Sticky

FALSE

Page Nav

HIDE

GRID

GRID_STYLE

Hover

TRUE

Hover Effects

TRUE

Berita Terkini

latest

Konflik Tambang, Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Aparat Kepolisian Tidak Mengayomi

korban kekerasanJAKARTA, PB - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Wahani Lingkungan Hidup (Walhi), Komite Pembaharuan Agraria (KPA), dan Jaringan Tambang (Jatam) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) turut mengecam atas aksi kekerasan yang dipertontonkan aparat kepolisian terhadap para petani.

Aksi yang dilakukan warga pada Sabtu (11/06) lalu, berujung bentrok dengan aparat kepolisian yang mengamankan perusahaan tambang batubara bawah tanah (underground) PT. Citra Buana Selaras yang berada di Desa Lubuk Unen, Kecamatan Merigi Kelindang, Bengkulu Tengah.

Dalam aksi tersebut, 4 warga terkena luka tembak, dan seorang polisi terkena sabetan parang. Baca jugaAksi Tolak Tambang Batubara Bawah Tanah Berujung Bentrok.

Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. CBS yang seluas 2.600 Hektar tersebut diketahui mencakup dua kecamatan, Kecamatan Merigi Sakti dan Kecamatan Merigi Kelindang. Masyarakat sekitar menuding perusahaan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan ancaman bagi masa depan warga.

Salah satu juru bicara koalisi tersebut, Khalisah Khalid menyebutkan dalam press release-nya, bahwa tindakan pihak kepolisian belum mengayomi masyarakat. Perusahaan dinilai lebih berpihak kepada perusahaan pertambangan batubara yang merusak lingkungan hidup, memproduksi konflik dan pelanggaran HAM.

"Peristiwa Kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga yang menolak tambang PT CBS, menunjukkan tidak ada perubahan dalam penanganan konflik lingkungan hidup dan agraria di Indonesia oleh negara, yang mengedepankan pendekatan represif.

Lanjutnya, kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik, adalah merupakan penghianatan terhadap Hak Asasi manusia. Hak yang diakui UUD ’45 dan di jamin oleh UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Dalam pasal 66 undang-undang tersebut disebutkan, bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa industri ekstraktive seperti tambang batubara berwatak bukan hanya eksploitatif dan merusak lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat, tapi juga berwatak militeristik”, ujarnya.

Selain itu, diungkap hasil pertemuan organisasi masyarakat sipil dengan Kapolri Badrudin Haiti yang menyampaikan komitmennya bahwa Polri tidak akan lagi terlibat dan memfasilitasi perusahaan yg berkonflik dengang masyarakat, karena selama ini polisi yang selalu disalahkan.

"Saat itu Badrodin Haiti juga mengungkapkan bahwa Polri akan mengambil sikap, meminta instansi terkait untuk menyelesaikan konflik Sumber Daya Alam (SDA)," tegas Haris Azhar Koordinator KontraS.

Senanda dengan itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan bahwa kepolisian tidak peka terhadap perjuangan masyarakat.

“Jika memperhatikan kronologi perjuangan masyarakat dalam menolak pertambangan PT. CBS, bahwa masyarakat telah menempuh cara cara demokratis dan sesuai hukum dalam menyampaikan penolakannya sejak awal tahun ini. Masyarakat menolak pertambangan karena merampas ruang hidup dan mengancam keselamatan warga. Maka sudah seharusnya aparat kepolisian dapat mengambil tindakan preventif, melakukan komunikasi agar Pemerintah Daerah dapat merespon tuntutan warga. Dan bukan sebaliknya, melakukan tindak kekerasan terhadap warga” terangnya.

Koalisi mendesak agar kepolisian  menghentikan penggunaan kekerasan dan pelanggaran HAM dalam menangani konflik lingkungan hidup dan SDA/agraria, serta tidak lagi memfasilitasi dan berpihak kepada perusahaan yang berkonflik dengan warga.

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan warga dan menghentikan pertambangan yang merusak lingkungan. Peristiwa ini harus menjadi peristiwa terakhir dan menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik lingkungan hidup dan agraria di Indonesia. (Yn)