JAKARTA, PB - Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2016 tercatat sebesar USD319,0 miliar. Artinya angka ULN ini tumbuh 6,3% (yoy). Posisi utang per April 2016 ini juga naik jika dibanding posisi akhir tahun lalu yang hanya USD309,98 miliar.
Berdasarkan jangka waktu asal, posisi ULN Indonesia didominasi oleh ULN jangka panjang. ULN berjangka panjang pada April 2016 mencapai USD279,3 miliar (87,6% dari total ULN) atau tumbuh 8,3% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan Maret 2016 yang sebesar 7,9% (yoy).
Sementara itu, ULN berjangka pendek pada April 2016 tercatat sebesar USD39,7 miliar (12,4% dari total ULN) atau turun 5,5% (yoy), setelah pada Maret 2016 turun 8,4% (yoy).
Berdasarkan kelompok peminjam, posisi ULN Indonesia didominasi oleh ULN sektor swasta. Pada akhir April 2016, posisi ULN sektor swasta tercatat sebesar USD165,2 miliar (51,8% dari total ULN), sedangkan posisi ULN sektor publik sebesar USD153,8 miliar (48,2% dari total ULN).
ULN sektor swasta masih mengalami penurunan 1,1% (yoy) pada April 2016 setelah pada bulan sebelumnya turun 1,0% (yoy). Sementara ULN sektor publik tumbuh 15,7% (yoy) atau meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 14,0% (yoy).
Pada sektor swasta, posisi ULN pada April 2016 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,0%.
Apabila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas & air bersih tercatat mengalami peningkatan. Sementara itu, ULN sektor keuangan dan pertambangan masih menurun.
Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada April 2016 masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional. (Baca juga: Bahaya, Pemerintah Terus Cetak Utang)
Kedepan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi. [GP]