JAKARTA, PB - Sikap pemerintah yang dinilai dingin terkait alasan keputusan Presiden Joko Widodo yang memberhentikan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyedot perhatian publik. Selain karena alasan 'dwikenegaraan', Archandra juga disebut-sebut tersandung masalah PT. Freeport.
Seperti diakui media Amerika Serikat, The Washington Post yang memberitakan pemecatan tersebut dengan judul, "Menteri Indonesia Dipecat karena Dwikewarganegaraan" itu, terpaksa mengakhiri masa kerjanya terhitung mulai Selasa (16/8/2016).
Meski belum genap sebulan ia sudah mengeluarkan kebijakan strategis, yakni dinilai menguntungkan negeri Paman Sam (AS). Belum lama ini ia memberikan izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia. Rekomendasi perpanjangan persetujuan ekspor konsentrat Freeport diperpanjang hingga 11 Januari 2017, setelah izin ekspor konsentrat Freeport habis pada 8 Agustus 2016.
ESDM memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada 10 Agustus 2016. "Rekomendasi diperpanjang 11 Januari. Lima bulan," kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, seperti lansiran Merdeka.com.
Dalam rekomendasi tersebut Freeport memperoleh kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,4 juta ton dan perusahaan tambang Amerika Serikat ini masih dikenakan bea keluar 5 persen dari nilai volume konsentrat yang diekspor.
Joko Widodo yang melantiknya, Rabu (27/7/2016) untuk menggantikan Sudirman Said tersebut memiliki kebijakan yang sama terkait eksport kosentrat Freeport. Padahal, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut telah dilarang mengekspor konsentrat sebelum menyelesaikan pembangunan pabrik peleburan logam (smelter).
Perpanjangan ini dilakukan setelah keputusan pemerintah menerbitkan surat persetujuan ekspor (SPE) konsentrat tembaga untuk PT Freeport Indonesia pada Senin, 26 Januari 2015, dengan kuota sebesar 580.000 ton untuk enam bulan ke depan telah berakhir.
Sebagaimana yang diungkap aktifis Papua, Arkilus Baho, Sudirman Said Licik, Freeport Harus Hengkang. Archandra pun dinilai sama. "Baru 20 hari jabat mentri langsung perpanjang ijin eksport kosentrat Freeport. Ini fakta bahwa eks mentri itu tidak paham bagaimana perusahaan AS itu selama ini merugikan rakyat Papua dan negara," ungkapnya.
Pasca berlakunya Undang-undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009, maka seluruh pertambangan tidak dijinkan melakukan eksport bahan mentah lagi tetapi harus melalui proses pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu. Karena ia menilai kebijakan Archandra perlu dibatalkan.
Ia berharap Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi Freeport disisa masa Kontrak Karya (KK) yang akan berakhir 2019 mendatang. Pasalnya, proses divestasi sahama PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak berjalan mulus atau tidak menemui titik temu karena besarahan harga penawaran yang besar dari perusahaan tersebut.
Pemerintah sebenarnya dinilai punya kemampuan negosiasi terkait tanggungjawab smelter dan divestasi saham. Sebab Kewajiban divestasi Freeport sebesar 30 persen mengacu Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Sayangnya, baik kebijakan smelter dan divestasi, pemerintah terkesan lemah.
"Freeport harus memenuhi ketentuan yang berlaku, smelter belum ada?. Jadi, kebijakan Archandra mengaminkan tindakan Freeport selama ini (eksport konsetrat-red) yang seenaknya itu jelas menginjak-injak kedaulatan rakyat demi memenuhi kemauan kapitalisme AS," tutup aktifis Papua tersebut. (RPHS)