[caption id="attachment_29862" align="alignleft" width="300"] IST - Istri menyukai suami yang dapat membantunya bekerja di dapur[/caption]
SURYA telah melambung tinggi sejak tiga jam yang lalu, embun pagi yang melayang ringan membentuk titik-titik air dan jatuh di sekitar pekarangan rumah. Membasahi jendela, rerumputan, tanah, beranda, kursi-kursi kayu, dedaunan, ranting, tembok, pagar hingga tiang antena berwarna metalik hingga memunculkan kesan berkilau. Di dapur rumah itu, tepatnya di meja dapur. Bahan-bahan telah tertata dengan rapi dan siap menunggu tangan-tangan terampil untuk menciptakan sebuah hidangan, menjadikan bahan-bahan yang berbeda-beda itu menjadi satu kesatuan utuh yang mampu menggoyang lidah yang rindu akan cita rasa manis.
Dua orang sedang sibuk-sibuknya di dapur itu. Sosok wanita sedang menata bahan-bahan di meja untuk memudahkannya dalam proses mengolahan hidangan, sedangan sosok pemuda sedang memperhatikan secarik kertas HVS putih hasil print-out yang memuat resep ice cream lengkap dengan gambar hidangannya yang tampak mengundang selera. Pemuda itu melirik ke arah wanita tadi sambil mengukir segaris senyum untuk beberapa saat, hatinya damai menyaksikan tingkah wanita itu yang berjalan kesana-kemari, sibuk menata alat dan bahan dengan sangat teliti.
“Apa semuanya sudah siap?” tanya sang pemuda.
“Hmm.. coba kamu bacakan daftar alat dan bahannya!”
“Ok.. susu cair satu liter, dua butir telur, tepung meizena dua puluh gram, gula pasir tiga puluh gram, pasta vanili satu sendok teh, dua kaleng susu kental manis, mixer dan wajan” pemuda itu membaca daftar sambil menatap alat dan bahan yang ada di meja dapur.
“Yup, semuanya sudah siap!” wanita itu menganggukkan kepalanya lalu memasang apron masak berwarna hijau muda. “Rav tolong ambil mangkok plastik di rak makan!” seru wanita itu.
Pemuda itu berlari kecil sambil mencari mangkok di tumpukan wajan dan panci. “Yang warna putih atau yang warna pink nih?” Pemuda itu memegang kedua mangkok itu di kedua tangannya, tatapan mereka saling bertemu.
“Dua-duanya aja deh” jawab si wanita.
Pemuda itu meletakkan mangkok-mangkok itu di meja dapur, wanita itu sudah siap dengan mixernya. Wanita itu segera mengambil dua butir telur lalu memecehkan cangkangnya. Menumpahkan isi telur dengan hati-hati, wanita itu hanya perlu putih telurnya saja. Kemudian ia mengocok bersama gula pasir dan vanilli dengan mixer sampai adonannya mengembang. “Rav kamu pegang mixernya ya!” seru wanita itu. Pemuda itu mengancungkan jempolnya lalu mengambil kendali.
Wanita itu meraih wajan di rak piring, menyalakan kompor dengan perapian sedang lalu meletakkan wajan di atas perapian. “Sekarang tinggal masukkan susunya” gumam wanita itu. Satu liter susu cair dan dua kaleng susu kental manis bersatu dalam gerak harmoni, berputar-putar dalam cekungan wajan dibimbing oleh spatula yang digenggam oleh tangan terampil si wanita.
“Sudah pernah masak ice crem sebelumnya?” tanya pemuda.
“Baru kali ini aku coba” balasnya.
“Nggak takut gagal nih resepnya?” tanya pemuda lagi.
“Nggak lah.. aku percaya kok sama resepnya”
“Kalau ice creamnya gagal gimana?”
“Berarti kamunya yang tidak becus masak” sahut wanita itu sangsi.
“Oh..oh..oh.. jangan salah, gini-gini calon koki masa depan loh” pemuda itu menepuk dada.
“Alah.. masak air aja gosong, sok ngaku-ngaku calon koki”
“Hem.. dia nggak percaya” celoteh si pemuda.
