BERBULAN-bulan, Bengkulu terus menjadi perbincangan nasional. Setelah kasus YY di Rejang Lebong, kasus narkoba yang sempat menyandera Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, kini bergulir kasus baru penangkapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kepahiang non aktif Janner Purba karena dugaan suap. Tiga kasus itu merupakan momok. Tapi sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru.
Kekerasan seksual terhadap anak misalnya. Apa yang terjadi di Bengkulu sebenarnya adalah fenomena gunung es. Ini bisa dilihat dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang merilis bahwa dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58 persen diantaranya merupakan kejahatan seksual.
Namun kasus yang menimpa YY memang sudah keterlaluan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, YY digilir. Yang menggilir 14 orang. Semua kelakuan hewani 14 pelaku mengiringi pengungkapan kasus siswi SMP 5 Satu Atap Padang Ulak Tanding itu. Setelah YY, muncul banyak kasus lain. Klimaksnya, Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Kebiri. Di dalamnya juga diatur tentang hukuman mati terhadap para predator seksual. Dari Bengkulu, Indonesia bersikap.
Demikian juga dengan kasus narkoba. Semua sepakat narkoba bisa merusak kesehatan fisik dan mental, sehingga siapapun penggunanya sulit berkarya untuk kepentingan masyarakat. Tapi kasus narkoba yang sempat menyandera Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud tergolong unik. Dirwan pernah ‘dipukul’ dengan kasus ini saat dahulu dinyatakan menang Pilkada Bengkulu Selatan tahun 2011 di Pelabuhan Bakauheni atas dugaan kepemilikan satu butir ekstasi.
Namun kasus yang terjadi pada 2016 ini, Dirwan sudah dilantik sebagai bupati terpilih. Yang ditemukan dalam ruang kerjanya bukan cuma ekstasi, tapi juga sabu. Setelah urine, rambut dan darahnya diperiksa, Dirwan dinyatakan negatif mengkonsumsi narkoba. Artinya, publik sepakat Dirwan dijebak. Siapa? Belum tahu. BNN Provinsi Bengkulu kesulitan mencari jejak pelapor. Yang pasti, harusnya dengan preseden ini Indonesia harusnya belajar. Atau dari Bengkulu, Indonesia belajar.
Kemudian kasus penangkapan Ketua PN Kepahiang non aktif, Janner Purba. Tidak tanggung-tanggung, Janner ditangkap bersama seorang hakim lainnya yang menangani kasus yang sama, yakni RSUD M Yunus. Dan yang menangkap adalah lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya seorang hakim perempuan bernama Siti Insirah yang belum terbukti terlibat. Ketua KPK Agus Rahardjo bilang, kasus ini adalah fenomena gunung es. Wacana reformasi peradilan mulai dari MA yang melibatkan Presiden dan DPR RI kembali ia gulirkan.
Wacana itu begitu pas. Bagaimana tidak, hakim selama ini dianggap sebagai perwakilan para dewa di bumi. Keputusannya mengikat. Ketika perkara bisa diperjualbelikan, hukum bisa begitu kejam terhadap orang miskin, tapi bisa begitu lemah lembut terhadap orang kaya. Bahkan ungkapan itu sekarang sudah dipakemkan dengan istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Desakan reformasi peradilan itu juga terasa pas, karena masalah ini bukan karena gaji hakim kecil. Ini menyangkut sistem. Sistem peradilan kita selalu memberikan peluang kepada hakim untuk tidak bersikap jujur, tidak teguh, tidak tegas dan gampang disuap.
Dari Bengkulu, hendaknya Indonesia bersikap. Penangkapan Ketua PN Kepahiang non aktif harus menjadi yang terakhir. Mulai sekarang harus disadari bahwa ketika hakim MA itu hanya digodok dan ditentukan oleh segelintir orang di Komisi Yudisial, DPR dan Presiden, maka hasilnya tetap akan begitu-begitu saja.
Coba kita teladani Bolivia. Disana setiap lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Kehakiman dan Pengadilan Agraria Nasional langsung dipilih rakyat. Mereka yang terpilih tidak boleh punya jejak rekam yang buruk seperti tidak pernah membela penjahat, diktator atau orang yang terlibat korupsi. Perempuan dan masyarakat diberi peran besar dalam setiap lembaga. Yang bermasalah, rakyat langsung berhak untuk langsung menggantinya.
Terlepas dari berbagai masalah tersebut, Bengkulu tidak selalu dipandang buruk pada akhir-akhir ini. Misalnya, Maarif Institute baru saja menobatkan Bengkulu sebagai kota yang paling bahagia dan aman. Disamping itu, Ujian Nasional (UN) Bengkulu juga dinobatkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai salah satu yang paling jujur. Kalau pun ada yang buruk sebagaimana yang disebutkan sebelumnya tadi, Indonesia bisa belajar untuk menjadi baik.