Hendri Kurniawan*
BEBERAPA bulan ini, Blok Masela menjadi perbincangan banyak kalangan. Bahkan, perdebatan mengenai pengelolaan blok migas terbesar di dunia tersebut melibatkan menteri-menteri dalam kabinet kerja Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perseteruan itu melibatkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
Diantara keduanya mempunyai pendapat masing-masing mengenai sistem pengelolaan blok tersebut. Rizal Ramli bersikukuh bahwa pengelolaannya harus menggunakan sistem onshore, yakni pembangunan kilang di darat. Sementara itu, Sudirman Said dan SKK Migas menghendaki sistem pengelolaannya berbasis offshore, yakni kilang lepas pantai.
Bahkan, keduanya juga menjelaskan terkait kalkulasi untung rugi. Dengan skema pipa dan kilang darat (Land Based LNG), Rizal menjelaskan bahwa biaya pembangunan dengan menggunakan pipa akan menghabiskan USD 19,3 miliyar dengan biaya operasional per tahun sebesar USD 356 juta. Bahkan menurut Rizal, dengan membangun pipa dari lapangan abadi ke darat bisa lebih murah dan memberikan dapak ekonomi yang luas bagi sekitar blok di Laut Arafuru.
Sementara itu, Kementerian ESDM melalui SKK Migas mempunyai hitungan lain. Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi menjelaskan bahwa dengan menggunakan skema kilang apung (FLNG) biaya pembangunan akan lebih murah, yakni menelan biaya sebesar USD 14,8 miliyar dengan biaya operasional per tahun sebesar USD 304 juta. Selanjutnya, Sudirman Said juga mendukung skema yang dijelaskan oleh SKK Migas, karena selain lebih hemat, juga dinilai dapat menumbuhkan industri maritim dalam negeri, salah satunya industri perkapalan.
Tentunya, keputusan mengenai persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) yang diajukan oleh Inpex dan Shell tersebut berada ditangan Presiden.
Akhirnya setelah terjadi polemik yang begitu rumit, Pada 23 Maret 2016 lalu, saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja di Kalimantan Barat memutuskan untuk skema pengembangan Blok Masela. Presiden Jokowi menutuskan pengolahan gas yang mempunyai cadangan 10,73 TCF dengan produksi gas sebesar 1.200 MMSCFD serta 24.460 produksi kondensat tersebut menggunakan skema darat.
Dasar pertimbangan yang digunakan Presiden Joko Widodo dalam memutuskan pengelolaan Blok Masela menggunakan darat adalah menginginkan perekonomian pusat dan daerah dapat terimbas dari adanya pembangunan proyek tersebut. Selanjutnya, dengan adanya proyek tersebut, diharapkan wilayah sekitar Maluku dapat turut berkembang pembangunannya.
Bagaimana Peran BUMN?
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati yang mengatakan bahwa polemik soal tempat pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela di Laut Arafuru Maluku, jangan sampai menghilangkan hak partisipasi perusahaan lokal (Kompas, 2 Maret 2016).
Enny menganjurkan pemerintah mendorong Pertamina agar mendapat hak partisipasi di dalam pengelolaan Blok Masela.
Belakangan ini, saat banyak dikabarkan bahwa investor asing akan hengkang jika pengelolaannya menggunakan skema kilang darat, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menegaskan bahwa BUMN bersedia dan siap untuk mengelola Blok Masela jika diberikan kepercayaan untuk mengelola blok migas tersebut. Bahkan, Rini berharap bahwa BUMN juga mempunyai peran dalam pengelolaan blok migas tersebut (Kompas, 28 Maret 2016)
Pertamina sendiri, diwakili oleh Vice President For Corporate Communication PT. Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro juga menyatakan berminat untuk terlibat dalam pengelolaan Blok Masela yang saat ini dikelola oleh perusahaan asal Jepang dan Belanda tersebut. Karena blok tersebut mempunyai potensi besar dari faktor ekonomi dan teknis (Kompas, 26 maret 2016). Hingga saat ini, setelah Presiden mengumumkan rencana pengembangan Blok Masela, belum ada kejelasan mengenai saham partisipasi bagi BUMN dan partisipasi Pemerintah Daerah (PI).
Presiden Jokowi di dalam pengumumannya sama sekali tidak menyinggung persoalan keterlibatan BUMN dalam pengelolaan blok migas tersebut. Presiden hanya mengumumkan bahwa skema pengelolaannya menggunakan skema kilang darat. Seperti kata Enny, hanya ribut pada persoalan teknis.
Padahal sejatinya, di dalam pengelolaan migas nasional harus sesuai dengan konstitusi, yakni bersandar pada Ketentuan Pasal 33 UUD 1945, Amar Putusan MK Tahun 2004 dan 2012 terkait pembatalan beberapa pasal di dalam UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, serta Pendapat Mahkamah Konstitusi.
Pasal 33 UUD 1945 merupakan ketentuan konstitusi yang dirumuskan oleh para Pendiri Bangsa yang diambil dari fundamental budaya bangsa sejak lama, bahwa perekonomian nasional harus dibangun berdasar pada ekonomi kerakyatan.
Dalam hal ini, migas merupakan hal yang strategis bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Maka dari itu, pemanfaatannya harus digunakan oleh harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pendapat MK, bahwa pengertian dikuasai oleh negara di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam pengertian yang sangat luas dan bersumber serta diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam hal ini, rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, pengurusan, hingga pengawasan dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam pengelolaan oleh negara, menurut pendapat MK, seharusnya dilakukan melalui mekanisme share holding (pemilikan saham) dan atau terlibat secara langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai instrumen kelembagaan negara dalam mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Artinya, Negara harus melakukan pengelolaan kekayaan migasnya secara langsung. Sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan blok migas tersebut. Sepanjang negara memiliki kemampuan modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola blok migasnya, maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan langsung. Pengelolaan langsung yang dimaksud adalah oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara mengelolanya sendiri.
Sejalan dengan pendapat MK, BP Migas maupun penggantinya SKK Migas tidak mempunyai wewenang dan menjadi representasi negara. SKK Migas hanya mempunyai fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan migas. Model hubungan SKK Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam hal ini Inpex dan Shell dalam mengelola Blok Masela telah mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan kekayaan migas yang dimilikinya sendiri.
BUMN dan Pertamina sebagai representasi negara dalam melakukan pengelolaan secara langsung telah menyatakan minat dan kesanggupannya untuk mengelola Blok Masela. Saat ini, tinggal bagaimana kemauan dari Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sendiri. Apakah tetap akan menyerahkan secara 100 % kepada perusahaan asing (Inpex 65 % dan Shell 35 %) atau memilih berdiri di atas landasan konstitusi? Di dalam kampanyenya hingga saat pelantikan, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa dasar Pemerintahannya akan berdiri pada landasan ideologis bangsa, yakni Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD 1945, dan Trisakti. Mungkinkah?
*Sekretaris Jenderal Eksekutif Nasional-Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EN-LMND)