Sudah menjadi naluriku untuk mengamati setiap bentuk keindahan yang ada. Keindahan itu akan menarikku laksana magnet menarik batangan besi. Namun tidak seperti wujud keindahan alam ini yang tengah kucari. Namun sosok keindahan manusia yang menarik hatilah yang membuatku terpanggil dan singgah di pantai ini.
Sudah tiga hari berlalu sejak mataku tak lepas berpaling dari sosok insan nan indah sepertinya. Pancaran keindahan memancarkan pesona magis yang begitu menggoda. Hatiku mendadak luluh. Sosok itu singgah di pantai ini. Menatap barisan cakrawala di senja hari takkala mentari akan habis waktunya. Tak ada yang ia lakukan selain berdiam diri di pondokkan kayu yang berdiri tepat menghadap tepian pantai.
Maka kali ini aku mempersiapkan segala perlengkapan lukisku. Melenturkan otot-otot tanganku dan mempersiapkan jiwaku. Maka takkala sang bidadari duduk mematung menengok ke arah senja yang akan habis, aku duduk dibalik batang cemara. Sunset yang berpadu dengan parasnya membuat jiwa seniku membara. Api semangat memanas dan imajinasi menjadi kayu bakarnya.
Maka jadilah lukisan itu, lukisan yang menjadi saksi akan torehan cat berwarna. Bukan sembarang cat berwarna, melainkan sebuah karya yang berasal dari dasar jiwa yang tulus. Kulihat lukisan itu dengan rasa bangga dihati, dan ketika mentari sempurna hilang dibalik bentangan samudra, ia bergegas pergi meninggalkanku sendiri.
***
Disenja ini aku duduk di samping cemara ini, perlengkapan lukisku telah siap kugunakan. Dan takkala sang bidadari turun dan duduk disana. Aku mengamatinya dengan seksama, menikmati setiap lekukan indah wujudnya dan berusaha menangkap aura di raganya. Maka mulailah aku kembali melukis, mendadak jiwa seniku membara. Api semangatku memanas dan imajinasiku menjadi kayu bakarnya.
Maka jadilah lukisan itu, lukisan yang menjadi saksi akan torehan cat berwarna. Bukan sembarang cat berwarna, melainkan sebuah karya yang berasal dari jiwa yang tulus. Kutatap sang bidadari di ujung senja, bersamaan dengan perginya mentari. Ia telah beranjak.
***
Disenja ini aku duduk di samping cemara ini, perlengkapan lukisku telah siap kugunakan. Hatiku dengan harap dan cemas menanti takkala bidadari turun dan duduk disana. Aku mengamatinya dengan seksama. Alangkah indahnya makhluk ciptaan sang kuasa. Mendadak jiwa seniku membara. Api semangat memanas dan imajinasi menjadi kayu bakarnya.
Maka jadilah lukisan itu, lukisan yang menjadi saksi akan torehan cat berwarna. Bukan sembarang cat berwarna, melainkan sebuah karya yang berasal dari jiwa yang tulus. Dan lagi-lagi saat senja telah merah dan cahaya telah pudar di bentangan samudra ia telah beranjak, aku menghela nafas.
***
Hari ini saat menatap senja yang menyongsong malam, aku duduk dibalik pohon cemara. Aku menanti sang bidadari turun dan duduk disana. Lama kumenanti dan sang bidadari tak jua turun. Aku menarik nafas, sia-sia hari ini. Api semangat telah padam dipadamkan oleh rasa kecewa.
Maka jadilah kesedihan ini, kesedihan yang menjadi saksi akan seorang seniman yang kehilangan moment indahnya. Aku menghela nafas, berusaha membesarkan hati. Aku duduk di pondok itu. Kurasakan seperti ia tengah duduk disana. Aku bisa merasakan kehangatannya di lantai pondokkan. Saat senja tenggelam dan padam cahaya. Aku tenggelam dalam duka.
***
Hari ini saat menatap senja yang buram, hatiku gerimis. Aku duduk di pondokkan. Kanvasku basah, catku basah, bajuku basah. Lama kumenanti dan sang bidadari tak jua turun. Aku menarik nafas, sia-sia hari ini. Api semangatku telah padam dipadamkan oleh rasa kecewa dan rintik hujan di hari ini.