Si wanita hanya menjawab dengan senyuman lalu menatap kembali wajan itu. Senyumannya perlahan memudar. Suara bising mixer dan gesekan mata spatula dengan permukaan wajan mengisi jeda kesunyian diantara mereka. wanita itu fokus mengaduk cairan susu yang mulai menyebar bau asam, si pemuda masih sesekali mencuri-curi pandang pada si wanita, menatap wajah wanita itu sudah cukup membuat hati si pemuda berbunga-bunga.
“Adik dimana?”
“Aku titip tadi di rumah neneknya”
“Kenapa?”
“Mau bikin kejutan untuk dia” jelas wanita.
“Adik minta dibikinkan ice cream ya?” tanya pemuda.
“Enggak, kan sudah kubilang ini untuk kejutan”
“Oh.. gitu” gumam pemuda.
“Kamu suka ice cream?” tanya wanita.
“Iya suka banget, tapi rasa coklat”
“Nggak suka rasa vanilla?”
“Nggak”
Mereka kembali diam, adukan mixer membuat adonan vanilli mengembang. Putih seperti cream dengan baunya yang harum. Si pemuda melirik si wanita.
“Sudah mengembang nih adonannya”
“Oh sudah ya? Kalau sudah, kamu matikan aja dulu mixernya, terus ambilkan tepung meizena di atas meja!”
“Yang itu?” pemuda menunjuk wadah berisi tepung berwarna putih. “Iya cepat ambil, sudah mendidih susunya!” Si pemuda bergegas mengambilnya lalu berhenti di depan si wanita. “Terus gimana?”
“Campurkan ke susunya!”
Tepung meizena bersatu dalam larutan susu yang mendidih, si wanita dengan cekatan mengaduk-aduk campuran susu dan meizena yang mulai membentuk gumpalan-gumpalan kalis disertai sedikit kepulan asap. “Matikan apinya Rav!” seru wanita. Si pemuda memutar tuas kompor, api dimatikan.
“Ribet ya bikin ice cream?” tanya si pemuda.
“Kamu sih, tahunya makan aja.. coba sekali-sekali bantuin aku masak, biar nanti saat kamu hidup jauh dari keluarga, kamu bisa masak sendiri. Nggak perlu jajan makanan yang enggak sehat di pinggiran jalan”
“Iya-iya chef” jawab pemuda diiringi tawa ringan.
“Ibuku dulu suka beli’in aku ice cream, mulai dari rasa buah, vanilli, sampai rasa coklat. Aku jadi kengen” sambung pemuda.
“Nanti aku bikin’in ice cream coklat, mau?”
“Boleh aja asal kamu nggak repot”
“Nggak lah, aku malah senang banget masak masakan untuk kamu”
“Serius?”
“Ih serius, ngapain aku bercanda”
Pemuda itu memandang wajah si wanita penuh arti, dibalas tatapan itu dengan senyuman manis oleh si wanita. Pemuda itu mengedarkan pandangannya pada si wanita ditatapnya bangun tubuh wanita itu dari ujung rambut sampai unjung kaki, tak ada yang terlewat. Ada berjuta rasa yang meletup dalam kalbunya. Lalu pandangan itu beredar lagi menuju sekeliling dapur, lalu berhenti di ruang makan di samping dapur, pandangannya berhenti pada pigura foto besar disana. Tiba-tiba hatinya menjadi gamang, dilemparnya lagi pandangan itu pada si wanita.
“Aku suka kamu Fa..” lirih pemuda.
“Heemm..?” si wanita melirik.
“I love you”
“Me too..” balasnya lirih.
“Menurutmu siapa yang lebih baik aku atau dia?” tanya pemuda.
“Tolong masukkan adonan cream vanilla tadi ke sini!” seru wanita.
Pemuda itu mengambil adonan cream lalu memasukkannya ke wajan “Fa, siapa yang paling kamu sukai, aku atau dia?” Suara pemuda itu semakin berat, si wanita hanya memutar tuas kompor lalu mulai mengaduk-aduk adonan itu lagi. “Fa, jawab aku?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya si wanita terdengar kesal.
