JAKARTA, PB - Sebelum menjabat menteri, ahli kilang lepas pantai atau offshore ini merupakan Presiden Petroneering di Houston, negara bagian Texas, Amerika Serikat, sejak tahun 2013 hingga 2016. Petroneering adalah perusahaan pengembangan teknologi dan engineering yang fokus dalam desain dan pengembangan kilang offshore yang lebih tahan lama, efektif dan aman.
"Arcandra Untungkan Freeport"
PhD dari Texas A& M Univeristy Ocean Engineering ini lalu dipangil Presiden RI Joko Widodo untuk menjabat sebagai Menteri ESDM menggantikan Sudirman Said sejak Rabu (27/7/2016). Karena itu, kebijakannya salama menjabat sebagai menteri selalu dikaitkan dengan status ganda kewarganegaraannya, yakni Indonesia dan Amerika Serikat.
Archandra Tahar (45 tahun) yang menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya di Amerika Serikat itu, pada Kamis (4/8) lalu, mengaku telah bertemu dengan pihak Exxon mengenai pengembangan Blok Natuna.
Terkait pertemuan tersebut, pengamat perminyakan Marwan Batubara mengingatkan sebelumnya bila pemerintah sebelumnya telah dirugikan oleh perusahaan AS tersebut selama mengeksploitasi Blok Natuna. Pasalnya, sejak beroperasi 8 Januari 1980 lalu, pemerintah dirugikan dengan porsi bagi hasil 0 : 100 atau 0 rupiah untuk pemerintah.
Meski secara hukum (yuridis) tertuang dalam surat Menteri ESDM bernomor 3588/11/MEM/2008 bertanggal 1 Juni 2008, yang menunjuk perusahaan plat merah, Pertamina sebagai pengelola baru Natuna justru secara peran Exxon sangat besar di Blok Tersebut.
"Kita sangat khawatirkan, permainan wacana ini hanya merupakan kamuflase untuk sikap akhir yang akan ditunjukkan pemerintah di kemudian hari, yaitu ketertundukan dan kepatuhan pada keinginan ExxonMobil untuk kembali mengelola Blok Natuna," kata Marwan belum lama ini.
Melalui Surat Menteri ESDM No. 514/BP00000/2006-SO tanggal 8 Desember 2006 menetapkan kontrak pengelolaan Blok Natuna oleh Exxon telah berakhir. Menteri ESDM juga telah menyatakan kontrak Blok Natuna secara hukum telah selesai sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.040/2006. Pada 25 Januari 2007 Menteri ESDM.
Meski kebijakan pemerintah telah menegaskan secara resmi bahwa bahwa Blok Natuna adalah milik nasional, akan tetapi keberadaan Exxon di Blok Natuna justru masih dilibatkan. Blok Natuna merupakan aset sangat strategis bagi negara. Misalnya Natuna D-Alpha adalah salah satu cadangan gas terbesar di dunia saat ini dengan total potensi gas mencapai 222 Triliun Kaki Kubik (tcf) dengan potensi yang recoverable sebesar 46 tcf. Atau mencapai sekitar US$ 335,32 miliar atau sekitar Rp 3.350 triliun.
Berdasarkan data terbaru Kementerian ESDM, saat ini ada tujuh blok eksplorasi di Natuna. Yakni Blok Tuna, Duyung, Sokang, South Sokang, Gurita, East Sokang dan North Sokang. Selain itu ada tiga blok yang berhenti melakukan eksplorasi, antara lain Blok Baronang, Cakalang, dan Pari.
Selain blok eksplorasi, di kawasan Natuna juga terdapat enam blok migas berstatus eksploitasi atau blok produksi. Di antaranya Blok South Natuna Sea Blok B, Blok Natuna Sea Blok 'A', Blok Kakap, Blok Udang, Blok Sembilang, dan Blok Northwest Natuna.
Terkait pengelolaan Blok Cepu, Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N) mendapatkan sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kontraktor Blok Cepu Exxon Mobil meminta perubahan Domestic Market Obligation Fee (DMO Fee). Perubahan ini, mengakibatkan negara mengalami kerugian sekitar 101.000 US Dollar per hari atau 82 juta US Dollar per tahun atau setara dengan Rp760 miliar per tahun.
Anggota Kelompok Kerja KPK-N Marwan Batubara memaparkan, awalnya Exxon harus membayarkan DMO Fee setelah 60 bulan ladang minyak Cepu beroperasi. Namun, Exxon meminta perubahan dengan menunda pembayaran hingga 60 bulan setelah peak production.
Sayangnya, pertemuan tertutup antara Archandra dengan pihak Exxon berlangsung tertutup. Namun keduanya membahas soal pengelolaan migas di Blok Natuna dan Blok Cepu.
Selain itu, Archandra juga telah membahas mengenai Indonesia Deepwater Development (IDD) dengan Chevron. Di mana, dalam pertemuan dengan Tim Chevron masalah mengenai IDD tetap akan dilanjutkan. Chevron mengajukan proposal baru IDD Lapangan Gehem dan Gendalo kepada SKK Migas di pengujung 2015. Tapi proposal ini kandas, namun dimasa Archandra pembahasan tersebut dilanjutkan kembali.
Ketika berproduksi, Lapangan Gehem akan menghasilkan gas 420 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan Gendalo 700 mmscfd. Selain gas, ada juga kondensat dari Gehem dan Gendalo masing-masing 25 ribu barel per hari. Rencananya, gas alam hasil produksi dari proyek ini dijual untuk kebutuhan dalam negeri dan diekspor dalam bentuk gas alam cair (LNG).
Selain Lapangan Gendalo dan Gehem di Selat Makassar, Chevron memiliki beberapa kontrak kerjasama yang masuk Proyek IDD, yakni PSC Ganal, Rapak, dan Muara Bakau. Sementara lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam Proyek IDD ini yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan Gandang. Lapangan Bangka di Rapak masih dalam tahap konstruksi. Lapangan ini bisa menghasilkan gas sekitar 100 mmscfd.
Padahal, sebelumnya pihak kementerian energi telah menyampaikan bila kebijakan IDD tidak masuk diakal. Sebab Investment credit seharusnya tidak lebih dari 100 persen, meskipun IDD merupakan proyek laut dalam yang berisiko besar.
Investment credit merupakan hak untuk meminta ganti rugi kepada pemerintah dengan persentase tertentu atas nilai investasi yang berhubungan langsung dengan pembangunan fasilitas produksi suatu proyek. Dalam revisi pengembangan yang diajukan Chevron beberapa waktu lalu, perusahaan migas tersebut meminta investment credit hingga 240 persen.
Direktur Pembinaan Hulu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan perusahaan asal Amerika Serikat itu tidak serius mengajukan POD.
Investment credit seharusnya tidak lebih dari 100 persen, meskipun IDD merupakan proyek laut dalam yang memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan proyek di lepas pantai lain atau di darat. Apalagi, bila yang dijadikan acuan adalah penilaian Asosiasi Pelaku Industri Hulu Migas (IPA) yang mengusulkan investment credit hanya 50 persen. (Tina Indani)