak rumah sakit. Tidak ada. Setelah dia menjabat. Oh, ada. Berarti kerja itu si A. Dulu PDAM punya utang tidak? Ada. Berapa? Ratusan miliar rupiah. Sekarang? Nol rupiah. Ini yang diukur. Misalnya dulu pada tahun 2012 angka kemiskinan di Kota Bengkulu itu 74 ribu versi MP3EI. Setelah beberapa tahun berapa penduduk miskinnya? Tidak sampai 50 ribu. Berarti si A itu bekerja. Harusnya ukurannya begitu," demikian Helmi. [RN]