“Aku hanya ingin tahu pendapatmu”
“Hanya itu? Cuma itu? Kamu lebih baik, iya, kamu lebih baik. Kamu Puas?!”
“Bu-bukan itu maksudku”
“Lalu apa? Apa maksudmu?!” Si wanita mematikan api dari kompor, lalu terus mengaduk gumpalan adonan. “Tidak cukupkah perbuatan yang sudah kita lakukan selama ini? Apa lagi yang ingin kamu dengar?” Wanita itu mengaduk permukaan adonan dengan kesal, sambil menggigit bibir bawahnya.
“Aku terkadang bimbang memikirkan tentang hubungan kita, aku merasa.. khawatir, kamu paham kan maksudku?”
“Kau terlalu banyak khawatir akan segala hal, apa ada hal di dunia ini yang tidak kau khawatirkan?”
“Fa.. aku janji ketika semuanya siap aku akan membawamu, aku janji”
“Gantikan aku, tanganku pegal!” wanita itu memberikan spatula pada si pemuda. Wanita itu menyeka pelupuk matanya dengan jemarinya. Sementara si pemuda hanya diam sambil terus mengaduk-aduk adonan kalis yang mulai berwarnan kecoklatan itu, si wanita mendekat, lalu mendekap tubuh si pemuda dari belakang.
“Kau tidak usah khawatir, aku akan selalu menunggumu, dari pada sibuk mengkhawatirkanku lebih baik kau khawatirkan masa depanmu” jelas si wanita.
“Fa.. maaf ya”
“Udah jangan bahas itu lagi, aku akan selalu menunggumu kok, pastikan kamu menjadi lelaki yang mapan nantinya” si wanita merapatkan wajahnya pada punggung si pemuda.
“Adonannya sudah dingin belum?” tanya si wanita.
“Sudah Fa”
“Sebentar, aku ambil wadahnya dulu!” Si wanita mengambil sebuah wadah persegi panjang dari rak piring lalu meletakkannya di meja dapur. “Tuangkan adonannya!” seru si wanita.
“Hati-hati wajannya panas!”
“Iya”
Adonan pun sudah beralih tempat ke wadah plastik. Pemuda itu meletakkan kembali wajan ke sanggahan kompor. “Sudah itu saja?” tanya si pemuda.
“Belum dong, kita hias dulu pakai choco chips dan biskuit coklat biar meriah rasanya”
“Apa nanti rasanya enak?”
“Pasti enak, dijamin!” Wanita itu melepas apron masaknya lalu berjalan menuju lemari es. Lalu kembali dengan sekotak choco chips dan biskuit, kemudian meletakkannya di atas meja. “Ok, saatnya menghias” celoteh si wanita. “Sini biar aku yang menabur biskuitnya!” tawar si pemuda.
“Tapi di hancurkan dulu biskuitnya!” Si wanita memberikan biskuit itu pada pemuda.
Mereka pun menghias adonan ice cream, setelah merata adonan itu disimpan di dalam frezzer selama sehari semalam. Si pemuda melirik ke arah jam tangannya, bergegas pergi. Wanita itu membuntutinya.
“Mau kemana?”
“Aku ada urusan, aku pamit Fa..”
“Iya, hati-hati jangan ngebut kalau bawa motor”
“Iya”
Si pemuda berlalu meninggalkan rumah, si wanita memandangnya untuk beberapa saat. Suasana kembali sepi, sudah jam dua belas sekarang. Wanita itu kembali ke dalam rumah membereskan sisa-sisa bahan yang berserak di meja dapur, ia akhirnya menyadari secarik surat diletakkan di meja makan, dengan bunga rose warna merah. Ia menghampirinya, membuka surat itu. Segores senyum terukir di wajahnya “Anak itu.. selalu saja romantis” Ia memegang wajahnya yang terasa hangat, akan rona bahagia. Pagi itu suhu begitu bersahabat, menyusup di antara hari-hari yang selalu dingin disapu hujan, pagi itu menginjak bulan terakhir, ini tanggal 22 paling indah dalam sejarah wanita itu. [Aricha Syachia Kurin]