Maka jadilah kesedihan ini, kesedihan yang menjadi saksi akan seorang seniman yang kehilangan moment indahnya. Aku menghela nafas, berusaha membesarkan hati. Aku duduk mematung di pondok itu. Aku merasakan kesendirian, sebuah kesendirian yang mencengkramku laksana belati yang menghujam hati. Aku seolah bisa merasakan kehangatannya di pondok ini. Saat senja tenggelam dalam pekatnya awan hujan. Aku tenggelam dalam duka.
***
Hari ini saat menatap senja yang cerah, hatiku redup. Aku duduk di pondokkan. Kanvasku kering, catku kering, bajuku kering. Lama kumenanti dan sang bidadari tak jua turun. Aku menarik nafas, sia-sia hari ini. Api semangat telah padam dipadamkan oleh rasa kecewa dan kesepian menanti seorang diri. Saat mentari tenggelam meninggalkanku, kusadari mataku telah basah.
Maka menjadi-jadilah kesedihan itu, kesedihan yang menjadi saksi akan seorang seniman yang entah kenapa patah hati. Aku menghela nafas, berusaha membesarkan hati. Aku duduk mematung di pondok itu. Dan saat senja tenggelam dalam cahaya redupnya yang syahdu. Aku tenggelam dalam kesedihan.
***
Aku seorang pedagang, aku menjual beraneka macam minuman dan beberapa jenis makanan. Makanan yang menjadi favorit disini tentulah makanan berjenis seafood dan diposisi kedua setelah seafood adalah jagung bakar. Tidak seperti seafood yang laku setiap hari, jagung bakar selalu laku di sore dan malam hari.
Warung makan ini milik orang tuaku dan terkadang aku menyempatkan diri untuk mengolah warung makan ini, jika keadaan memungkinkan dan tidak ada tugas sekolah yang membatasi. Saat itu pukul lima sore seorang pria dengan wajah cerah dan memikat yang kurasa belum pernah kulihat air muka sepertinya datang ke warungku. Tentu saja aku menyambutnya.
“Permisi mbak,” sapanya hormat padaku.
“Iya mas ada apa?”
“Boleh pinjam kursi plastiknya?”
“Oh silahkan, tapi untuk apa?”
“Saya ingin melukis”
“Ohh.. begitu, kalau begitu silahkan ambil kursi mana saja yang mas mau,” tuturku.
“Terima kasih banyak mbak,” dia tersenyum lalu mengangguk setuju.
Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda dengan wajah penuh semangat sepertinya. Tapi untuk apa kursi plastik itu? Bukankah ada sebuah pondokkan disana? Bukankah dia bisa duduk manis sambil melukis disana? Ah! Apa peduliku? Kenapa aku terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain. Kemudian beberapa pengunjung datang. Aku menyambutnya. Lalu mencatat pesanannya.
***
“Permisi mbak”
“Iya mas kenapa?”
“Boleh saya pinjam kursinya lagi?”
“Untuk apa?”
“Melukis mbak, boleh tidak?”
“Ohh.. silahkan! Ambil saja kursi mana saja yang mas mau,” tuturku.
“Terima kasih banyak”
“Sama-sama”
Ah pemuda itu datang lagi. Melukis lagi ya? Apa sih yang ia lukis? Tapi ya sudahlah, bukan urusanku untuk mencampuri urusannya. Tapi entah kenapa rasa penasaran membuatku beranjak dari tempat dudukku. Lagi pula hari ini pengunjung sedang sepi.
Aku keluar, berjalan pelan menatap kesana-kesini. Lalu menuju ke arah pemuda itu. Dan benar saja. Ia ada disana, sedang khusyuk dan penuh konsentrasi menatap sosok wanita di pondokkan sana. Apa yang pemuda ini lakukan? Aku tersenyum, perutku geli. Apa ia sedang melukis wanita itu diam-diam. Melihatnya membuatku terhibur dan juga bingung. Apa seperti ini tingkah laku seorang pelukis? Sementara aku sibuk dalam emosiku sendiri aku menyadari ada tatap lain dimata pemuda itu, sebuah tatap yang amat terang, entah apa.
***
Ia datang lagi. Pemuda ini pasti ingin minjam kursi lagi, pasti ini. Pasti. Aku menyetel channel tv pura-pura tidak tahu. Kalau sampai dia lewat warungku dan tidak minjam kursi plastik aku bersumpah akan memberikan lima jagung bakar gratis ke pelanggan pertama sore ini. Tapi perasaanku benar-benar kuat kalau ia pasti akan datang dan meminjam kursi plastik lagi.
“Permisi mbak?”
“Iya kursi eh.. maksud saya mas, mau minjam kursi kan?”
