[caption id="attachment_28030" align="alignleft" width="300"] Saat Kepala Pusat Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memberikan penjelasan kepada wartawan.[/caption]
JAKARTA, PB - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan dampak perubahan iklim sudah sangat nyata. Cuaca dan musim menjadi kian tak menentu dan sulit diprediksikan. Curah hujan dengan intensitas tinggi makin sering terjadi di banyak wilayah di Indonesia.
"Dampaknya banjir, longsor dan puting beliung makin meningkat," kata Sutopo.
Ia menerangkan lebih dari 95 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang dipengaruhi oleh factor cuaca dan iklim seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang pasang.
Selama tahun 2016, lanjutnya, berdasarkan data sementara hingga 17/6/2016, telah terjadi 1.053 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 157 orang meninggal dunia dan lebih dari 1,7 juta jiwa menderita dan mengungsi. Ratusan ribu rumah rusak akibat bencana. Bencana banjir mendominasi kejadian bencana yaitu 429 kejadian, puting beliung 310 kejadian, dan longsor 255 kali kejadian. Tercatat 142 orang meninggal akibat banjir dan tanah longsor.
"Saat ini harusnya sebagian besar wilayah Indonesia memasuki awal musim kemarau. Pertengahan bulan Juni umumnya sudah kemarau. Namun saat ini, hujan berintensitas tinggi masih sering turun. Fenomena La Nina diperkirakan baru terdeteksi pada Juli, Agustus dan September nanti, yang akan berimbas pada meningkatnya hujan selama musim kemarau," jelasnya.
Ditambahkan Sutopo, musim kemarau mendatang adalah musim kemarau basah. Artinya selama musim kemarau curah hujan masih sering terjadi. Ada dampak positif dan negatif dari fenomena La Nina tesebut. Dampak positif adalah kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan tidak akan parah. Produktivitas pertanian khususnya padi, jagung dan palawija akan meningkat karena pasokan air tetap tersedia. Produksi listrik dari PLTA tidak akan banyak masalah karena debit sungai dan hujan masih cukup memasok waduk, danau dan bendungan.
"Sementara dampak negatifnya adalah potensi banjir, longsor dan puting beliung akan tetap tinggi selama kemarau. Pertanian khususnya tembakau dan bawang merah akan terdampak akibat hujan selama musim kemarau," paparnya.
Ia melanjutkan BMKG telah mengeluarkan peringatan dini potensi hujan lebat selama 17 – 20 Juni 2016. Potensi hujan lebat terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku dan Papua. Selain itu juga potensi hujan lebat dan gelombang tinggi yang berpeluang terjadi di perairan selatan Sumatera, Jawa hingga Bali-NTT
Sutopo mengatakan anomali cuaca ini disebabkan adanya beberapa faktor yaitu hangatnya suhu muka laut di atas normal perairan Indonesia barat, masuknya aliran massa udara basah dari samudera India di maritim kontinen Indonesia, lemahnya aliran masa udara dingin Autralia di wilayah Indonesia, dan adanya daerah perlambatan, pertemuan dan belokan angin di wilayah Sumatera dan Kalimantan mengakibatkan kondisi atmosfer menjadi tidak stabil sehingga terjadi peningkatan curah hujan.
Karena itu, tegasnya, BNPB telah memerintahkan semua BPBD di daerah yang memiliki potensi hujan lebat agar tetap meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi banjir, longsor dan puting beliung. BPBD agar mengacu pada peta rawan bencana yang telah dibagikan. Masyarakat agar selalu diberikan informasi ancaman bencana. Sosialisasi ditingkatkan kepada masyarakat. BPBD agar mengkoordinir potensi daerah agar siap menghadapi segala kemungkinan terburuk. Logistik dan peralatan yang ada di gudang BPBD agar digunakan untuk penanganan darurat.
"Tim Reaksi Cepat BNPB telah disiapkan untuk dapat diterjunkan ke lokasi bencana dalam kurun waktu kurang dari 24 jam untuk mendampingi BPBD dalam penanganan darurat," tutupnya. [GP]