JAKARTA, PB - Badan POM menemukan 43 (empat puluh tiga) item kosmetika mengandung bahan berbahaya yang dipergunakan untuk mengubah atau memperbaiki penampilan. Kosmetik berbahaya ini ditemukan per Semester I 2016.
BPOM melansir bentuk sediaan dari kosmetika tersebut adalah sediaan mandi, rias mata, rias wajah, perawatan kulit dan sediaan kuku. Bahan berbahaya yang teridentifikasi dalam produk kosmetika tersebut antara lain merkuri, hidrokinon, asam retinoat, deksametason, klindamisin, serta bahan pewarna merah K3 dan merah K10.
Bahan-bahan berbahaya tersebut dilarang untuk digunakan dalam pembuatan kosmetika berdasarkan Peraturan Kepala Badan POM RI No. 18 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Hal ini lantaran penambahan bahan-bahan berbahaya tersebut ke dalam kosmetika dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan.
Merkuri misalnya, banyak disalahgunakan sebagai bahan pemutih/pencerah kulit, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan teratogenik (mengakibatkan cacat pada janin). Asam Retinoat, banyak disalahgunakan sebagai pengelupas kulit kimiawi (peeling), bersifat teratogenik.
Selanjutnya, Hidrokinon yang banyak disalahgunakan sebagai bahan pemutih/pencerah kulit, selain dapat menyebabkan iritasi kulit, juga dapat menimbulkan ochronosis (kulit berwarna kehitaman) yang mulai terlihat setelah 6 bulan penggunaan dan kemungkinan bersifat irreversible (tidak dapat dipulihkan).
Sementara bahan pewarna Merah K3 dan Merah K10, banyak disalahgunakan pada lipstik atau sediaan dekoratif lain (pemulas kelopak mata dan perona pipi). Kedua zat warna ini bersifat karsinogenik.
Nilai keekonomian temuan melalui pengawasan rutin mencapai 9,4 milyar rupiah, pengawasan secara intensif mencapai 6,3 milyar rupiah, dan pengawasan dengan target khusus mencapai 15,3 milyar rupiah.
Produk-produk kosmetika tersebut diperoleh dari sarana industri, importir, dan badan usaha yang melakukan kontrak produksi kosmetika, serta sarana distribusi kosmetika yang meliputi klinik kecantikan dan Multi Level Marketing (MLM).
Selain itu, Badan POM juga menjaring produk kosmetika berbahaya yang diedarkan/ dipromosikan melalui media elektronik termasuk situs penjualan online.
Terhadap seluruh temuan kosmetika mengandung bahan berbahaya ini telah dilakukan tindak lanjut secara administratif antara lain berupa pembatalan izin edar, perintah penarikan dan pengamanan produk dari peredaran, serta pemusnahan produk. Di samping sanksi administratif, beberapa tindak pidana di bidang kosmetika juga telah ditindaklanjuti secara pro-justisia oleh PPNS Badan POM.
Selama tahun 2016, Badan POM telah menindaklanjuti 16 kasus di bidang kosmetika secara pro-justitia. Sedangkan untuk kurun waktu lima tahun terakhir, terdapat sebanyak 472 perkara kosmetika dengan sanksi putusan pengadilan paling tinggi penjara 2 tahun 7 bulan dan denda sebesar 50 juta rupiah.
Sebagai upaya pengawasan dan penanganan kasus peredaran kosmetika mengandung bahan berbahaya, BPOM berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi dengan lintas sektor terkait, antara lain dengan Pemda Kabupaten/Kota (Dinas Kesehatan/Dinas Perindustrian/Dinas Perdagangan), Kepolisian RI, serta Asosiasi.
BPOM mengimbau kepada para pelaku usaha agar tidak melakukan produksi dan/atau mengedarkan kosmetika mengandung bahan berbahaya. Selain itu, Badan POM juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak menggunakan kosmetika mengandung bahan berbahaya sebagaimana tercantum dalam lampiran peringatan publik/public warning ini, termasuk peringatan publik/public warning yang sudah diumumkan sebelumnya.
Apabila masyarakat mencurigai adanya praktik produksi dan peredaran kosmetika mengandung bahan berbahaya atau ilegal, harap melaporkan melalui Contact Center HALOBPOM 1-500-533 (pulsa lokal), SMS 0-8121-9999-533, email halobpom@pom.go.id, Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia, atau kepada Pemda setempat. [GP]