“Eh! Sudah ketahuan ya?”
Aku tersenyum puas, tebakanku benar.
“Silahkan pilih kursi plastik mana saja yang mas mau!”
“Terima kasih”
“Sama-sama”
Apa ia akan melukis wanita itu lagi? Mungkin saja. Tapi apa sih peduliku? Ahh! Sejak kapan aku jadi kepo begini sih? Namun perasaanku tidak bisa kutahan. Aku membuka jendela belakang warung. Kutatap dia dari sana. Pemuda itu benar-benar aneh. Kenapa ia melukis wanita yang sama dan memilih duduk dibalik pohon cemara? Dia seperti mata-mata dibandingkan pelukis. Aku mengamatinya seksama. Tunggu dulu apa dia jatuh cinta dengan wanita itu? Tidak! Tidak! Tidak! Aku nggak boleh berprasangka macam-macam.
“Permisi”
“Iya?”
“Kak beli jagung bakarnya dua”
“Ok”
Aku bangkit, sekilas aku menoleh ke arah jendela. Disana, pemuda itu masih disana.
***
“Permisi”
“Iya mas”
“Boleh pinjam kursinya?”
“Sudah saya antar”
“Hah?”
“Iya! Dibalik pohon cemara itu kan?”
“Iya” jawabnya heran.
“Sekarang mas nggak usah repot bawa-bawa kursi lagi”
“Aduh..”
“Kenapa mas?”
“Malah saya dong yang ngerepot’in”
“Biasa aja mas, saya juga nggak keberatan kok. Lagian ini cuma kursi plastik kok”
“Terima kasih banyak”
“Sama-sama”
Ia tersenyum geli di sela-sela obrolan kami. Ternyata ia lumayan juga. Aku juga mulai terbiasa dengan rutinitas baruku. Menguntit. Penguntit yang menguntit penguntit. Aduh.. memikirkannya saja perutku sudah melilit sendiri, hati ini bercampur aduk. Sementara itu kubiarkan jendela terbuka. Bila ada celah saat dimana pengunjung sepi aku akan menatapnya dari balik jendela itu.
Sudah menjelang maghrib, ia masih disana bukan? Tapi kenapa ia tidak duduk di kursi itu? Pandanganku terhalang. Pepohonan itu menghalangi. Aku pergi keluar. Saat aku berusaha melihat, ia sudah turun. Malam mulai datang, aku tak dapat jelas menatap wajahnya. Ia membawa kursi plastik itu.
“Maaf.. ini kursinya”
“Sama-sama”
“Mas kenapa?” tanyaku penasaran.
“Tidak ada mbak”
Adzan maghrib berumandang.
“Saya pergi dulu mbak”
“Iya”
Begitu saja, meski pandanganku buram aku masih bisa melihat wajahnya. Tidak seperti sebelumnya. Sinar matanya kini padam.
***
Deras sekali hujan hari ini. Aku membereskan satu persatu kursi plastik dan kuhantarkan ke dalam. Hujannya deras sekali, kilat menyambar. Dari belakang bisa kudengar deburan ombak yang kencang. Ah ada dua kursi disana, keterlaluan. Jauh sekali orang-orang itu meletak kursi itu. Aku berlari kecil. Kilat membuatku mempercepat langkah. Kuangkat kedua kursi plastik itu dengan dua tanganku. Aku bergegas kembali. Kulihat pohon cemara itu, ia tidak ada disana. Mana mungkin dia mau pergi di tengah hujan lebat begini. Tapi aku salah. Aku berhenti sejenak. Hujan menguyur tubuhku. Pemuda itu duduk disana, dia duduk di pondokkan. Menatap ke arah pantai. Kenapa dia disana?
“Wulan cepat bawa kursi-kursi itu!”
“Iya Ayah”
Aku bergegas pergi membawa kursi-kursi itu masuk kedalam. Kuambil handukku. Lalu duduk di kursi panjang dekat dengan tv. Di belakangku ada jendela, jendela tempat aku biasa mengintipnya. Percuma mengintip dari sini hujan begitu deras dan pohon-pohon itu benar-benar menghalangi pandanganku. Aku mengusap wajahku, rambutku. Aku tidak tahu mengapa. Tapi aku ingin sekali mengetahui apa yang ia rasakan. Sementara hujan mengamuk di luar. Di dalam disini perasaanku tengah mengamuk tak kalah ganas dengan hujan di luar sana.
