BENGKULU, PB - Era Pekerja media multitalents (banyak keahlian) semakin bertumbuh di tengah suburnya era digital dan internet dewasa ini. Praktik korvegensi yang ekspansif secara bisnis koorporasi, menuntut beban kerja tambahan bagi pekerja media. Namun sayang, beban kerja tambahan tak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan.
"Misalnya satu media yang awalnya cetak atau TV namun karena menggejalanya media online maka hadir pula versi online. Beban kerja jurnalis semakin bertambah, perkembangan industri media tak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis atau pekerja media," kata Sekretaris Aji Kota Bengkulu Phesi Ester Julikawati, dalam rilis yang diterima redaksi, Sabtu (20/8/2016).
Perkembangannya selama ini, lanjutnya, lebih tak berbanding lurus lagi dengan tumbuhnya serikat pekerja di suatu media. Kondisi inilah yang ikut mendorong jurnalis rentan dan gampang disetir pemilik media karena posisinya yang lemah.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan FSPM Independen, hingga kini jumlah media yang memiliki serikat pekerja sekitar 38 di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, yang serikat pekerjanya aktif sekitar 24 serikat pekerja.
"Kalau pun dibuat survei terbaru, kita mungkin pesimis hanya merangkak naik sedikit," ujarnya.
Kurang eksisnya pekerja media berserikat, boleh jadi kesadaran yang masih minim, serta masih lemah membangun sistem manajemen yang baik, kurang kecakapan mengorganisir, mengakomodir anggota, dan belum mumpuni dalam hal bernegosiasi. Situasi ini diperparah lagi oleh adanya resistensi, baik diam-diam atau terbuka, dari pemilik media atau pun cara berpikir jurnalis sendiri. Penolakan itu, sebagian besar–kalau bukan seluruhnya—karena kekhawatiran manajemen media yang sangat berlebihan terhadap keberadaan serikat pekerja.
"Sikap anti-serikat pekerja media ini ditunjukkan melalui berbagai cara, mulai dari yang halus sampai kasar. Inilah yang menjadi momok penghalang pekerja media berserikat," ungkapnya.
Padahal serikat pekerja adalah amanat Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Serikat Pekerja/Buruh. Di ambang mata, kata dia, kita tetap akan menghadapi persoalan yang makin kompleks di lingkungan industrial.
"Sebut saja beban tambahan kerja tadi yang tak dibarengi peningkatan kesejahteraan. Kemudian masalah jaminan asuransi kesehatan, keselamatan, jaminan sosial, dan upah yang layak," jelasnya.
Temuan AJI, sambungnya, masih banyak media yang menggaji jurnalisnya di bawah angka upah minimum kota (UMK) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Praktek ini terutama banyak terjadi di daerah.
"Mengapa upah, jaminan sosial/kesehatan, dan keselamatan? Karena mestinya semua berdampak pada kualitas dan mutu jurnalistik," ucapnya.
Pada kasus lain, ia melanjutkan, hubungan kerja kontraktual dengan perusahaan masih belum menemukan bentuk yang ideal, pola saling menguntungkan antara perusahaan dengan pekerja media. Selain itu, sering juga pekerja media tak berdaya menghadapi persengketaan dengan perusahaanya.
"Mereka selalu berada dalam posisi yang lemah dan dikalahkan," tegasnya.
Melihat kondisi semacam ini, masih disampaikan Phesi, maka perlu menumbuhkan kesadaran untuk berserikat. Juga dibutuhkan penguatan bagi serikat pekerja yang sudah ada. Sebab, dengan berserikat posisi tawar pekerja media menjadi kuat.
"Seturut itu pula, serikat pekerja media mampu berperan penting dalam memperjuangkan hak dan kepentingan para pekerja media," pungkasnya. [IC]