***
Aku bimbang sekarang, kutimbang-timbang rasa ini. Sejak kapan? Aku bingung dengan hati. Aku paham kini mengapa manusia tak bisa berkompromi hatinya, karena hati punya jiwanya sendiri. Aku nyaris mati karena sesak nafas. Entah kenapa seorang gadis sepertiku bisa berhadapat dengan kondisi penuh dilema. Apa yang harus kulakukan? Apa? Apa?! Tuhan bantu aku!
Hari ini pemuda itu datang lagi. Namun cahaya matanya seolah sirna. Kemana cahaya mata yang indah itu pergi? Apa karena wanita itu? Ahh! Kenapa aku begitu kesal? Kenapa ? Apa kusapa saja dia? Tapi aku takut dianggap aneh. Apa kuintip saja dia? Ahh.. tidak!
Aku bingung. Sudahlah, kuintip saja dia. Aku menghambur ke arah cemara itu. Cemara tempat lelaki itu sering duduk disana. Dia duduk disana, menatap ke arah matahari. Lihatlah betapa tampannya dia. Ahh! Apa yang kupirkan? Wulan bodoh! Bodoh! Bodoh!. Aku memukul-mukul batang cemara. Stupid sekali. Kuamati dengan hati-hati apa yang sedang ia lakukan. Kalau bisa jangan ada pelanggan hari ini. Jadi aku bisa menatapnya tanpa terganggu.
Ia menangis!. Demi tuhan dia menangis. Tatapannya begitu sendu. Aku tak tahan. Kenapa aku ini, kenapa aku begitu peduli padanya? Apa aku harus menyapanya? Tapi bagaimana?
***
Senja ini begitu kelam. Sebagai seorang seniman ini untuk pertama kalinya aku dikecewakan oleh objek lukisanku sendiri. Aku merasa geli, malu, sedih dan kecewa. Dengan berjalannya senja menuju malam kurasakan kehadiran seseorang disini. Aku menoleh padanya. Sambil menyeka air mata.
“Mau jagung bakar?”
“Maaf..” jawabku bingung.
“Ahh.. kebetulan kami kelebihan stok jadi kami putuskan untuk memberikannya pada pelanggan pertama.”
“Pelanggan? Tapi saya tidak beli mbak”
“Tapi tetap saja mas pelanggan pertama yang datang ke warung kami”
“Saya cuma minjam kursi kan jadi tidak usah repot-repot”
“Aku duduk disini ya?” tanya tiba-tiba.
“Silahkan!”
Ia meletakkan piring plastik dengan jagung bakar itu di antara kami. Aku bingung harus bagaimana. Sedangkan gadis ini, membuang mukanyanya dariku. Apa ia kasihan padaku? Seorang pria yang menangis di tengah pondok, ahh sebuah pemandangan yang konyol bagi perempuan bukan?
“Maaf saya tidak suka jagung pedas”
“Apa? Ohh.. kalau begitu aku ganti jagung bakar manis gimana?”
“Nggak usah!”
“Mas mau apa? Minum, makan ikan, udang atau apalah” nada bicaranya serak.
“Loh kok malah nawar’in apa semua menu makanan mbak kelebihan stok?”
“Ah! Eh! Uhh.. emmm..” ia menggaruk kepalanya.
“Saya bercanda. terima kasih mbak, saya sangat menghargainya”
“Sa-sa-sama-sama” ia terbata.
Aku diam ia juga. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kulirik jagung disana lalu aku mengambilnya. Ia menatapku, sepertinya ia puas. Kugigit jagung itu. Enak sekali.
“Anu..”
“Iya mbak?”
“Saya sedang mencari guru lukis, dan saya lihat tampaknya anda pandai melukis”
“loh tiba-tiba jadi formal begini?” aku kaget.
“Tolong terima saya jadi murid anda”
“Apa?” aku makin kaget.
“Saya mohon!” ia terdengar serius.
Aku menghela nafas.
“Ya, baiklah kalau itu mau mbak”
“Jangan panggil mbak kalau bisa”
“Terus? Panggil apa dong?”
“Panggil aku Wulan”
Aku mengulurkan tanganku.
“Saya Hamza”
Ia menjabat tanganku.
“Saya anggap jagung ini sebagai uang mukanya.”
Ia tersenyum hangat.
Matanya berbinar. Sepertinya ketertarikkannya akan seni demikian besar, aku bisa merasakannya dari tatapan itu. Begitu bersinar, begitu bahagia. Dan saat senja tenggelam dalam barisan samudra. Aku tenggelam dalam suka cita. (Aricha Syachia Kurin)